Ayah, Kau Pasti Bangga
Kami berempat - istriku dan kedua anak laki-laki kami - bersimpuh disisinya, tenggelam dalam renungan kami masing-masing tentang jasad yangkehadirannya disimbolkan dengan pusara itu. "Ayah," hatiku berkata, "kau takpernah mengenal istriku Wacih, tak pernah pula kau melihat secara jasmaniahanak kami Tommi dan Sendy. Tapi aku tahu Tuhan selalu membawa berita baiktentang kami kepadamu."
Ayah meninggal ketika aku masih duduk di bangku SMP karena beri-beri,penyakit milik orang miskin. Ayah (dan begitu pula Ibu) tidak akan mulaimakan sebelum mereka tahu bahwa kelima anaknya terbebas dari rasa lapar.Tapi bukan hanya keluarga kami yang miskin ketika itu, di era tahun 50-andan 60-an. Kemiskinan bahkan telah mengakibatkan aku kehilanganpenglihatanku: mataku terinfeksi karena kekurangan vitamin A.
Ketika segala upaya telah gagal untuk memulihkan penglihatanku, dan Ibu dansemua kerabatku sudah menerima kebutaanku sebagai takdir yang tak mungkindipungkiri dan akan menjalani kehidupan sebagaimana orang-orang buta lain yang mereka ketahui, Ayah masih penuh dengan harapan bahwa aku dapat "jadi menak"meskipun tunanetra. Bahkan ketika sesepuh kampung mencoba menghalang-halangirencana Ayah, dan Ibu menangisi keputusannya, Ayah tetap bertekad mengirimkuke sekolah khusus bagi tunanetra di Bandung, yang ketika itu dipandangsebagai tempat yang amat jauh dari desaku di pedalaman Sumedang.
Kami baru bertemu lagi setahun kemudian, ketika aku sudah duduk di kelas dua SD pada tahun 1961. Aku tengah berjalan menuju asrama dengan memakai topi kertas buatanku sendiri dan mengepit sehelai kertas bertulisan Braille – tulisanku sendiri – ketika tiba-tiba suara yang sangat kukenal menyebut nama kecilku. Ibu dan Ayah! Kami duduk di bangku di depan kamar tidurku, Ayah di sebelah kiriku dan Ibu di kananku. Dengan bangga kuperlihatkan topi kertas buatanku dan kubacakan teks lagu “Kota Sumedang” yang kutulis sendiri. Lalu dengan penuh kenikmatan aku makan oleh-oleh yang mereka bawa sambil bercerita banyak tentang sekolahku, tentang teman-temanku di asrama, dan bertanya tentang teman-temanku di kampung. Aku juga bercerita tentang hari-hari pertamaku jauh dari sanak saudara, hari-hari yang kulalui dengan iringan tangis kerinduan. Baru kemudian kuketahui bahwa Ayah dan Ibu harus memberanikan dirinya untuk menjengukku di Bandung saat itu. Sesepuh kampung kami sering berkata kepada mereka, “Relakan saja Didi jauh dari kalian; dia sudah menjadi anak Negara; kalian tidak akan diperbolehkan menemuinya ...”.
“Ayah, kau selalu yakin akan kebenaran keputusanmu untuk menjauhkan aku dari kampung halaman meskipun kau tidak sempat menyaksikan wujud kebenaran itu”. Ayah tidak sempat membaca nilai-nilai ijazah SMP-ku. Ayah tidak sempat tahu bahwa sejak SPG aku bersekolah bersama-sama dengan teman sekelas yang awas. Aku tidak sempat bercerita kepada Ayah bagaimana aku menangis terharu ketika aku dinyatakan lulus terbaik dalam ujian sarjana bahasa dan sastra Inggris di IKIP Bandung. Ayah juga tidak sempat hadir dalam wisuda S2-ku dari program studi bimbingan dan konseling di PPS UPI.
"ayah, kau tak pernah secara fisik menyaksikan keberhasilan demikeberhasilan yang telah kuraih. Ayah, tahukah engkau bahwa aku dosen UPI? Tahukah engkau bahwa aku sering ke luar negeri untuk tugas-tugas negara dan organisasi? Tahukah engkau bahwa aku sedang menulis disertasi untuk gelar doktor?” Aku tahu itu hal yang biasa-biasa saja bagi banyak orang lain; tapi bagi Ayah yang petani kecil itu pasti sangat membanggakan.
“Sekarang kita ke makam Nenek, Pa,” tiba-tiba suara Tommi menyadarkanku dari renungan itu. Kami pun berjalan menuju kuburan Ibu yang tidak jauh dari situ. Ibu sempat menyaksikan kelahiran anak-anak kami meskipun tidak sempat melihat mereka besar dan menjadi sarjana. Tapi Aku dan istriku sempat menyenangkan Ibu secara materi untuk beberapa tahun hingga dia meninggal pada tahun 1996. Kami bahagia bahwa Ibu melewatkan tahun-tahun terakhir kehidupannya dengan kepuasan dan kebanggan atas keberhasilan hidup kami. Kalau Ibu bertemu dengan Ayah di alam baka sana, dia pasti bercerita tentang kami kepada Ayah, dan Ayah pun pasti bangga.
Labels: Testimoni
<< Home