DOCTYPE html PUBLIC "-//W3C//DTD XHTML 1.0 Strict//EN" "http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-strict.dtd"> Didi Tarsidi: Counseling, Blindness and Inclusive Education
  • HOME


  • Guestbook -- Buku Tamu



    Anda adalah pengunjung ke

    Silakan isi Buku Tamu Saya. Terima kasih banyak.
  • Lihat Buku Tamu


  • Comment

    Jika anda ingin meninggalkan pesan atau komentar,
    atau ingin mengajukan pertanyaan yang memerlukan respon saya,
    silakan klik
  • Komentar dan Pertanyaan Anda




  • Contents

    Untuk menampilkan daftar lengkap isi blog ini, silakan klik
  • Contents -- Daftar Isi




  • Izin

    Anda boleh mengutip artikel-artikel di blog ini asalkan anda mencantumkan nama penulisnya dan alamat blog ini sebagai sumber referensi.


    04 July 2025

    Kenangan tentang Norwegia



    Negara Norwegia terletak di wilayah Skandinavia, Eropa Utara. Saya sudah tiga kali ke sana.
    Pertama, tahun 2002, ketika saya mendapat tugas sebagai interpreter (penerjemah lisan) untuk rombongan Kepala Dinas Pendidikan seluruh Indonesia mengadakan studi banding tentang implementasi pendidikan inklusif di Norwegia.
    Kedua, tahun 2003, ketika empat orang dosen pendidikan khusus UPI (termasuk saya) ditugasi sebagai peneliti tamu di Universitas Oslo tentang penyelenggaraan perkuliahan pendidikan inklusif di universitas Oslo dan implementasi pendidikan inklusif di sekolah-sekolah di Norwegia.
    Dan ketiga, ketika saya diminta berbicara dalam Congress on Including Children with Disabilities in the Community, Stavanger, Norway, 15-17 Juni 2004.
    Di antara ketiga kesempatan tersebut, yang kedualah yang paling berkesan; dan saya akan menceritakannya di artikel ini. Saya akan menceritakan hal-hal yang ringan yang kami alami selama di sana, tetapi diharapkan akan sangat menarik.

    Sebagaimana disebutkan di atas, kami berangkat ke Norwegia empat serangkai, Pak Zaenal Alimin, Pak Djadja Rahardja, Pak Juang Sunanto dan saya.
    Kami akan tinggal di sana dalam musim dingin, tanggal 8 Januari hingga 15 Maret 2003.
    Di bawah bimbingan Prof. Miriam Sjerten dari Universitas Oslo (menejer pendidikan proyek), kami diterima sebagai peneliti tamu pada Universitas Oslo.

    Perjalanan dari Jakarta ke Oslo sekitar 16 jam, dengan transit di Kuala lumpur Malaysia, dan Kopenhagen, Denmark. Ketika hendak melanjutkan penerbangan dari Kopenhagen ke Oslo, ibu kota Norwegia, ground crew terlebih dahulu harus membersihkan salju yang telah menyelimuti pesawat.

    Selama di Oslo, kami tinggal di Guest House Huseby, rumah tamu yang merupakan bagian dari pusat sumber bagi pelayanan pendidikan inklusif, yaitu pendidikan siswa-siswa tunanetra yang dilaksanakan di sekolah-sekolah umum bersama dengan siswa-siswa pada umumnya.
    Di Guest house itu kami masing-masing disediakan satu kamar dan sebuah dapur lengkap dengan kompor listrik, kulkas, mesin cuci piring, dan piano. Untuk sarapan, selalu tersedia beberapa gepok roti tawar, sereal, jus jeruk, memntega dan keju. .
    Di ruangan lain di lantai atas tersedia mesin cuci lengkap dengan pengeringnya.
    Pada musim dingin, semua ruangan di sini selalu berpenghangat.

    Pada hari kedua kami tinggal di Oslo, setelah cukup beristirahat di hari pertama, kami pergi ke kota untuk mengobservasi toko makanan untuk mengetahui apa yang tersedia di sana untuk memenuhi kebutuhan makan kami sehari-hari.
    Kami berpakaian lengkap musim dingin yang telah kami persiapkan sebelum keberangkatan. Pakaian itu berlapis-lapis. Setelah singlet dan celana dalam, ada “long Johns”, yaitu pakaian panjang yang menutupi mata kaki hingga leher, cukup melar, menempel ke kulit, agar terasa hangat. Di atasnya ada kemeja dan celana, lalu sweater dan jaket panjang. Kami juga harus mengenakan kupluk hingga ke telinga, syal, sarung tangan, kaos kaki dan sepatu yang cocok untuk berjalan di atas es.
    Tetapi semua persiapan itu ternyata agak sia-sia, karena pada hari itu, hari Minggu, hamper semua toko tutup.

    Pada hari Senin keesokan harinya, kami mulai dengan hari pertama program kami di Universitas Oslo. Kami berangkat pukul 7 pagi. Hari masih gelap dan sangat dingin, mungkin beberapa derajat di bawah 0, tapi tidak bersalju. Tapi jalan licin berlapis es. Sebuah truk pasir menaburkan pasir di jalan untuk mengurangi kelicinan jalan. Kami naik kereta api sekitar 20 menit menuju Universitas Oslo.

    Pada hari ini kami mengikuti kuliah dari Prof. Miriam Skjarten tentang landasan pendidikan inklusif. Kuliah ini adalah bagian dari program pendidikan bagi mahasiswa Program Internasional Master Filosofi Pendidikan Kebutuhan Khusus di Universitas Oslo. Ini adalah kelas untuk mahasiswa internasional dari beberapa Negara Afrika dan Eropa Timur yang berjumlah sekitar 15 orang.

    Pada sore harinya, atas saran Prof Miriam, kami pergi ke Grunland di mana tersedia bahan makanan Asia.
    Di sini terdapat penjual asal Thailand, Vietnam, Sri Langka dan beberapa Negara lain.
    Ternyata bahan makanan di situ cukup lengkap, dari beras hingga cengek, dari tahu sampai terasi.
    Padahal dari tanah air kami membawa bekal beras masing-masing lima kila untuk persediaan beberapa hari pertama sebelum kami menemukan tempat membeli beras di sana.
    Untuk bekal hidup, setiap hari jumat kami diberi uang saku masing-masing 500 Krone (sekitar Rp 800 ribu). Untuk belanja bahan makanan, kami cukup mengeluarkan 100 krone per orang per minggu. (Perlu diingat, ini adalah nilai uang lebih dari 20 tahun lalu).
    Masing-masing kami membawa tas gendong yang sudah kami kosongkan pada pagi harinya untuk disi dengan belanjaan untuk kebutuhan satu minggu.

    Kami mulai masak untuk makan malam sekitar pukul enam sore. Pak Zaenal masak nasi, Pak Djadja masak lawuhnya. Hari ini dia masak steak domba muda dan sambal lado terong. Ternyata Pak Djadja adalah seorang juru masak yang handal. Pak Juang membersihkan dapur sesudah makan malam, sedangkan saya “memainkan piano” untuk menghibur mereka. Bila saya bilang “memainkan piano”, itu benar-benar memainkannya, bukan main piano yang sesungguhnya, karena saya tidak bisa dikatakan dapat main piano.
    Pada pagi keesokan harinya, saya menugaskan diri sendiri mengeluarkan peralatan makan dari mesin cuci dan menyimpannya kembali ke tempatnya semula.

    Untuk makan siang di kampus, kami cukup membawa bekal roti yang terseddia di dapur. Kami numpang makan siang di kantin kampus sambil membeli kopi atau teh di situ. Menarik untuk dicatat bahwa para pengunjung kantin itu pada dasarnya melayani diri sendiri (self-service). Kami membuang sampah sendiri, menyimpan barang kotor ke tempat cucian sendiri.

    Pada hari Sabtu dan Minggu kami biasanya pergi ke tempat-tempat wisata. Untuk berkendara, kami membeli tiket untuk sebulan. Ini berlaku untuk perjalanan dalam kota dan sekitarnya, berlaku untuk kereta api, bus, trem, dan kapal feri.

    Pada suatu hari kami pergi ke taman patung. Vigeland Sculpture Park (Vigelandsanlegget) terletak di Frogner Park, Oslo. Taman patung ini menampilkan lebih dari 200 patung karya Gustav Vigeland, termasuk patung terkenal "Monolit" yang menggambarkan manusia dalam berbagai bentuk dan pose. Patung-patung ini terbuat dari granit dan perunggu. Granit digunakan untuk patung-patung besar dan monumen, sedangkan perunggu digunakan untuk patung-patung yang lebih kecil dan detail.
    Yang lebih menarik bagi kami adalah patung “anak marah”, yang menggambarkan seorang anak telanjang berumur sekitar empat tahun. Wajahnya sangat marah, kaki kanannya menendang, tangannya meniju, tititnya mengacung.

    Pulangnya turun saljlu. Hujan salju terasa seperti dikerubungi laron, ringan dan langsung menghilang.

    Pada suatu hari lain, saya dan Pak Djadja pergi ke arena main ski. Malam sebelumnya turun salju lebat, sehingga jalan raya ditutupi salju semata kaki. Rasa dingin membuat sakit telinga dan perih mata. Untuk menghangatkan diri, kami masuk ke dalam toko, dan tinggal di situ beberapa saat.

    Lalu kami melanjutkan perjalanan dengan naik kereta api. Kebetulan ada seorang ibu dan anaknya membawa papan ski. Mungkin mereka mau pergi ke tempat ski juga, maka kami membuntuti mereka. Ketika mereka turun, kami ikut turun juga. Eeeh, ternyata mereka sedang pulang ke rumahnya. Maka kami naik kereta api lagi kea rah sebaliknya. Dasar sial, ternyata arena ski itu sudah kosong. Permainan ski sudah berakhir.

    Tapi masih ada beberapa penjaja makanan panas di sana.
    Kami jajan kebab Lebanon. Kebab di sini bebeda dari yang biasa saya beli di Bandung. Ini seperti gulai kambbing dalam jagung, disajikan panas dalam contong roti tawar besar. Karena makannya harus pelan-pelan sebab panas, maka kebab itu sudah dingin ketika hamper habis, dan kenikmatannya pun sudah berkurang.
    Pada hari lain kami jajan tahu goring segede sandal jepit; disajikan dengan kecap dan cabe rawit. Enaaan!

    Setiap hari Jumat, kami (kecuali Pak Juang yang Katolik) sholat Jumat di masjid komunitas Pakistan. Itu adalah sebuah rumah yang direkaulang untuk berfungsi sebagai masjid.
    Imamnya adalah seorang tunanetra.
    Disediakan beberapa kursi untuk mereka yang tak mampu berdiri untuk mendirikan sholat.
    Uang kencleng dipungut oleh dua orang petugas yang menghampiri setiap jamaah dengan menggotong sehelai sorban.
    “Waladhdhoolliin!”
    “Aa…” Saya segera mengerem diri ketika akan menyerukan “aamiin” di akhir Alfatihah karena tidak ada jamaah lain yang menyerukannya. Rupanya mereka mengatakannya dalam hati saja.

    Mungkin umum di negeri ini toilet di tempat umum tanpa tersedia keran air untuk cebok. Sebagai gantinya, tersedia kertas tisu. Pada suatu hari, di tengah-tengah acara di kampus, saya kebelet. Terpaksa saya menggunakan kertas tisu untuk membersihkan sebagian darinya, sedangkan sisanya saya bawa pulang untuk dituntaskan di guest house.

    Pengalaman lain yang tak menyenangkan adalah sakit gigi. Saya terbangun
    Pada suatu malam yang sangat dingin; bukan hanya karena kedinginan, tapi juga karena sangat sakit gigi. Pada pagi harinya pipi kiri saya menjadi sangat bengkak. Pak Djadja mengantar saya menemui pengurus guest house untuk mendapatkan pertolongan. Dia menunjukkan jalan menuju dokter gigi. “Ongkos berobatnya akan ditanggung oleh proyek,” katanya seraya menyerahkan surat pengantar untuk dokter gigi.

    Kami berjalan kaki ke klinik dokter gigi itu sekitar 15 menit.
    “Saya harus mencabut dua gigi ini,” ujar sang dokter gigi.
    “Sekarang, Dok?”
    “Tentu.”
    “Oh, di negeri saya dokter gigi akan menunggu sampai rasa sakitnya hilang sebelum dia bersedia mencabutnya.”
    “Oh? Justru mencabut itu adalah terapi terbaik,” ujar dokter sambil segera menyuntikkan obat anastesis ke gusi saya.
    Dengan tenaga penuh dia berhasil mencabut gigi yang bermasalah itu.
    “Sekedar ingin tahu, Dok, how much do you charge for this service?”
    “1500 Krone.”
    Hm, hampir dua juta rupiah di tahun 2003 sekedar mencabut dua gigi? Terasa sangat sakit; tapi siangnya terasa lega terbebas dari rasa nyeri.

    Akhirnya bulan Maret itu pun tiba. Ini adalah awal musim Semi. Cuaca terasa agak hangat miskipun suhu masih sekitar sepuluh derajat Celcius. Pohon-pohon sudah mulai berdaun; bahkan bunganya sudah mulai menampakkan diri. Begitu pun hati kami sudah mulai berbunga-bunga karena saat kepulangan ke Indonesia sudah dekat.

    Sementara itu tugas-tugas kami sebagai peneliti tamu di Universitas Oslo pun sudah tuntas.

    Secara umum, tanggung jawab team ini adalah mempelajari bagaimana Program Internasional Master Filosofi Pendidikan Kebutuhan Khusus di Universitas Oslo diselenggarakan dan bagaimana layanan pendidikan kebutuhan khusus untuk anak berkebutuhan khusus di Norwegia dilaksanakan. Temuan-temuannya akan dipergunakan sebagai dasar untuk mengembangkan Program Magister Inklusi dan Pendidikan Kebutuhan Khusus di UPI, dan pada gilirannya diharapkan akan berpengaruh terhadap cara pelaksanaan pemberian layanan pendidikan khusus bagi ABK di Indonesia.

    Kini lebih dari 20 tahun telah berlalu. Program studi Pendidikan Khusus jenjang S2 Dan S3 di UPI sudah terlembaga dengan baik, melengkapi jenjang S1 yang sudah terbentuk sejak tahun 196—an.

    Tim ini yakin bahwa upaya kami untuk melewatkan musim dingin yang ekstrem di Oslo itu akan berdampak baik bagi kemajuan pendidikan khusus di tanah air. Yang kami tidak tahu adalah bahwa kebersamaan yang begitu intensif selama lebih dari tiga bulan itu merupakan kesempatan terakhir bagi kami berempat. Tiga orang dari kami telah berpulang ke Rahmatullah lebih dahulu. Pak Juang meninggal pada tahun 2016, Pak Djaja pada tahun 2017, dan Pak Zaenal pada tahun 2018. Innalillaahi wa innailaihi rojiun. Semoga kita jumpa lagi di alam keabadian, sahabat-sahabat terbaikku.

    (Didi Tarsidi)

    Labels: ,

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google

    06 May 2025

    Oleh-oleh dari Italia 2005



    International Conference on New Technology and New Horizon for the Blind,
    Treviso, Italy, 12-13 December 2005.

    Ini adalah kali kedua saya diundang ke Italia sebagai pembicara dalam konferensi internasional. Kali ini saya didampingi oleh anak kedua, Sendy, setelah tahun lalu oleh anak pertama, Tommi.
    Perlu diketahui bahwa Selama ini hanya ke negeri ini panitia penyelenggara menyediakan anggaran untuk pendamping. Ke negeri lain saya selalu berangkat tanpa pendamping.

    Penerbangan dengan KLM dari Jakarta ke kota Venizia (Venice), Italia, makan waktu 16 jam plus 7 jam transit di Kuala Lumpur dan Amsterdam.
    Tujuan kami adalah kota Treviso yang terletak 20 menit dengan mobil dari bandara Marcopolo, Venizia.

    Kami tinggal di hotel Maggior Consiglio. Bagasi kami ketinggalan di Amsterdam dan baru tiba di hotel kami keesokan harinya. Untungnya pakaian anti dingin kami bawa dalam cabin luggage. Suhu di bulan Desember ini berkisar antara 2-8 derajat Celcius, tapi belum ada salju.
    Bila di tanah air, kita selalu mendengar suara adzan pada waktu-waktu shalat, di sini kami selalu mendengar bunyi lonceng gereja setiap jam.

    Konferensi berlangsung selama dua hari, tanggal 12-13 Desember, tapi kami sudah tinggal di sana sejak tanggal 9. Jadi kami punya waktu dua hari penuh untuk jalan-jalan.
    Dengan berbekal peta berbahasa Itali, tangal 9 kami naik kereta api ke Venezia Santa Lucia, sebuah tempat wisata di pantai.
    Untuk perjalanan dengan kereta api itu kami membayar 4,5 Euro untuk dua tiket. Saya menunggu petugas yang akan memeriksa tiket, tapi hingga perjalanan berakhir 30 menit kemudian, tak ada orang yang memeriksa tiket. Rupanya orang di sana jujur-jujur. Tak perlu selalu ada pemeriksa tiket.
    Pantai Venezia dipenuhi pengunjung domestic maupun turis asing. Atraksi yang paling menarik di sini adalah naik gondola. Gondola adalah perahu hitam dan emas yang telah menjadi simbol Venesia sejak dahulu kala. Gondola adalah perahu yang dikemudikan oleh seorang gondoliere yang terampil, yang dengan lihai menghindari perahu lain dan mengarahkan gondola ke kanal-kanal tersempit. Sayangnya kami tidak berani mencobanya. Bekal kami tidak cukup. Tarif standar adalah 90 euro per penumpang untuk perjalanan 30 menit. Jadi, kami hanya menyaksikan orang lain naik dan turun perahu itu.
    Kunjungan ke Santa Lucia kami akhiri dengan makan siang sandwich tuna plus capucino seharga 10 Euro.

    Ketika kami kembali ke hotel, kami mendapati kopor kami sudah ada di kamar, berikut dua botol anggur dari Mr. Cervellin (yang mengundang kami).

    Tanggal 10 kami dibawa oleh tuan rumah jalan-jalan mengitari Treviso piazza (alun-alun kota Treviso).
    Antara lain, kami dibawa mengunjungi gereja. Ada seorang peminta-minta asing di situ. Yang mengenaskan adalah bahwa dia berpakaian muslimah.

    Konferensi diikuti oleh sekitar 130 peserta dari seluruh Italia. Di samping pembicara Italia, ada 5 pembicara dari luar Italia: Jerman, Denmark, Jepang, Cina dan Indonesia.

    Konferensi membahas perkembangan teknologi bagi tunanetra selama 20 tahun terakhir, termasuk teknologi buku digital DAISY, printer Braille, dan komputer dengan speech screen reader dan Braille display. . Utusan dari Jepang (Mr. Kaneko), menampilkan printer Gemini yang dapat mencetak Braille dan tulisan biasa sekaligus pada satu lembar kertas yang sama. Keunikan lainnya dari printer ini adalah tidak berisik seperti printer Braille pada umumnya. Bunyinya persis seperti printer inkjet saja.
    Mr. Mao dari Cina menampilkan Braille display yang sangat murah, hanya 40% dari harga Braille display pada umumnya.

    Di samping itu, konferensi juga menampilkan testimoni (kesaksian) para profesional tunanetra yang berhasil, termasuk pengacara, jurnalis, pematung, pelukis, psikoanalis, walikota, fisioterapis, editor music, juru cicip anggur, (semuanya orang Itali), dan dosen dari Indonesia.
    Sebagai dosen di lembaga pendidikan umum (Universitas Pendidikan Indonesia), saya mendemonstrasikan bagaimana seorang tunanetra dapat mengoperasikan PowerPoint dengan bantuan screen reader JAWS pada laptop dan menampilkanna di LCD. (Ketika itu LCD masih merupakan teknologi yang relative baru).

    Yang paling nenarik bagi saya adalah Tiziano Zampieron, walikota San Pietro.
    Pada tahun 1996 partai politiknya memenangkan pemilu di kota San Pietro, dan dia dipilih sebagai ketua DPRD kota itu. Tahun 2000 dia mencalonkan diri sebagai walikota dan menang. Lawan-lawan politiknya berusaha mendiskreditkannya dengan kemungkinan dia menandatangani dokumen yang salah akibat ketunanetraannya. Tetapi dia tetap menang.
    Dan yang lebih menarik adalah bahwa tahun lalu dia terpilih lagi untuk masa jabatan kedua.

    Di tempat konferensi itu digelar juga pameran teknologi dan karya para tunanetra. Kami melihat patung-patung karya Felice Tagliaferri: kepala manusia dan kepala kuda dari batu, dan pantat perempuan dari marmer.
    Juga terdapat lukisan karya pelukis tunanetra, lukisan abstrak. Sayang sekali pelukis itu tidak dapat berbahasa Inggris sehingga saya tidak dapat memperoleh penjelasan bagaimana dia dapat memadukan warna-warna. Dalam bahasa Inggris yang patah-patah, dia mengatakan bahwa dia merupakan satu-satunya orang buta total di Italia yang berhasil menjadi pelukis.

    Bila anda ingin melihat foto-foto kunjungan kami, coba cari di link berikut:
  • Foto

  • Bersambung (kapan-kapan) dengan cerita perjalanan saya ke negeri lain. Didi Tarsidi

    Labels: , ,

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google

    Catatan Perjalanan ke Italia
    (Ditemukan dari arsip lama).



    Pada tahun 2004 saya diundang oleh APC (l'Associazione Progresso dei Ciechi - Persatuan Kemajuan Tunanetra Italia) untuk berbicara dalam konvensi tentang integrasi social tunanetra, khususnya yang terkait dengan penggunaan

    teknologi asistif. Konvensi diselenggarakan pada tanggal 27 Maret 2004 di Castel Ivano, Trentino, Italia utara.
    Semua biaya perjalanan, akomodasi dan konsumsi, termasuk untuk pendamping, menjadi tanggungan APC.

    Kamis 25 Maret 2004

    Kami berangkat dari Bandung ke Jakarta dengan KA Parahiangan pukul 8.15 hari Kamis 25 Maret 2004. Mendampingi saya adalah anak sulung kami, Tommi.

    Kami tiba di Gambir jam 11.15, ditunggu oleh Pak Rusmanto (supir Braillo) yang akan
    mengantar kami ke bandara Sukarno-Hatta. Dia bilang, "Visanya sudah ada; harus diambil jam dua siang ini".
    "Alhamdulillah!"
    (Baru kemudian saya ketahui dari Mr. Watterdal bahwa ada kesulitan mengurus visa itu karena saya pergi dengan anak muda. Perlu diketahui bahwa pada masa itu perjalanan dari Indonesia ke banyak Negara dipersulit gara-gara marak serangan teroris di tanah air. Tetapi yang membuatnya lebih mudah adalah Tommi punya nama belakang Italia: Rinaldi).

    Kami berangkat ke Roma dengan penerbangan Malaysia Airlines jam 18.30. Setelah transit di Kualalumpur selama dua jam, kami melanjutkan penerbangan ke Roma selama 12 jam. Kami tiba di Roma pukul 5.30 Jumat pagi (= pukul 11.30 Jumat siang WIB).
    Penerbangan berikutnya adalah ke Venezia (bahasa Inggris Venice), pukul 10.55, satu jam. Venice terletak di Italia utara.
    Kami sedikit panik ketika kopor kami tidak kami temukan, ternyata sudah ada di bagian "Lost and Found".

    Jumat 26 Maret 2004

    Kami sudah ditunggu oleh seseorang yang membawa banner bertuliskan "Welcome APC Onlus" (Selamat datang tamu APC). Dia adalah Picolo Pino, relawan dari APC. Dia membawa kami dengan mobil APC ke sebuah apartemen di Ivano Fracena, dua jam perjalanan ke daerah pegunungan propinsi Trentino. Di sepanjang jalan kami melihat banyak pabrik dan dealer mobil FIAT.

    Apartemen tempat kami tinggal terdiri dari tiga lantai, dan di masing-masing lantai ada dua unit kamar. Setiap unit kamar ditata secara artistik, terdiri dari kamar tidur, ruang duduk dan kamar mandi. Di ruang duduk ada peralatan dapur yang lengkap: kompor gas, mesin cuci piring, kulkas, TV. Tetapi kami menggunakan dapur ini hanya untuk membuat teh panas. Pemandangan dari jendela adalah pegunungan yang ditutupi salju. Meskipun ini adalah akhir musim semi, tetapi udaranya masih dingin, dan hari ini ada hujan gerimis, dan malamnya bahkan masih turun salju. Suhu berkisar antara 1 hingga 10 derajat Celcius. Untung Pino meminjami saya jaket.

    Setelah menyimpan kopor, kami dibawa ke restoran di sebelah apartemen untuk makan siang. Di sinilah kami makan selama tinggal di apartemen ini. Kami boleh meminta apa saja (yang ada di sini). Makan biasanya terdiri dari rangkaian sepiring spaghetti (atau makanan pasta lainnya), sepiring daging atau ikan, semangkok besar salad sayuran, disusul oleh buah-buahan dan kue, dan akhirnya secangkir kopi atau teh. Ukuran perut kami tidak cukup untuk menampung semua makanan itu hingga habis. Kopi di sini disajikan dalam cangkir kecil, tetapi kopinya sangat kental dan pahit tetapi enak.

    Tinggal bersama kami di apartemen ini adalah Shmuel Retbi dan istrinya, seorang tunanetra ahli komputer dari Israel. Mereka adalah pemeluk agama Yahudi yang taat. Mereka membawa makanan sendiri dari Israel. Mungkin terlalu banyak jenis makanan yang diharamkan bagi mereka. Bukan hanya babi yang haram bagi mereka, tetapi semua jenis binatang yang menyusui. Karena konferensi kebetulan diselenggarakan pada hari Shabat (Sabtu), diharamkan juga bagi mereka naik kendaraan dari hotel ke tempat konferensi, dan mereka tidak boleh menggunakan microphone.

    Malam harinya (Jumat 26 Maret), kami dibawa makan malam di restoran khas Italia, restoran dengan pelayanan seperti di rumah sendiri (rumah orang Italia). Makan bersama kami kira-kira 15 orang, antara lain adalah Ferdinando Cecato (presiden APC), Davide Cervelin (ketua panitia konferensi) dan istrinya Lucia, Barbara Negri (sekretaris Cervelin yang membantu berkorespondensi dengan orang luar Italia), Rafaela (ketua Pertuninya Italia), dan Cinzia Doriguzzi, mahasiswi fakultas hukum berusia 21 tahun, pegawai paruh waktu di APC, yang banyak membantu kami berkomunikasi dengan orang-orang Italia (tidak banyak orang Italia di sini yang dapat berbahasa Inggris). Suami istri dari Israel itu tentu saja tidak ikut bersama kami.

    Sabtu 27 Maret 2004

    Perjalanan dengan mobil dari hotel ke tempat konferensi, Castel Ivano, kurang dari 10 menit. Kastil Ivano adalah salah satu kastil tertua dan paling menarik di Trentino. Kastil ini terkenal, sering disebut-sebut dalam banyak legenda lokal. Kastil ini didirikan pada abad ke-12. Kini kastil ini dipergunakan sebagai tempat pameran seni moderen dan tempat pertemuan-pertemuan internasional.

    Labels: , ,

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google

    21 February 2024

    Aksesibilitas Masjid bagi Muslim Penyandang Disabilitas



    DR. Didi Tarsidi, M.Pd.
    April 2023

    Pendahuluan

    Islam tidak mengecualikan para penyandang disabilitas dari kewajiban ibadah dan hak untuk mendapat pahala dari Allah Swt. Namun untuk dapat melaksanakan sebagian amal ibadahnya itu, penyandang disabilitas perlu aksesibilitas.
    Tulisan ini akan membahas secara sekilas,
    • Pengertian tentang penyandang disabilitas,
    • Pandangan Islam terhadap penyandang disabilitas, dan
    • Aksesibilitas masjid bagi penyandang disabilitas.

    Pembahasan materi ini diharapkan dapat menumbuhkan pengertian tentang pentingnya partisipasi semua pihak dalam memberikan kesamaan kesempatan bagi para penyandang disabilitas untuk beribadah, dan oleh karenanya semua pihak juga diharapkan mau berpartisipasi dalam menciptakan aksesibilitas pada rumah peribadatan.

    I. Siapakah Penyandang Disabilitas Itu?

    Menurut estimasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 10 hingga 15 persen populasi dunia menyandang disabilitas dalam bermacam-macam kategori dan bermacam-macam tingkat keparahan.

    1.1. Definisi

    PENYANDANG DISABILITAS adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak (UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas, Pasal 1 Ayat 1)

    1.2. Ragam PENYANDANG DISABILITAS

    Menurut UU 8/2016 tentang PENYANDANG DISABILITAS , ragam PENYANDANG DISABILITAS meliputi:
    1) PENYANDANG DISABILITAS fisik (terganggunya fungsi gerak, antara lain meliputi: amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, celebral palsy (CP), akibat stroke, akibat kusta;
    2) PENYANDANG DISABILITAS intelektual (terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain: lambat belajar, tunagrahita, learning disability, down syndrom);
    3) PENYANDANG DISABILITAS mental (terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku yang meliputi: psikososial, autis, hiperaktivitas);
    4) PENYANDANG DISABILITAS sensorik (terganggunya salah satu fungsi panca indera: tunanetra, tunarungu).

    Mengingat luasnya persoalan disabilitas, maka dalam waktu yang singkat ini saya akan membatasi pembahasannya pada masalah aksesibilitas bagi penyandang disabilitas fisik dan sensorik saja.

    II. Pandangan Islam Terhadap Penyandang Disabilitas

    2.1. Istilah Disabilitas dalam Perspektif Islam

    Mengutip tulisan Ahmad Muntaha AM (Wakil Sekretaris LBM PWNU Jawa Timur), dalam perspektif Islam, penyandang disabilitas identik dengan istilah dzawil âhât, dzawil ihtiyaj al-khashah atau dzawil a’dzâr (orang-orang yang mempunyai keterbatasan, berkebutuhan khusus, atau mempunyai uzur).

    2.2. Ajaran Islam tentang Perlakuan terhadap Penyandang Disabilitas

    Nilai-nilai universalitas Islam seperti al-musawa (kesetaraan/equality) - Surat Al-Hujurat ayat 13, al-‘adalah (keadilan/justice) - Surat An-Nisa ayat 135 dan Al-Maidah ayat 8, al-hurriyyah (kebebasan/freedom) - Surat At-Taubah ayat 105) merupakan nilai-nilai yang harus diterapkan dalam memperlakukan penyandang disabilitas.

    Berikut ini adalah narasi dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan pendapat ulama terkemuka Islam tentang bagaimana sebaiknya kita memperlakukan penyandang disabilitas.

    (1) Surah An-Nur ayat 61:

    لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَى حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَنْ تَأْكُلُوا مِنْ بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ آبَائِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ ... (النور: 61)

    Artinya: Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak pula bagi orang pincang, tidak pula bagi orang sakit dan tidak pula bagi dirimu, untuk makan bersama-sama di rumahmu atau di rumah orangtuamu, di rumah saudara-saudaramu, atau di rumah kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka ataupun sendiri-sendiri. dr

    Ayat ini secara eksplisit menegaskan kesetaraan sosial antara penyandang disabilitas dan mereka yang bukan penyandang disabilitas. Mereka harus diperlakukan secara sama dan diterima secara tulus tanpa diskriminasi dalam kehidupan sosial.

    (2) Surah Abasa ayat 1-11:

    عَبَسَ وَتَوَلَّى (1) أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى (2) وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى (3) أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى (4) أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَى (5) فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّى (6) وَمَا عَلَيْكَ أَلَّا يَزَّكَّى (7) وَأَمَّا مَنْ جَاءَكَ يَسْعَى (8) وَهُوَ يَخْشَى (9) فَأَنْتَ عَنْهُ تَلَهَّى (10) كَلَّا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ (11) ... (عبس/1-11)

    Artinya, “Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpalingc karena seorang buta telah datang kepadanya. Dan tahukah engkau barangkali ia ingin menyucikan dirinya dari dosa, atau ia ingin mendapatkan pengajaran yang memberi manfaat kepadanya. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (para pembesar Quraisy), maka engkau memperhatikan mereka. Padahal tidak ada cela atasmu kalau mereka tidak menyucikan diri (beriman). Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera untuk mendapatkan pengajaran, sedang ia takut kepada Allah, engkau malah mengabaikannya. Sekali-kali jangan begitu. Sungguh ajaran-ajaran Allah itu adalah suatu peringatan. (QS 80:1-11).
    Firman tersebut menunjukkan bahwa hak untuk mendapat hidayah Allah tidak ditentukan oleh status sosial ataupun kondisi fisik seseorang, melainkan oleh niatnya untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.

    (3) Berkaitan dengan perintah shalat dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 43, pemuka ulama ahli tafsir asal Cordova Spanyol, Imam Al-Qurthubi (wafat 1273 M), menyatakan:

    وَلَا بَأْسَ بِإِمَامَةِ الْأَعْمَى وَالْأَعْرَجِ وَالْأَشَلِّ وَالْأَقْطَعِ وَالْخَصِيِّ وَالْعَبْدِ إِذَا كَانَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَ عَالِمًا بِالصَّلَاةِ.

    Artinya, “Orang buta, orang pincang, orang lumpuh, orang yang terputus tangannya, orang yang dikebiri, dan hamba sahaya tidak mengapa menjadi imam shalat bila masing-masing dari mereka mengetahui tatacara shalat.” Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa orang-orang yang mengalami keterbatasan fisik memiliki hak yang sama untuk memimpin peribadatan bila mereka memiliki pengetahuan yang cukup untuk itu.

    III. Aksesibilitas

    Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi semua orang termasuk penyandang disabilitas dan lansia guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan (Permen PU nomor 30/PRT/M/2006).

    Aksesibilitas mencakup aksesibilitas lingkungan fisik, aksesibilitas lingkungan sosial, dan aksesibilitas media komunikasi (tertulis maupun lisan).

    Penyediaan aksesibilitas dapat berupa: • Penyediaan teknologi asistif, yaitu teknologi khusus untuk membantu penyandang disabilitas; misalnya teknologi pembaca layar untuk membantu tunanetra mengakses layar komputer atau smartphone.
    • Memodifikasi lingkungan, misalnya mengganti atau melengkapi tangga dengan ramp untuk kepentingan pengguna kursi roda.
    • Mengubah kebijakan atau membuat kebijakan khusus, misalnya Peraturan Menteri Pekerjaan Umum tentang Fasilitas Aksesibilitas yang akan dibahas di bawah ini.
    • Memberikan dukungan personal, misalnya menerjemahkan pidato lisan ke dalam bahasa isyarat untuk kepentingan pemahaman teman yang tunarungu.

    Pembahasan kita kali ini akan dibatasi pada aksesibilitas lingkungan fisik saja, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan dimaksudkan sebagai acuan dalam penyediaan fasilitas dan aksesibilitas pada bangunan gedung dan lingkungan, bertujuan untuk mewujudkan kemandirian dan menciptakan lingkungan yang ramah bagi semua orang, termasuk penyandang disabilitas dan lansia.

    Ruang lingkup persyaratan teknis fasilitas dan aksesibilitas pada bangunan gedung dan lingkungan meliputi:
    a. Ukuran dasar ruang;
    b. Jalur pedestrian;
    c. Jalur pemandu;
    d. Area parkir;
    e. Pintu;
    f. Ramp;
    g. Tangga;
    h. Lif;
    i. Lif tangga (stairway lift);
    j. Toilet;
    k. Pancuran;
    l. Wastafel;
    m. Telepon;
    n. Perlengkapan dan Peralatan Kontrol;
    o. Perabot;
    p. Rambu dan Marka.

    IV. Aksesibilitas Masjid bagi Penyandang Disabilitas di Indonesia

    Untuk memperoleh sekilas gambaran tentang implementasi peraturan tentang aksesibilitas dalam Permen PU 2006 di atas dalam pembangunan masjid, berikut ini adalah hasil beberapa penelitian tentang aksesibilitas masjid bagi penyandang disabilitas di Indonesia.

    4.1. Aksesibilitas Masjid di Yogyakarta

    Aksesibilitas Ibadah Bagi Difabel: Studi atas Empat Masjid di Yogyakarta, oleh Arif Maftuhin, UIN Sunan Kalijaga, dipublikasikan dalam INKLUSI, Vol.1, No. 2 Juli - Desember 2014.

    Penelitian ini dilakukan terhadap empat masjid penting di Yogyakarta, yaitu Masjid Agung Kauman, Masjid Syuhada Kotabaru, Masjid Kampus UGM dan Masjid UIN Sunan Kalijaga.

    Dalam kaitannya dengan aksesibilitas lingkungan fisik masjid, penelitian ini dibimbing oleh 14 pertanyaan penelitian sbb.

    1) Apakah masjid berlokasi di tempat yang mudah dijangkau dengan berbagai moda transportasi: jalan kaki, kursi roda, sepeda, sepeda motor, mobil, dan bus
    2) Apakah tempat parkir ramah bagi penyandang disabilitas dengan kursi roda?
    3) Adakah slot khusus disediakan untuk parkir kendaraan penyandang disabilitas?
    4) Dari tempat parkir, apakah mudah bagi penyandang disabilitas untuk menjangkau area masjid?
    5) Adakah rute khusus yang bisa membantu kemandirian tunanetra dan pengguna kursi roda?
    6) Apakah tersedia ramp dan handrail di jalur masuk ke masjid?
    7) Apakah gerbang utama masuk masjid bisa dengan mudah diakses oleh kursi roda?
    8) Apakah ada akses yang mudah dari area parkir ke tempat wudu dan masuk ke dalam masjid bagi tunanetra dan pengguna kursi roda?
    9) Apakah kamar kecil bisa diakses kursi roda?
    10) Apakah ada tempat wudu yang bisa diakses kursi roda?
    11) Adakah kursi di tempat wudu untuk membantu mereka yang tidak dapat berdiri saat wudu?
    12) Apakah ruang utama masjid bisa diakses pengguna kursi roda?
    13) Adakah shaf khusus kursi untuk duduk jamaah yang tidak mampu berdiri?
    14) Apakah mimbar khutbah bisa diakses oleh khatib yang menggunakan kursi roda?

    Penelitian ini menunjukkan bahwa tiga masjid penting di DIY, yaitu Masjid Agung Kauman, Masjid Syuhada Kotabaru, dan Masjid Kampus UGM, belum memenuhi kriteria aksesibilitas. Ide ‘aksesibilitas ibadah’ tampaknya masih jauh dariketiganya. Ada ‘keseragaman’ arsitektural yang tampaknya dipengaruhi oleh pandangan bahwa Tuhan itu Maha Tinggi sehingga arsitektur masjid cenderung ‘meninggi’ tetapi tidak dilengkapi dengan akses lift atau ramp sehingga tidak aksesibel bagi pengguna kursi roda ataupun kruk, dan juga sangat menyulitkan bagi lansia yang sudah tidak memiliki cukup tenaga untuk menaiki tangga-tangga.
    Dari keempat masjid yang diteliti, hanya Masjid UIN Sunan Kalijaga yang sudah mendekati kriteria aksesibilitas. Sudah terdapat ramp yang sangat membantu bagi pengguna kruk dan kursi roda, dan jalur pemandu yang membantu kemandirian mobilitas jemaah tunanetra. Namun masih terdapat beberapa aspek lingkungan yang tidak begitu aksesibel.

      4.2. Aksesibilitas Masjid Kampus Universitas Diponegoro

    Aksesibilitas bagi Difabel pada Masjid Kampus Universitas Diponegoro (Studi Evaluasi Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30 Tahun 2006 tentang Pedoman Teknis dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan), oleh Salsabila Ryanandita dan Suzanna Ratih Sari, dipublikasikan dalam IMAJI Vol. 9 No.1 JULI 2020.

    Fasilitas Masjid Kampus Undip yang diobservasi dan dinilai dalam studi ini adalah area parkir, ram, tangga, toilet, serta jalur pemandu.
    Hasil studi ini menunjukkan bahwa:
    • Area parkir belum memenuhi spesifikasi Permen PU 2006;
    • Sudah terdapat ram untuk mendampingi atau menggantikan tangga pada area-area tertentu, tetapi ramp di tempat tertentu kelebaran dan kemiringannya belum sepenuhnya sesuai dengan spesifikasi Permen PU 2006;
    • Tida terdapat toilet yang aksesibel bagi pengguna kursi roda;
    • Tidak tersedia jalur pemandu bagi pejalan kaki tunanetra.

    Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Masjid Kampus Universitas Diponegoro belum memenuhi kriteria aksesibel bagi penyandang disabilitas.

    4.3. Aksesibilitas Masjid Agung Al Aqsa Klaten

    Aksesibilitas bagi Difabel pada Bangunan Masjid, oleh Afudaniati dan Himawanto, Universitas Sebelas Maret, dipublikasikan dalam Jurnal Arsitektur, Bangunan, & Lingkungan Vol.7 No.3 Juli 2018.

    Penelitian ini dilakukan terhadap Masjid Agung Al Aqsa Klaten, yang terletak di Kab. Klaten, Jawa Tengah.
    Kajian ini difokuskan pada aksesibilitas bagi penyandang disabilitas fisik dan lansia yang memiliki keterbatasan gerak untuk mobilitasnya, terutama pengguna kursi roda dan kruk.
    Fasilitas dalam kajian ini dikhususkan pada area luar yang terdiri dari area pedestrian dan area parker, dan area dalam yang terdiri dari pintu masuk, ramp, tangga, lif, toilet, wastafel,dan

    tempat wudhu. Dari kajian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat upaya untuk melengkapi sarana aksesibilitas pada bangunan masjid Agung Al Aqsa Klaten bagi penyandang disabilitas fisik dan lansia berdasarkan Permen PU 30/ PRT/M/2006. Meskipun prinsip aksesibilitas itu belum seluruhnya diterapkan, tetapi masjid ini sudah cukup aksesibel bagi PENYANDANG DISABILITAS fisik dan lansia. Namun demikian, masjid ini belum cukup aksesibel bagi penyandang tunanetra yang hendak datang secara mandiri karena belum tersedia jalur pemandu dan rambu-rambu braille untuk keperluan orientasi lingkungan bagi mereka.

    V. Kesimpulan

    Penyandang disabilitas memiliki hak dan kewajiban untuk beribadah sama seperti orang pada umumnya, tetapi kebanyakan masjid masih belum aksesibel bagi mereka untuk beribadah di masjid. Negara telah memfasilitasi aksesibilitas peribadatan bagi penyandang disabilitas dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang diperlukan. Pedoman teknis fasilitas dan aksesibilitas pada bangunan gedung dan lingkungan telah diundangkan oleh Menteri Pekerjaan Umum sejak tahun 2006, tetapi implementasinya di lapangan masih sangat terbatas.
    Dari enam masjid yang dikaji dalam tiga penelitian kualitatif yang disorot dalam tulisan ini, dua masjid sudah menyediakan fasilitas aksesibilitas meskipun belum sepenuhnya memenuhi standar aksesibilitas, sedangkan empat masjid lainnya belum menunjukkan perhatiannya terhadap penyediaan fasilitas aksesibilitas. Tentu saja angka-angka tersebut tidak merepresentasikan gambaran tentang penyediaan fasilitas aksesibilitas di masjid-masjid secara umum, karena penelitian tersebut bukanlah penelitian kuantitatif.
    Dari pengamatan saya secara tidak formal, kebanyakan masjid masih belum dibangun berdasarkan standar aksesibilitas sebagaimana diatur dalam Permen PU 2006.
    Namun demikian, kesadaran masyarakat umum tentang pentingnya penyediaan fasilitas aksesibilitas di rumah-rumah peribadatan tampaknya sudah semakin tumbuh; terbukti dengan semakin banyaknya peneliti yang mengangkat persoalan aksesibilitas sebagai fokus penelitiannya.
    Oleh karena itu, kita dapat optimistik bahwa masjid-masjid akan semakin aksesibel bagi muslim penyandang disabilitas di kemudian hari. Untuk mempercepat pertumbuhan aksesibilitas itu, diperlukan lebih banyak partisipasi dari semua pihak untuk mensosialisasikannya agar kesadaran tentang pentingnya aksesibilitas ini semakin tumbuh, terutama di kalangan masyarakat industri konstruksi.

    Labels:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google

    Tips agar Rol Plastik Penjilid Buku Tetap Rapi



    Tutorial ini ditujukan untuk mengatasi masalah yang sering dihadapi oleh para tunanetra pembaca Al-Qur’an braille, tapi juga akan berguna bagi para pembaca buku braille pada umumnya.

    Satu cara mudah dan murah untuk menjilid buku braille adalah menggunakan penjilid rol plastik. Tetapi masalahnya adalah cucuk-cucuk pada rol plastik penjilid itu gampang terlepas dari genggaman batang rolnya, dan bahkan sering juga terlepas dari lubang-lubang kertasnya, sehingga sering harus dirapikan kembali.
    Sebetulnya ada juga jenis rol penjilid yang dilengkapi dengan pengunci, tapi karena pertimbangan harga, pada umumnya rumah percetakan braille memilih yang tanpa pengunci demi menekan biaya produksi.

    Tutorial ini akan menunjukkan cara mudah dan murah untuk mengatasi masalah tersebut, yaitu dengan menggunakan selotip.
    Untuk itu, ikutilah langkah-langkah berikut.

    1. Siapkan buku braille dengan penjilid rol plastik yang akan dimodifikasi.
    2. Siapkan selotip (yang juga sering disebut isolasi) dengan kelebaran 1 cm.
    3. Potong selotip sepanjang sekitar 6 cm atau lebih.
    4. Rekatkan sekitar 2 cm solatip pada salah satu ujung batang rol penjilid buku itu.
    5. Masukkan sisa solatip (yang sekitar 4 cm) itu ke bagian dalam rol plastik penjilid itu dan rekatkan ke cucuk-cucuknya. Sekurang-kurangnya akan ada dua cucuk yang terekat oleh solatip itu.
    6. Sekarang lakukan langkah nomor 4 dan 5 di atas pada ujung batang rol penjilid yang satunya lagi.

    Maka sekarang kedua ujung batang rol penjilid itu sudah berpengunci, sehingga cucuk-cucuknya tidak akan terlepas lagi dari tempatnya.

    Selamat mencoba. Semoga pengalaman membaca buku braille akan menjadi lebih menyenangkan.

    Labels: ,

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google

    20 February 2024

    FilePlay - Mengunduh Video dari Youtube, Mengekspor Video MP4 Menjadi Audio MP4A dll.



    Tutorial bagi Pengguna iPhone dengan VoiceOver.

    FilePlay adalah aplikasi gratis yang dapat mengunduh video dari Youtube, mengekspor video MP4 ke audio MP4A, dan beberapa fungsi lainnya.

    Untuk mengunduh video dari Youtube (Misalnya anda akan mengunduh video lagu Senandung Kelasi):
    1. Copy link video lagu Senandung Kelasi dari Youtube.
    2. Masuk ke FilePlay, lalu paste link itu di bidang “Cari atau Masukkan Situs Web”, yang terletak di baris paling atas.
    3. Klik tombol Masuk yang terletak di pojok kanan bawah.
    4. Usap-usap ke kiri untuk menemukan tombol Unduh (atau Download), lalu klik tombol itu.
    Maka sekarang video Senandung Kelasi itu sudah ada di tab Folder, dalam format MP4. 5. Klik tombol Batalkan untuk menutup dialog pengunduhan.
    6. Untuk menemukan hasil download-nya, masuk ke tab Folder. Tab Folder itu terletak di urutan kedua dari kanan pada baris paling bawah.
    7. Di dalam tab Folder, usap-usap ke kiri atau kanan untuk menemukan video Senandung Kelasi.mp4.
    File di dalam tab Folder ini mungkin diurut berdasarkan tanggal pengunduhannya atau berdasarkan abjad namanya.

    Untuk mengekspor Video MP4 Menjadi Audio MP4A (misalkan anda akan mengekspor Senandung Kelasi.mp4 menjadi Senandung Kelasi.mp4a):
    1. Di FilePlay, temukan video Senandung Kelasi.MP4 di dalam tab Folders.
    2. Ketuk tiga kali secara cepat dengan satu jari pada nama file itu. Maka akan muncul menu yang berisi item-item berikut:
    - Ganti Nama,
    - Pindahkan,
    - Copy,
    - Hapus,
    - Buka di,
    - Edit Metadata,
    - Ekspor Audio.

    3. Klik pada item Ekspor Audio. Maka sekarang di tab Folder itu sudah muncul file baru, yaitu Selandung Kelasi.mp4a.

    Fungsi-fungsi Lain.

    Pertama, selain dua fungsi sebagaimana diuraikan di atas, FilePlay juga dapat berfungsi sebagai tempat penyimpanan dan pemutaran file video dan audio.
    Kedua, sebagaimana dapat anda lihat pada menu pada butir 2 di atas, file-file di dalam FilePlay ini dapat diganti nama, dihapus, dibuka di aplikasi lain (misalnya di WhatsApp, Google Drive, DropBox dll).


    Untuk mengunduh aplikasi FilePlay, silakan masuk ke App Store melalui tautan berikut:
    FilePlay - Your files player:
  • https://apps.apple.com/id/app/fileplay-documents-player/id1558723050


  • Selamat mencoba.

    Labels:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google

    22 October 2023

    Membuat Peralatan Eletronik Digital Aksesibel bagi Tunanetra


    DR. Didi Tarsidi, M.Pd.

    Digitalisasi peralatan elektronik telah mempermudah pengguna pada umumnya untuk mengoperasikannya tapi justru telah membuatnya tidak aksesibel bagi pengguna yang tunanetra.
    Dengan digitalisasi, tombol-tombol pada oven microwave, mesin cuci, televisi dll, menjadi hilang, digantikan dengan “tombol virtual” dengan label yang tak dapat diraba. Keadaan tersebut menyulitkan bagi orang tunanetra untuk mengoperasikannya secara mandiri.
    Tapi ini dapat diatasi dengan penggunaan Dymo Label Tape yang ditulisi huruf braille, yang ditempelkan pada tombol virtual tersebut.

    Dymo label tape adalah sejenis pita plastik berperekat yang diproduksi untuk memberi label pada barang-barang tertentu seperti botol, kotak, map dll. Lebarnya 12 mm, pas untuk ketinggian huruf braille. Pita ini ada yang dijual dalam gulungan untuk kepanjangan 4 meter seharga sekitar 60 ribu rupiah.

    Cara Membuat Label braille dengan Dymo Label Tape.
    1. Pilihlah dymo label tape yang transparan (tidak berwarna) agar bila ditempelkan pada tombol virtual tersebut, label aslinya masih dapat terbaca oleh orang awas.
    2. Bila ada, gunakanlah reglet Perkins untuk menulisi dymo label tape itu. Pada bilah atas reglet Perkins terdapat lubang tambahan pada kedua ujung baris kedua. Panjang lubang tambahan itu pas untuk kelebaran dymo label tape yang 12 mm.
    3. Potonglah dymo label tape sepanjang reglet (sekitar 21 cm).
    4. Dari arah atas reglet yang tertutup, masukkan potongan dymo label tape itu ke lubang tambahan di sebelah kiri, lalu tarik ke kanan untuk mengeluarkannya dari lubang tambahan di sebelah kanan, atau sebaliknya. Dengan demikian, dymo label tape itu akan melintang sepanjang bagian dalam baris kedua reglet itu, dari lubang tambahan kiri ke lubang tambahan kanan, atau sebaliknya.
    5. Agar pita itu tidak bergeser posisinya pada saat ditulisi, rekatkan kedua ujungnya dengan selotip (sticky tape) ke permukaan reglet.
    6. Ingat, pada saat sedang ditulisi, permukaan luar dymo label tape itu harus menghadap ke bawah, sedangkan permukaan dalamnya (yaitu bagian yang berperekat) menghadap ke atas. Dengan demikian, tulisan Braille akan muncul di permukaan luar.
    7. Bila anda tidak memiliki reglet Perkins, rentangkanlah potongan dymo label tape di sepanjang baris kedua pada bagian dalam bilah atas reglet. Kemudian rekatkanlah kedua ujungnya dengan selotip ke bilah atas reglet agar dymo label tape tersebut tidak bergeser dari posisinya pada saat ditulisi.
    8. Sekarang anda sudah siap untuk menulisi label braille untuk ditempelkan di atas “tombol virtual” barang elektronik digital.

    Berapa banyakkah huruf braille yang dapat ditulis pada label braille ini? Itu tergantung pada seberapa besar ruang yang tersedia pada label awasnya. Untuk mengetahui itu, kita perlu bantuan orang awas.
    Sekedar sebagai gambaran, saya akan menunjukkan sebagian label awas yang tersedia pada Microwave Sharp.
    Pada baris kedua dari atas panel kontrol microwave ini terdapat tida tombol virtual.
    Tombol pertama berlabelkan “Popcorn” (7 huruf).
    Tombol kedua berlabelkan “Jacket Potato” (13 huruf termasuk spasi).
    Sedangkan tombol ketiga berlabelkan “Pizza” (5 huruf).
    Huruf-huruf pada label awas di atas tidak mungkin dicantumkan semuanya pada label braille. Oleh karenanya, kita harus menyingkatnya menjadi hanya dua atau tiga huruf saja.
    Jadi, pada label braille, saya menyingkat “popcorn” menjadi “pc”, “jacket potato” menjadi “jp”, dan “pizza” menjadi “pz”.

    Setelah semua label braile yang diperlukan siap, kini kita harus menempelkannya di tempatnya masing-masing. Misalnya, label braille yang bertulisan “pc” ditempelkan ke tombol virtual yang berlabel “pop corn”. Tentu ini perlu dilakukan dengan bantuan orang awas.
    Setelah semua label braille itu terpasang, maka sekarang peralatan elektronik digital itu sudah menjadi aksesibel bagi pengguna yang tunanetra, sehingga mereka dapat mengoperasikannya secara mandiri.

    Bila anda tertarik dengan cara membuat peralatan elektronik digital menjadi aksesibel sebagaimana dideskripsikan dalam artikel ini, tentu anda akan perlu dymo label tape.
    Dymo label tape LetraTag berukuran 12 mm lebar, 4 meter panjang, seharga Rp 58.500, dapat dibeli melalui Tokopedia, antara lain lewat link berikut:
    https://tokopedia.link/tVahhP4xIDb Pilihlah yang transparan.

    Labels: ,

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke DAFTAR ISI