DOCTYPE html PUBLIC "-//W3C//DTD XHTML 1.0 Strict//EN" "http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-strict.dtd"> Didi Tarsidi: Counseling, Blindness and Inclusive Education: Dari Segregasi Menuju Inklusi
  • HOME


  • Guestbook -- Buku Tamu



    Anda adalah pengunjung ke

    Silakan isi Buku Tamu Saya. Terima kasih banyak.
  • Lihat Buku Tamu


  • Comment

    Jika anda ingin meninggalkan pesan atau komentar,
    atau ingin mengajukan pertanyaan yang memerlukan respon saya,
    silakan klik
  • Komentar dan Pertanyaan Anda




  • Contents

    Untuk menampilkan daftar lengkap isi blog ini, silakan klik
  • Contents -- Daftar Isi




  • Izin

    Anda boleh mengutip artikel-artikel di blog ini asalkan anda mencantumkan nama penulisnya dan alamat blog ini sebagai sumber referensi.


    28 June 2007

    Dari Segregasi Menuju Inklusi

    (Refleksi Seorang Tunanetra)

    Oleh Didi Tarsidi

    Saya lahir di Sumedang pada tahun 1951 dan menjadi tunanetra pada usia lima tahun, dan dimasukkan ke SLB bagi Tunanetra di Bandung pada usia sembilan tahun. Di antara pengalaman pertama di SLB yang tidak pernah saya lupakan adalah pedihnya berpisah dari orang tua. Saya menghabiskan beberapa hari pertama di SLB itu untuk menangisi perpisahan tersebut.

    Selain dari itu, saya merasa nyaman bersekolah di sekolah khusus bagi anak tunanetra dan tinggal di asrama khusus bagi tunanetra karena hal-hal berikut:
    - Tersedia alat-alat bantu belajar yang dirancang khusus untuk siswa tunanetra, seperti buku-buku Braille, alat bantu hitung taktual, peta timbul, dll.
    - Jumlah siswa dalam satu kelas tidak lebih dari delapan orang sehingga guru dapat memberikan layanan individual kepada semua siswa.
    - Lingkungan sosial ramah karena sebagian besar memiliki pemahaman yang tepat mengenai ketunanetraan.
    - Lingkungan fisik aksesibel karena pada umumnya dirancang dengan mempertimbangkan masalah mobilitas tunanetra, dan kami mendapat latihan keterampilan orientasi dan mobilitas, baik dari instruktur O&M maupun tutor sesama tunanetra.
    - Dapat menemukan orang tunanetra yang sudah berhasil yang dapat dijadikan sebagai model.

    Akan tetapi, banyak permasalahan yang dihadapi ketika saya keluar dari lingkungan yang eksklusif ini. Masyarakat pada umumnya masih memandang saya (dan orang tunanetra pada umumnya) sebagai “makhluk aneh” yang patut dikasihani atau bahkan kadang-kadang ditakuti. Apabila mereka mendapati bahwa kami dapat melakukan sesuatu yang mereka pikir terlalu sulit atau bahkan mustahil dapat dilakukan tanpa penglihatan, mereka akan mengagumi kami secara tidak proporsional. Akan tetapi, lambat-laun sikap ini cenderung berubah ke arah yang lebih positif. Ini menunjukkan bahwa melalui pergaulan yang inklusif, masyarakat akan menyadari bahwa orang tunanetra ternyata mempunyai lebih banyak persamaan daripada perbedaan dengan orang-orang pada umumnya. Dengan mengoptimalkan fungsi indera-indera nonvisual dan pemanfaatan berbagai teknik alternatif (termasuk dengan bantuan teknologi asistif) plus sedikit toleransi yang penuh pemahaman dari masyarakat, ketunanetraan tidak lebih dari sekedar satu karakteristik manusia, yang memungkinkan orang dapat berfungsi sebagai anggota masyarakat yang mampu berpartisipasi secara kontributif dalam kehidupan sosial. Akan tetapi, untuk dapat memperoleh pengakuan sosial tersebut, orang tunanetra harus melalui proses yang panjang, yang sering kali penuh dengan pengalaman yang menyakitkan.

    Paparan di atas mengindikasikan bahwa pendidikan bagi anak tunanetra dalam setting segregasi dapat memberikan lingkungan belajar yang aman, nyaman dan memenuhi kebutuhan khusus anak tunanetra secara akademik, tetapi cenderung memisahkan anak dari lingkungan sosialnya (termasuk dari lingkungan keluarganya), dan kurang memberi kesempatan kepada anak untuk bersosialisasi secara lebih luas. Pada gilirannya, segregasi tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat luas untuk mengenal orang tunanetra secara benar, dan hal ini cenderung mengekalkan sikap diskriminatif terhadap para tunanetra.

    Pendidikan inklusif tampaknya dapat mengatasi kekurangan-kekurangan yang ditimbulkan oleh sistem segregasi. Saya mengartikan pendidikan inklusif sebagai pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama kepada semua anak – termasuk anak penyandang cacat – untuk belajar bersama-sama dalam lingkungan belajar yang sama, di mana semua anak memiliki akses yang sama ke sumber-sumber belajar yang tersedia, dan kiebutuhan khusus setiap anak diperhatikan dan dipenuhi. “Sekolah reguler dengan orientasi inklusi merupakan alat yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminatif, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun masyarakat yang inklusif dan mencapai Pendidikan bagi Semua. Lebih jauh, sekolah semacam ini akan memberikan pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak dan meningkatkan efisiensi dan pada akhirnya akan menurunkan ongkos bagi seluruh sistem pendidikan” (Pernyataan Salamanca).

    Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa inklusi siswa penyandang cacat (dari bermacam-macam kategori kecacatan dengan berbagai tingkat kecacatannya) ke dalam kelas reguler berhasil dengan baik bila didukung oleh faktor-faktor berikut ini:

    1. Sikap dan keyakinan yang positif:
    - Guru reguler yakin bahwa siswa penyandang cacat akan berhasil.
    - Kepala sekolah merasa bertanggung jawab atas hasil belajar siswa penyandang cacat.
    - Seluruh staf dan siswa sekolah yang bersangkutan telah dipersiapkan untuk menerima kehadiran siswa penyandang cacat.
    - Orang tua anak penyandang cacat terinformasi dan mendukung tercapainya tujuan program sekolah.
    - Guru pembimbing khusus memiliki komitmen untuk berkolaborasi dengan guru reguler di kelas.

    2. Tersedia program untuk memenuhi kebutuhan spesifik siswa penyandang cacat. Untuk siswa tunanetra, program ini mencakup Braille, orientasi dan mobilitas, keterampilan kehidupan sehari-hari (ADL), dan keterampilan sosial.
    3. Tersedia peralatan khusus dan teknologi asistif untuk mengakses program kurikuler. Bagi siswa tunanetra, ini mencakup alat tulis dan buku Braille, peta timbul, komputer bicara, dan sebagainya.
    4. Lingkungan fisik diadaptasikan agar lebih aksesibel bagi siswa penyandang cacat. Bagi siswa tunanetra, adaptasi tersebut mencakup penyediaan tanda-tanda taktual atau auditer untuk memudahkan mereka mengorientasi lingkungan.

    5. Dukungan sistem:
    - Kepala sekolah memahami kebutuhan khusus siswa penyandang cacat.
    - Tersedia personel dengan jumlah yang cukup, termasuk guru pembimbing khusus dan tenaga pendukung lainnya.
    - Terdapat upaya pengembangan staf dan pemberian bantuan teknis yang didasarkan pada kebutuhan personel sekolah (misalnya pemberian informasi yang tepat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kecacatan, metode pengajaran, kegiatan kampanye kesadaran dan penerimaan bagi para siswa, dan latihan keterampilan kerja tim).
    - Terdapat kebijakan dan prosedur yang tepat untuk memonitor kemajuan setiap siswa penyandang cacat, termasuk untuk asesmen dan evaluasi hasil belajar.

    6. Kolaborasi:
    - Guru pembimbing khusus menyiapkan program pengajaran individualisasi (individualized educational program) bagi siswa penyandang cacat, dan merupakan bagian dari tim pengajar di kelas reguler.
    - Pendekatan tim dipergunakan untuk pemecahan masalah dan implementasi program.
    - Guru reguler, guru pembimbing khusus dan spesialis lainnya berkolaborasi (misalnya dalam co‑teaching, team teaching, teacher assistance teams).

    7. Metode pengajaran:
    - Guru memiliki pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk memilih dan mengadaptasikan materi pelajaran dan metode pengajaran menurut kebutuhan khusus setiap siswa.
    - Dipergunakan berbagai strategi pengelolaan kelas (misalnya team teaching, cross‑grade grouping, peer tutoring, teacher assistance teams).
    - Guru menciptakan lingkungan belajar kooperatif dan mempromosikan sosialisasi bagi semua siswanya.

    8. Dukungan masyarakat:
    - Masyarakat menyadari bahwa anak penyandang cacat merupakan bagian integral dari masyarakat tersebut.
    - Terdapat organisasi penyandang cacat yang aktif melakukan advokasi dan kampanye kesadaran masyarakat, dan berfungsi sebagai wahana untuk mempertemukan anak dengan orang dewasa penyandang cacat sebagai model guna memperkuat motivasi belajarnya.

    Andaikata sekarang saya harus kembali bersekolah dan ditanya apakah saya akan memilih sekolah dengan setting segregasi atau inklusi, jawabannya akan tergantung pada kondisi riil pelaksanaan pendidikan itu. Andaikata pendidikan inklusif sudah diimplementasikan dengan mencakup kedelapan faktor di atas, maka saya pasti akan memilih sekolah inklusif.
    Tentang Penulis

    Drs. Didi Tarsidi, M.Pd., adalah dosen pada Jurusan Pendidikan Luar Biasa, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung. Gelar sarjananya diperoleh dari IKIP Bandung pada Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, dan gelar magisternya dari Sekolah Pasca-Sarjana, UPI, pada Program Studi Bimbingan dan Konseling dengan konsentrasi pada pendidikan luar biasa. Saat ini dia sedang menulis disertasi untuk gelar doktornya pada Program Studi Bimbingan Konseling, dengan judul disertasi “Konseling Rehabilitasi bagi Tunanetra Dewasa”. Dalam keorganisasian, dia adalah Ketua Umum Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni).

    Pengalaman pertamanya belajar di kelas reguler adalah ketika dia mengawali masa perkuliahannya di IKIP Bandung pada tahun 1973, dan kehidupannya yang mandiri di dalam masyarakat dimulainya ketika dia memasuki kehidupan berumah tangga pada tahun 1980. Dia menikah dengan Wacih Kurnaesih, seorang guru SLB, yang juga tunanetra. Pekerjaan sampinganya sebagai guru privat bahasa Indonesia bagi orang-orang asing dan sebagai penerjemah telah memungkinkanya memiliki tabungan yang cukup untuk membeli sebuah rumah beberapa bulan sebelum pernikahannya. Rumah itu terletak di Jalan H. Kurdi, sekitar 8 km dari SLB tempat Wacih bekerja atau sekitar 14 km dari UPI tempat Didi bekerja. Mereka dikaruniai dua orang anak laki-laki, Tommi (lahir tahun 1981) dan Sendy (lahir tahun 1983).

    Labels:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke DAFTAR ISI