DOCTYPE html PUBLIC "-//W3C//DTD XHTML 1.0 Strict//EN" "http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-strict.dtd"> Didi Tarsidi: Counseling, Blindness and Inclusive Education: Analisis Fungsi Organ-organ Penginderaan dan Pengembangannya bagi Individu Tunanetra
  • HOME


  • Guestbook -- Buku Tamu



    Anda adalah pengunjung ke

    Silakan isi Buku Tamu Saya. Terima kasih banyak.
  • Lihat Buku Tamu


  • Comment

    Jika anda ingin meninggalkan pesan atau komentar,
    atau ingin mengajukan pertanyaan yang memerlukan respon saya,
    silakan klik
  • Komentar dan Pertanyaan Anda




  • Contents

    Untuk menampilkan daftar lengkap isi blog ini, silakan klik
  • Contents -- Daftar Isi




  • Izin

    Anda boleh mengutip artikel-artikel di blog ini asalkan anda mencantumkan nama penulisnya dan alamat blog ini sebagai sumber referensi.


    03 July 2007

    Analisis Fungsi Organ-organ Penginderaan dan Pengembangannya bagi Individu Tunanetra

    />
    Oleh Didi Tarsidi


    I. Pendahuluan

    Terdapat dua mispersepsi yang saling bertentangan di kalangan masyarakat awam tentang keadaan yang mungkin terbentuk bila orang kehilangan indera penglihatannya. Pertama, banyak orang percaya bahwa bila orang kehilangan penglihatannya, maka hilang pulalah semua persepsinya. Kedua, mispersepsi bahwa secara otomatis orang tunanetra akan mengembangkan indera keenam untuk menggantikan fungsi indera penglihatan.
    Mispersepsi pertama tersebut terbentuk berdasarkan bayangan yang menakutkan tentang betapa sulitnya kehidupan tanpa indera penglihatan. Orang mencoba menutup mata beberapa saat seraya berjalan beberapa langkah,dan mendapati bahwa kebutaan merupakan pengalaman yang tak ingin mereka bayangkan.
    Di pihak lain, orang juga mengamati bahwa individu tunanetra ternyata dapat melakukan banyak hal tanpa menggunakan indera penglihatan, sesuatu yang tidak dapat benar-benar mereka mengerti, sehingga kemampuan itu mereka atribusikan sebagai kemampuan yang didasarkan atas penggunaan indera "keenam" yang tumbuh secara alami.

    Yang benar adalah bahwa orang awas dapat dengan mudah menggunakan informasi yang diperolehnya secara visual dan mengabaikan, tidak menghargai atau tidak menyadari semua sumber informasi lain yang ada jika data visual awal diproses oleh otak. Orang menjadi sangat berketergantungan pada penglihatan sebagai sumber utama atau bahkan satu-satunya sumber informasi, dan kebanyakan orang tidak ingin membayangkan hidup tanpanya. Tetapi sesungguhnya sumber-sumber lain itu tersedia bagi semua orang, dan hanya apabila sumber utama informasi itu berkurang maka sumber-sumber lain itu menjadi lebih dihargainya dan keterampilan berdasarkan informasi non-visual itu terasah (Brenda Houlton‑Aikin, 2001).
    Jadi, sesungguhnya tidak ada indera keenam sebagaimana dipersepsikan masyarakat awam (meskipun ada indera-indera lain di samping pancaindera - yang akan dibahas kemudian), dan bahkan juga tidak benar bahwa indera pendengaran, perabaan, dan penciuman orang tunanetra otomatis lebih tajam daripada orang awas. Yang pasti benar adalah bahwa orang tunanetra dapat belajar mengunakan indera-indera lain dengan cara yang berbeda dari yang dipergunakan oleh orang awas pada umumnya sehingga mereka dapat meningkatkan informasi yang diperolehnya untuk dapat berfungsi secara memadai di dalam dunia awas (the Hadley School for the Blind, 1985).
    Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman tentang proses penginderaan dan memberikan saran-saran kepada para guru yang mengajar anak tunanetra tentang cara-cara mengoptimalkan fungsi indera-indera non-visualnya.


    II. Proses Penginderaan

    Organ-organ penginderaan berfungsi memperoleh informasi dari lingkungan dan mengirimkannya ke otak untuk diproses, disimpan dan ditindaklanjuti. Masing-masing organ penginderaan bertugas memperoleh informasi yang berbeda-beda. Informasi visual seperti warna dan citra bentuk diperoleh melalui mata. Informasi auditer berupa bunyi atau suara diperoleh melalui telinga. Informasi taktual seperti halus/kasar diperoleh melalui permukaan kulit yang menutupi seluruh tubuh. Kulit ujung-ujung jari merupakan akses informasi taktual yang paling peka, dan oleh karenanya indera ini disebut indera perabaan. Selain informasi taktual, kulit juga mempersepsi informasi suhu (panas/dingin). Karena kekhasan informasi suhu ini, ada para ahli yang menggolongkan informasi suhu sebagai informasi penginderaan tersendiri yang dipersepsi oleh indera "thermal" (thermal sense). Dua organ indera lainnya yang
    termasuk pancaindera adalah hidung untuk penginderaan informasi bau/aroma, dan lidah untuk penginderaan informasi rasa (manis, asin, dll.).
    Indera apakah yang bekerja untuk memberikan informasi ke otak bahwa jalan yang anda injak itu miring atau bergoyang? Ada yang berpendapat bahwa informasi tersebut dipersepsi melalui "indera keseimbangan" yang berpusat di telinga. Akan tetapi, karena terpersepsinya informasi tersebut juga melibatkan bagian-bagian tubuh lain terutama otot-otot persendian, ahli lain berpendapat bahwa informasi tersebut diperoleh melalui "propriosepsi", yaitu penginderaan atau persepsi tentang berbagai posisi dan gerakan bagian‑bagian tubuh yang saling berkaitan, terlepas dari indera penglihatan.

    Semua informasi yang dipersepsi melalui organ-organ penginderaan itu melewati tiga prosesor dan dikodekan dalam bentuk linguistik, nonlinguistik, atau afektif. Hubungan antara ketiga prosesor tersebut dengan informasi yang dipersepsi melalui indera-indera itu digambarkan dalam gambar 2.1.


    Linguistic


    Outside Sensory Non Linguistic Memory
    World Perception

    Affective


    Gambar 2.1: Alur informasi (Robert J. Marzano, 1998)

    Untuk mengilustrasikan alur informasi sebagaimana digambarkan di atas, bayangkanlah seorang individu menonton pergulatan matador dengan banteng untuk pertama kalinya - satu pengalaman dari dunia luar. Jenis informasi pertama yang diterimanya tentang pengalaman baru ini akan berupa data penginderaan mentah. Data tersebut akan segera dikodekan dalam ketiga bentuk di atas. Dia akan mengkodekan data sensoris ini secara linguistik, yaitu sebagai informasi tentang pergulatan matador. Dia juga akan mengkodekan data itu dalam bentuk nonlinguistik, yaitu sebagai citra mental tentang matador. Akhirnya, dia akan mengkodekannya secara afektif, yaitu sebagai perasaan emosi yang kuat mengenai pengalaman itu.


    III. Latihan Keterampilan Penginderaan

    3.1. Indera pendengaran

    Anda mungkin mau bereksperimen dengan menutup mata anda dengan blindfold selama satu hari dan tinggal di rumah sepanjang hari. Tidak ada informasi visual yang dapat anda peroleh, tetapi anda akan menyadari kemajuan waktu (meskipun di rumah anda tidak terdapat jam dinding yang berdentang dari waktu ke waktu), melalui informasi auditer yang anda dengar dari lingkungan anda. Jika burung-burung mulai berkicau dan bunyi lalu-lintas semakin ramai, anda akan yakin bahwa matahari sudah terbit untuk memulai kehidupan siang hari; dan bila suara-suara ini mereda, itu tandanya malam hari mulai menjelang. Suara tukang koran atau bunyi koran yang dilemparkannya ke beranda rumah anda mengindikasikan koran pagi atau koran sore telah datang untuk menandai tibanya pagi dan berlalunya sore. Dengarkan juga kalau-kalau ada bunyi bel atau sirine yang terdengar dari sekolah atau pabrik pada jam-jam tertentu, atau azan dari mesjid-mesjid. Anda juga akan menyadari langkah kaki dan celotehan anak-anak pada saat pergi atau pulang dari sekolah, serta bunyi-bunyi lain yang khas untuk daerah tempat tinggal anda - seperti bunyi gerobak sampah atau pedagang keliling yang biasa lewat di sekitar rumah anda. Suara-suara ini memang tidak akan memberikan gambaran yang tepat tentang jam, tetapi akan terus menyadarkan anda tentang kemajuan hari dan meningkatkan pengetahuan umum anda tentang daerah tempat tinggal anda.
    Pengembangan keterampilan mendengarkan juga secara bertahap akan membuat anda sadar akan pola perilaku tetangga anda - kapan mereka berangkat kerja, kembali ke rumah, menonton TV, dan memasak. Diperlengkapi dengan pengetahuan ini, seorang individu tunanetra akan tahu ke mana dan kapan dia dapat meminta bantuan jika benar-benar memerlukannya.
    Dengan dilatih, pendengaran juga akan menjadi peka terhadap bunyi-bunyi kecil di rumah anda seperti tetesan air dari keran yang bocor, desau komputer yang lupa tidak dimatikan, desis kompor gas yang belum dimatikan secara sempurna.
    Dari bunyinya, anda juga dapat memperkirakan apa yang tengah dilakukan oleh orang-orang di sekitar anda - bunyi kaki yang sedang dimasukkan ke celana, garitan pencukur janggut ketika seseorang sedang bercukur, bunyi goresan pena saat orang sedang menulis, dan perbedaan antara bunyi gelas dan piring atau panci yang sedang diletakkan orang di atas meja.
    Dengan melatih keterampilan pendengaran seperti ini, tanpa menggunakan indera penglihatan anda akan dapat menyadari apa yang sedang dilakukan oleh orang-orang di sekitar anda - melalui sumber informasi bunyi yang telah ada di sana tetapi anda tidak menyadarinya karena anda selalu bergantung pada indera penglihatan, satu hal yang harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh individu tunanetra karena kondisi yang memaksanya.

    Di samping itu, dengan sedikit imaginasi dan kreativitas, anda dapat memanfaatkan indera pendengaran ini untuk memberikan informasi tentang hal-hal yang normalnya tidak diperoleh secara auditer. Misalnya, bola yang diberi bunyi-bunyian memungkinkan anak tunanetra bermain bola. Dia akan dapat mengikuti arah bola dengan telinganya. Dengan teknologi, berbagai peralatan dapat dimodifikasi agar memberikan informasi auditer. Misalnya komputer, jam tangan, termometer, dll. dapat diakses oleh tunanetra setelah dibuat bersuara.

    3.2. Indera perabaan

    Hampir sama pentingnya dengan indera pendengaran adalah indera perabaan. Anda mungkin tidak menyadari bahwa indera perabaan ini dapat memberikan informasi yang biasanya anda peroleh melalui indera penglihatan. Anda ingat bahwa dengan indera perabaan anda pasti dapat membedakan bermacam-macam benda yang ada di dalam saku belakang celana anda, dan untuk itu anda tidak menggunakan indera penglihatan, bukan? Keterampilan seperti ini dapat anda kembangkan juga untuk hal-hal lain dalam berbagai macam situasi. Dengan meraba perbedaan bentuk kemasannya atau teksturnya, anda dapat membedakan bermacam-macam bahan makanan yang akan anda masak. Anda pasti tidak akan mempertukarkan kecap dengan minyak goreng, atau beras dengan kacang hijau, misalnya.
    Dengan meraba bentuk dan besarnya kancing, kerah atau bagian-bagian lain dari pakaian anda serta memperhatikan tekstur bahannya, anda juga dapat menggunakan indera perabaan untuk mengenali pakaian anda.

    Jika anda sudah mengembangkan kesadaran akan fungsi indera perabaan, anda akan mendapati bahwa banyak informasi tentang lingkungan anda yang dapat diberikan oleh ujung-ujung jari - informasi yang sesungguhnya selalu ada di sana tetapi anda tidak membutuhkannya karena anda terlalu bergantung pada indera penglihatan.
    Sebagaimana dikemukakan di atas, indera perabaan tidak terbatas pada tangan saja. Arus udara yang menerpa wajah anda dapat menginformasikan bahwa pintu atau jendela telah dibiarkan terbuka. Kaki anda dapat belajar mendeteksi perbedaan antara karpet, tikar dan permukaan lantai, antara jalan aspal dengan tanah atau rumput.

    Bagi individu tunanetra, tongkat merupakan perpanjangan fungsi indera perabaan. Tongkat tidak hanya mendeteksi hambatan jalan, tetapi juga memberikan informasi tentang tekstur permukaan jalan, sehingga orang tunanetra dapat mengetahui apakah yang akan diinjaknya itu tanah becek, rumput, semen, dll.
    Daya imaginasi dan kreativitas orang telah membantu para tunanetra mengakses berbagai peralatan yang normalnya diakses orang secara visual. Misalnya, pembuatan peta timbul, jam tangan Braille, kompas Braille, dsb. Di atas semua itu, diciptakannya sistem tulisan Braille oleh Louis Braille merupakan karya taktual terbesar bagi tunanetra.

    3.3. Indera penciuman

    Indera penciuman juga harus dikembangkan. Lihatlah betapa banyaknya bahan makanan yang dapat anda kenali melalui indera penciuman. Misalnya, jika anda tidak dapat membedakan antara kunyit dan jahe melalui perabaan, kenalilah baunya. Indera penciuman juga dapat membantu anda mengenali lingkungan anda. Bila anda memasuki pusat perbelanjaan, anda pasti dapat membedakan aroma toko makanan, toko pakaian, toko sepatu, toko obat, dll.

    3.4. Sisa indera penglihatan

    Sebagian besar orang yang dikategorikan sebagai tunanetra masih mempunyai sisa penglihatan. Tetapi tingkat sisa penglihatan mereka itu sangat bervariasi, begitu pula kemampuan mereka untuk memanfaatkan sisa penglihatan tersebut. Kondisi fisik secara keseluruhan, jenis gangguan mata yang dialami, bentuk pengaruh cahaya terhadap mata, dan durasi baiknya penglihatan, kesemuanya ini akan sangat berpengaruh terhadap seberapa baik individu yang low vision dapat menggunakan sisa penglihatannya. Seorang individu low vision harus dapat mengamati kondisi matanya untuk menentukan kekuatan dan kelemahannya sendiri dalam hal-hal ini. Kebanyakan orang low vision dapat merespon secara baik terhadap warna-warna kontras, dan mereka harus memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Misalnya, lantai dasar dan puncak tangga dapat dicat atau diberi karpet dengan warna mencolok dan menandai pinggiran anak tangga dengan isolasi pemantul cahaya agar mereka lebih waspada. Untuk memudahkan mencarinya, benda-benda kerja yang kecil seperti pulpen atau obeng, mereka dapat meletakkannya pada alas dengan warna mencolok. Cara lainnya adalah dengan memilih barang kesukaannya dengan warna yang mudah dibedakan dari barang-barang lain yang serupa.
    Untuk mempertinggi kekontrasan dan meningkatkan lingkungan visual pada umumnya, pertimbangkanlah pentingnya penggunaan cahaya yang lebih terang. Kondisi mata masing-masing individu low vision akan menentukan pengaturan pencahayaan yang bagaimana yang paling baik bagi dirinya. Seberapa besar kekuatan bohlam yang dipergunakan, di mana lampu sebaiknya diletakkan, apakah lebih baik menggunakan lampu neon atau lampu biasa, cara-cara pengaturan cahaya agar tidak silau, dll., semuanya ini akan tergantung pada situasi tempat tinggal dan kondisi penglihatan individu. Di kebanyakan rumah, sering terlalu sedikit orang memperhatikan kondisi pencahayaan yang memadai ini, dan penghuninya sering menerima keadaan itu sebagaimana adanya saja tanpa mempertimbangkan bagaimana kondisi tersebut dapat diperbaiki. Bagi anggota keluarga yang lain, perbaikan kondisi pencahayaan ini dapat meningkatkan kenyamanan, tetapi bagi individu low vision lebih dari sekedar kenyamanan, melainkan juga menentukan apakah dia dapat melaksanakan tugas atau tidak, dan juga akan mencegah terjadinya hal-hal yang dapat membahayakan keselamatan dirinya.
    Di samping gagasan-gagasan tentang penggunaan warna kontras dan pengaturan pencahayaan lingkungan ini, pertimbangan juga harus dilakukan untuk memodifikasi alat-alat bantu belajar/kerja agar sisa penglihatan dapat lebih fungsional. Misalnya, penyediaan buku-buku bertulisan besar, jenis kaca pembesar yang tepat, penggunaan program magnifikasi untuk memperbesar tampilan pada monitor komputer, dsb., akan sangat membantu meningkatkan keberfungsian individu low vision.


    IV. Visualisasi, Ingatan Kinestetik, dan Persepsi Obyek

    Memahami kemampuan orang untuk memvisualisasikan lingkungannya, memanfaatkan persepsi obyek, dan menggunakan ingatan kinestetik, akan membantu anda lebih memahami bagaimana individu tunanetra dapat berfungsi dengan baik di dalam lingkungannya.

    4.1. Visualisasi

    Cara lain bagi individu tunanetra untuk mendapatkan kenyamanan di dalam lingkungannya dan membantunya bergerak secara mandiri adalah dengan menggunakan ingatan visual (visual memory) (juga disebut peta mental). Setelah berorientasi dengan baik dengan memanfaatkan semua indera dengan sebaik-baiknya, individu tunanetra dapat menggambarkan lingkungannya di dalam pikirannya. Misalnya, di dalam mata pikirannya, dia dapat melihat ke arah mana pintu terbuka, barang apa yang terdapat di sebelah kiri atau kanannya, barang apa yang menjorok dan menghambat jalan yang akan dilaluinya, dan di mana letak jendela. Dia juga harus mengingat di mana letak tombol lampu meskipun dia sendiri sesungguhnya tidak memerlukan lampu, tetapi dia perlu menyalakan atau mematikannya pada saat yang tepat agar tetap menjadi bagian dari kehidupan yang normal. Hal yang sama berlaku untuk gorden jendela.
    Dia juga harus mengingat dan dapat membayangkan di mana letak perkakas serta barang-barang di rumahnya atau di tempat kerjanya agar dapat menemukannya dengan mudah apabila memerlukannya. Untuk itu, orang-orang di lingkungannya perlu meletakkan kembali barang-barang itu ke tempatnya semula sesudah menggunakannya, dan memberitahukan kepadanya jika ada barang yang harus berpindah tempat.

    Visualisasi juga penting bila individu tunanetra bertemu dengan orang lain dan bercakap-cakap dengannya. Bila berkenalan, penting baginya untuk berjabatan tangan, karena dengan demikian dia akan dapat belajar tentang orang itu dari tangannya. Dia dapat mengetahui apakah orang tersebut tinggi atau pendek, dan bahkan juga tentang besar atau kecil struktur tubuhnya. Apakah tangan orang itu lembut atau lemas? Apakah pegangannya kuat dan kulit telapak tangannya kasar akibat kerja keras? Dari tanda-tanda ini individu tunanetra dapat menarik kesimpulan tentang orang itu serta kepribadianya. Suara dan gaya bicara orang itu juga dapat menambah informasi tersebut.
    Dalam berbicara dengan orang lain, penting bagi individu tunanetra untuk menghadapkan wajahnya ke arah orang itu dan menggerak-gerakkan wajahnya seolah-olah melakukan kontak mata - meskipun dia tidak memiliki sisa penglihatan sama sekali. Bila berpartisipasi dalam percakapan dengan beberapa orang, dia perlu mengalihkan arah "pandangannya" dari satu orang ke orang lain pada saat masing-masing sedang berbicara, dengan menunjukkan ekspresi wajah yang sesuai dengan isi pembicaraan.
    Bila memasuki sebuah ruang pertemuan, individu tunanetra perlu diberikan gambaran singkat tentang ruangan itu ‑ misalnya jumlah baris tempat duduk, perkiraan tentang jumlah orang yang hadir, arah depan ruangan itu atau letak meja pembicara, dsb. Dia perlu memahami bahwa arah suara pembicara, bila pertemuan itu sudah dimulai, tidak menunjukkan tempat pembicara berada, melainkan hanya menunjukkan arah sistem pengeras suara. Dia perlu memperhatikan gerakan orang yang duduk di sebelahnya agar tahu apakah perlu mengubah posisi kursinya agar duduknya tetap menghadap kepada pembicara. Dia perlu terus waspada terhadap pergerakan orang di dalam ruangan itu agar visualisasinya tentang ruangan itu beserta kegiatan yang berlangsung di dalamnya senantiasa tepat.

    Sedapat mungkin, individu tunanetra perlu memaksakan ingatan visualnya agar tetap waspada juga bila sedang berjalan atau berkendaraan ke suatu tempat. Dia perlu tahu nama jalan tempat berangkat, dan bila belok, dia perlu menanyakan persimpangan jalan yang dilaluinya sehingga dia memiliki gambaran tentang cara mencapai tempat tujuannya, dan tahu cara kembali ke tempat asalnya sesudah itu.

    4.2. Ingatan Kinestetik

    Mungkin anda sering menyaksikan orang tunanetra berjalan dan, tanpa terlihat mendeteksi dengan tongkatnya, dia belok pada saat dan tempat yang tepat, memperlambat langkahnya tepat di depan tangga yang akan dinaiki atau dituruninya. Anda bilang dia dapat melakukannya karena hafal? Ya. Hafalan semacam ini disebut kinesthetic memory. Ingatan kinestetik adalah ingatan tentang kesadaran gerak otot yang dihasilkan oleh interaksi antara indra perabaan (tactile), propriosepsi dan keseimbangan (yang dikontrol oleh sistem vestibular, yang berpusat di bagian atas dari telinga bagian dalam. Sistem ini peka terhadap percepatan, posisi dan gerakan kepala). Ingatan kinestetik ini dimiliki oleh semua orang, termasuk anda yang awas. Mungkin anda pernah mengalami pemadaman listrik ketika anda sedang makan malam, dan anda tahu pasti bahwa tidak ada persediaan lilin di rumah. Anda terus makan tanpa salah menyuapkan sendok ke hidung, bukan? Sistem kinestetik anda sudah hafal rute gerakan sendok dari piring ke mulut.
    Ingatan kinestetik hanya terbentuk sesudah orang melakukan gerakan yang sama di daerah yang sama atau untuk kegiatan yang sama secara berulang-ulang.

    4.3. Persepsi Obyek (Object Perception)

    Banyak orang yang sudah lama menjadi tunanetra dan sudah berpengalaman banyak dalam bepergian secara mandiri, akan mengembangkan suatu kemampuan yang mungkin turut membentuk anggapan orang bahwa individu tunanetra memiliki indera keenam atau sekurang-kurangnya memberi kesan bahwa dia mempunyai indera pendengaran yang lebih tajam. Kemampuan ini disebut persepsi obyek (object perception), suatu kemampuan yang memungkinkan individu tunanetra itu menyadari bahwa suatu benda hadir di sampingnya atau di hadapannya meskipun dia tidak memiliki penglihatan sama sekali dan tidak menyentuh benda itu. Fenomena ini sebagian dapat dijelaskan bahwa dia mendengar gema langkah kakinya sendiri atau bunyi lain yang ditimbulkannya yang dipantulkan oleh benda tersebut. Kehadiran benda itu juga dapat disadarinya melalui penginderaan yang dihantarkan oleh kulitnya. Kemampuan persepsi obyek ini biasanya dikembangkan oleh mereka yang buta total dan mungkin tidak dapat dimiliki oleh mereka yang mengalami gangguan pendengaran.
    Untuk mendapatkan gambaran tentang bagaimana kemampuan itu berkembang, berikut ini adalah rangkuman eksperimen yang dilaksanakan oleh the Center for Independent Living, the Hadley School for the Blind (1985). Pertama, rapatkanlah jari-jari kedua belah tangan anda lalu bawalah sedekat mungkin ke hadapan telinga anda tanpa menyentuhnya ataupun menyentuh rambut dan wajah anda (jika anda awas, mata anda harus dalam keadaan tertutup). Tahanlah beberapa saat dan kemudian turunkan kedua belah tangan anda itu. Anda akan merasakan adanya sesuatu yang menghalangi bila tangan anda berada di dekat telinga, dan akan merasakan keluasan ruang bila tangan anda dijauhkan. Ulangilah gerakan ini di ruangan yang sunyi beberapa kali sebelum memastikan bahwa anda mempersepsi atau tidak mempersepsi sesuatu. Kadang-kadang persepsi itu lebih jelas jika anda mempraktekkannya dalam kehadiran bunyi yang tidak terputus-putus seperti bunyi air mengalir atau jika anda berbicara keras-keras pada saat melakukannya.
    Untuk eksperimen kedua, ambillah selembar karton berukuran sekitar 30 cm persegi, peganglah 5 atau 10 cm di hadapan telinga anda untuk melihat apakah anda merasakan kehadirannya.

    Kemampuan persepsi obyek ini perlu dilatihkan kepada anak-anak tunanetra. Pengalaman menunjukkan bahwa mereka yang mampu menggunakan persepsi ini dengan baik dapat melindungi dirinya dari menabrak benda-benda besar, dan mendapatkan rasa aman bila berjalan di sepanjang pagar tinggi atau dinding bangunan tanpa menyentuhnya dengan tangannya atau tongkatnya.


    Daftar Referensi

    Houlton‑Aikin, B. (2001). Reflections on a White Cane Seminar. The Braille Monitor, June 2001. Baltimore: The National Federation of the Blind.

    Marzano, R. J. (1998). A Theory‑ Based Meta‑ Analysis of Research on Instruction. Aurora, Colorado: Mid‑ continent Regional Educational Laboratory.

    (Tn.). (1985). Independent Living for the Visually Impaired. Winnetka: The Hadley School for the Blind. />

    Labels:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke DAFTAR ISI