DOCTYPE html PUBLIC "-//W3C//DTD XHTML 1.0 Strict//EN" "http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-strict.dtd"> Didi Tarsidi: Counseling, Blindness and Inclusive Education: Konseling Kognitif Sosial (Social Cognitive Counseling)
  • HOME


  • Guestbook -- Buku Tamu



    Anda adalah pengunjung ke

    Silakan isi Buku Tamu Saya. Terima kasih banyak.
  • Lihat Buku Tamu


  • Comment

    Jika anda ingin meninggalkan pesan atau komentar,
    atau ingin mengajukan pertanyaan yang memerlukan respon saya,
    silakan klik
  • Komentar dan Pertanyaan Anda




  • Contents

    Untuk menampilkan daftar lengkap isi blog ini, silakan klik
  • Contents -- Daftar Isi




  • Izin

    Anda boleh mengutip artikel-artikel di blog ini asalkan anda mencantumkan nama penulisnya dan alamat blog ini sebagai sumber referensi.


    09 August 2007

    Konseling Kognitif Sosial (Social Cognitive Counseling)

    KONSELING KOGNITIF-SOSIAL
    (SOCIAL-COGNITIVE COUNSELING)
    Didasarkan atas Teori Social-Cognitive dari Albert Bandura

    Oleh Didi Tarsidi
    Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

    PENDAHULUAN

    Teori kognitif sosial, yang dikembangkan oleh Albert Bandura, didasarkan atas proposisi bahwa baik proses sosial maupun proses kognitif adalah sentral bagi pemahaman mengenai motivasi, emosi, dan tindakan manusia.

    Makalah ini akan menyajikan prinsip-prinsip teori tersebut yang mencakup:
    1) Asumsi tentang hakikat dan kemampuan manusia;
    2) Lima kapabilitas kognitif dasar yang dimiliki manusia (symbolising, forethought, vicarious, self‑regulatory dan self‑reflective).
    3) Proses interaksi antara manusia dan lingkungannya;
    4) Cara manusia belajar perilaku (observational learning dan enactive learning);
    5) Fungsi insentif sebagai sistem pengatur perilaku manusia;
    6) Proses pembentukan self-efficacy dan fungsinya;
    7) Fungsi tujuan (goal);
    8) Aplikasi teori kognitif sosial dalam konseling.

    I. ASUMSI

    1.1. HAKIKAT MANUSIA

    1) Kecuali untuk sejumlah reflex dasar, manusia tidak diperlengkapi dengan perilaku yang dibawa sejak lahir, dan oleh karenanya perilaku itu harus dipelajarinya. Akan tetapi, faktor‑faktor biologis membatasi proses belajarnya. Misalnya, gen dan hormon mempengaruhi perkembangan fisik yang pada gilirannya mempengaruhi potensialitas perilaku.
    2) Di samping itu, seperti dalam hal bicara, manusia memiliki bakat alami dasar yang dapat dikembangkan dengan membentuk respon-respon baru melalui belajar. Sering kali pengaruh pengalaman dan pengaruh fisiologis tidak dapat dipisahkan dengan mudah dan oleh karenanya akan lebih bermanfaat bila kita menganalisis faktor‑faktor penentu perilaku daripada mencoba mengkategorikan yang mana proporsi perilaku yang merupakan hasil belajar dan yang mana yang herediter.
    3) Pikiran (thoughts) merupakan proses psikoneural. Akan tetapi, adalah penting untuk membedakan antara hukum psikologi dan hukum biologi. Dengan memfokuskan perhatian pada pengetahuan tentang psikologi kita dapat mengajukan pertanyaan seperti bagaimana cara terbaik untuk menciptakan belief system dan kompetensi personal. Pemahaman seperti ini tidak dapat diperoleh hanya dengan mempelajari mekanisme neurofisik yang mendasari kegiatan tersebut. Pertanyaan yang menarik adalah bagaimana orang mengaktifkan proses otak yang berada di luar struktur kognitif yang ada untuk menghasilkan peristiwa kognitif baru dan yang menandai kegiatan lembaga individu.

    1.2. KEMAMPUAN MANUSIA

    Berikut ini adalah lima kemampuan kognitif dasar yang merupakan karakteristik manusia.
    1) Symbolising capability. Manusia memiliki kemampuan untuk mentransformasikan pengalaman‑pengalamannya menjadi simbol‑simbol dan kemampuan untuk memproses simbol‑simbol ini. Mereka dapat menciptakan ide‑ide yang melampaui pengalaman penginderaannya. Kenyataan bahwa manusia memiliki kemampuan simbolisasi tersebut tidak berarti bahwa mereka selalu rasional. Hasil pemikiran itu dapat baik ataupun buruk, tergantung pada seberapa baik keterampilan berpikir orang itu dan tergantung pada kelengkapan informasi yang dimilikinya.
    2) Forethought capability. Sebagian besar perilaku manusia diatur oleh pemikiran antisipatifnya bukan oleh reaksinya terhadap lingkungannya. Orang mengantisipasi konsekuensi perbuatannya dan menentukan tujuannya sendiri. Pemikiran ke depan ini bukan akumulasi konsekuensi‑kosekuensi terdahulu, melainkan hasil pemikiran.
    3) Vicarious capability. Hampir seluruh kegiatan belajar pada manusia itu bukan melalui pengalaman langsung, melainkan hasil pengamatannya terhadap perilaku orang lain beserta konsekuensinya. Belajar melalui pengamatan ini memperpendek waktu yang dibutuhkan manusia untuk belajar berbagai keterampilan. Keterampilan tertentu, seperti keterampilan berbahasa, demikian kompleksnya sehingga tidak mungkin dapat dipelajari tanpa penggunaan modeling.
    4) Self‑regulatory capability. Manusia mengembangkan standar internal yang dipergunakannya untuk mengevaluasi perilakunya sendiri. Kemampuan untuk mengatur diri sendiri ini mempengaruhi perilaku selanjutnya.
    5) Self‑reflective capability. Kemampuan refleksi diri ini hanya dimiliki oleh manusia. Orang dapat menganalisis berbagai pengalamannya dan mengevaluasi apakah proses berpikirnya sudah memadai. Jenis pemikiran yang paling sentral dan paling mendalam yang terjadi dalam refleksi diri ini adalah penilaian orang tentang kemampuannya sendiri untuk mengatasi berbagai macam realitas.

    1.3. HUMAN AGENCY DAN RECIPROCAL DETERMINISM

    Human agency adalah kapasitas untuk mengarahkan diri sendiri melalui kontrol terhadap proses berpikir, motivasi dan tindakan diri sendiri.
    Human agency dikonseptualisasikan dalam tiga cara utama:
    1) autonomous agency, di mana orang merupakan agen yang sepenuhnya mandiri bagi tindakannya sendiri;
    2) mechanical agency, di mana agency tergantung pada faktor lingkungan; dan
    3) emergent interactive agency, yang merupakan model bagi teori kognitif sosial.
    Emergent interactive agency didasarkan pada model timbal-balik tiga arah (triadic reciprocality). Reciprocal artinya hubungan saling menyebabkan antara tiga faktor, yaitu: perilaku (B), faktor kognitif dan personal (P), dan pengaruh lingkungan (E), yang masing‑masing beroperasi secara mandiri sebagai faktor penentu bagi faktor‑faktor lainnya. Pengaruh‑pengaruh tersebut bervariasi dalam kekuatannya dan tidak terjadi secara berbarengan.
    Perilaku manusia merupakan hasil interaksi timbal‑balik antara peristiwa eksternal dan faktor‑faktor personal seperti kemampuan genetiknya, kompetensi yang dipelajarinya, pikiran reflektif dan inisiatifnya. Orang bebas sebatas kemampuannya untuk menggunakan pengaruhnya terhadap dirinya (self‑influence) dan menentukan tindakannya sendiri.

    II. CARA BELAJAR

    Terdapat dua cara belajar, yaitu belajar melalui pengamatan (observational learning) dan belajar melalui perbuatan (enactive learning).

    2.1. OBSERVATIONAL LEARNING

    2.1.1. Fungsi Observational Learning

    Sebagian besar perilaku manusia dan keterampilan kognitifnya dipelajari melalui pengamatan terhadap model. Fungsi observational learning adalah sebagai berikut.
    1) Modelling dapat mengajari observer keterampilan dan aturan-aturan berperilaku.
    2) Modelling dapat menghambat ataupun memperlancar perilaku yang sudah dimiliki orang.
    3)Perilaku model dapat berfungsi sebagai stimulus dan isyarat bagi orang untuk melaksanakan perilaku yang sudah dimilikinya.
    4) Modeling dapat merangsang timbulnya emosi. Orang dapat berpersepsi dan berperilaku secara berbeda dalam keadaan emosi tinggi.
    5) Symbolic modelling dapat membentuk citra orang tentang realitas sosial karena menggambarkan hubungan manusia dengan aktivitas yang dilakukannya.

    2.1.2. Proses Observational Learning

    Belajar mencakup pemrosesan informasi. Kekuatan modelling terletak pada kemampuannya untuk mempengaruhi proses tersebut. Observational learning memerlukan empat macam proses utama:
    1) Proses memperhatikan (attentional processes). Jika orang belajar melalui modelling, maka mereka harus memperhatikan dan mempersepsi perilaku model secara tepat. Tingkat keberhasilan belajar itu ditentukan oleh karakteristik model maupun karakteristik pengamat itu sendiri. Karakteristik model yang merupakan variabel penentu tingkat perhatian itu mencakup frekuensi kehadirannya, kejelasannya, daya tarik personalnya, dan nilai fungsional perilaku model itu. Karakteristik pengamat yang penting untuk proses perhatian adalah kapasitas sensorisnya, tingkat ketertarikannya, kebiasaan persepsinya, dan reinforcement masa lalunya.
    2) Proses retensi (retention processes). Agar efektif, modelling harus disimpan dalam ingatan. Retensi ini dapat dilakukan dengan cara menyimpan informasi secara imaginal atau mengkodekan peristiwa model ke dalam simbol‑simbol verbal yang mudah dipergunakan. Materi yang bermakna bagi pengamat dan menambah pengalaman sebelumnya akan lebih mudah diingat. Cara lain untuk mengingat adalah dengan membayangkan perilaku model atau dengan mempraktekkannya.
    Keterampilan dan struktur kognitif pengamat dapat memperkuat retensi. Motivasi untuk belajar juga berperan dalam retensi, meskipun insentif lebih bersifat fasilitatif daripada keharusan.
    3) Proses produksi. Pada tahap tertentu, gambaran simbolik tentang perilaku model mungkin perlu diterjemahkan ke dalam tindakan yang efektif. Pengamat memerlukan gambaran kognitif yang akurat tentang perilaku model untuk dibandingkan dengan umpan balik sensoris dari perbuatannya. Modelling korektif merupakan cara yang efektif untuk memberikan umpan balik bila pengamat melakukan kinerja yang tidak tepat.
    Variabel pengamat yang mempengaruhi reproduksi perilaku mencakup kapasitas fisiknya, apakah perbendaharaan responnya sudah mencakup komponen‑komponen respon yang diperlukan, dan kemampuannya untuk melakukan penyesuaian korektif bila mencobakan perilaku baru.
    4) Proses motivasi. Apakah orang mempraktekkan apa yang sudah dipelajarinya atau tidak, tergantung pada motivasinya. Pengamat akan cenderung mengadopsi perilaku model jika perilaku tersebut:
    (a) menghasilkan imbalan eksternal;
    (b) secara internal pengamat memberikan penilaian yang positif; dan
    (c) pengamat melihat bahwa perilaku tersebut bermanfaat bagi model itu sendiri.
    Antisipasi terhadap akibat yang positif dan negatif menentukan aspek‑aspek yang mana dari perilaku model itu yang diamati atau diabaikan oleh pengamat.

    2.1.3. Modelling untuk Proses Berpikir

    Orang dapat belajar keterampilan berpikir dengan mengamati model. Akan tetapi, sering kali proses berpikir yang tersirat tidak terungkapkan secara memadai oleh tindakan model. Misalnya, seorang model dapat memecahkan suatu masalah secara kognitif, tetapi pengamat hanya melihat hasil tindakannya tanpa memahami proses berpikir yang menghasilkan tindakan tersebut. Satu pendekatan untuk mempelajari keterampilan kognitif adalah dengan meminta model menuturkan apa yang dipikirkannya pada saat sedang melaksanakan kegiatan untuk mengatasi masalahnya. Keuntungan menggabungkan Modelling verbal dengan modelling non‑verbal adalah kemampuan modelling non‑verbal untuk memperoleh dan mempertahankan perhatian, dan keefektifan perilaku fisik untuk memberikan makna tambahan pada proses kognitif. Keterampilan kognitif pengamat akan semakin meningkat bila model mendemonstrasikan tindakan dan proses berpikirnya sekaligus, bukan hanya mendemonstrasikan tindakannya saja.

    2.1.4. Peranan Reinforcement

    Pandangan kognitif sosial adalah bahwa belajar melalui pengamatan tidak selalu memerlukan imbalan ikstrinsik. Belajar seperti ini terjadi melalui pemrosesan kognitif pada saat dan sebelum pengamat melakukan suatu respon. Dengan model operant conditioning dari Skinner, yang hampir sama dengan belajar melalui pengamatan ini, dipandang berhasil apabila respon yang sesuai dengan tindakan model diberi reinforcement, respon yang tidak sesuai dihukum atau tidak diberi imbalan, dan perilaku orang lain menjadi stimulus bagi respon yang cocok. Akan tetapi, penjelasan Skinner tersebut mengandung beberapa kekurangan. Pengamat mungkin tidak akan melakukan perilaku model dalam setting yang sama dengan ketika perilaku itu dicontohkan. Baik pengamat maupun model mungkin tidak akan memperoleh reinforcement. Perilaku model mungkin terjadi lagi beberapa hari atau bahkan beberapa minggu kemudian. Maka model operant tidak dapat menjelaskan bagaimana struktur respon baru itu dipelajari melalui pengamatan. Peranan utama insentif dalam observational learning adalah sebelum, bukan setelah modelling. Misalnya, perhatian pengamat dapat meningkat dengan antisipasi imbalan dari penggunaan perilaku model. Lebih jauh, imbalan yang diantisipasi itu dapat memotivasinya untuk mensimbolisasikan dan berlatih menggunakan kegiatan model. Insentif itu lebih bersifat fasilitatif daripada keharusan.

    2.2. BELAJAR MELALUI PERBUATAN (ENACTIVE LEARNING)
    Terdapat perbedaan antara pengetahuan dan keterampilan. Dalam banyak domain, orang perlu melampaui struktur pengetahuannya untuk mengembangkan tindakan yang terampil. Pengembangan keterampilan menuntut orang untuk memiliki konsepsi yang tepat mengenai keterampilan yang ditargetkannya, yang cocok dengan upayanya untuk melaksanakan keterampilannya tersebut. Pengalaman merupakan kendaraan untuk menerjemahkan pengetahuan menjadi keterampilan. Orang menerapkan informasi yang diperolehnya dari pengalaman itu untuk melakukan penyesuaian dalam aspek ruang dan waktu dari kinerjanya, hingga apa yang dikerjakannya itu mendekati kecocokan dengan konsepsi kognitifnya mengenai kinerja terampil itu.

    2.2.1. Fungsi Konsekuensi Respon

    Teori kognitif sosial memandang belajar melalui konsekuensi respon sebagai suatu proses kognitif. Melalui pengalaman, orang menyadari konsekuensi positif dan negatif dari tindakannya.
    Akan tetapi, proses belajar itu tidak berhenti di sini, karena orang melihat dampak responnya. Jadi, reinforcement tidak otomatis memperkuat suatu kecenderungan untuk merespon, tetapi penguatan itu terjadi dengan mengubah variabel kognitif dari informasi dan motivasinya. Misalnya, dengan menelaah pola‑pola konsekuensi respon, orang dapat melihat konsepsi dan aturan‑aturan perilaku. Juga, jika konsekuensi respon itu dipandang bernilai tinggi, maka ini akan mendorong dan memperkuat perilaku. Dengan kata lain, berlawanan dengan pandangan mekanistik, konsekuensi menentukan perilaku terutama melalui intervensi berpikir. Istilah "reinforcement" dapat menyesatkan karena mengandung konotasi merespon secara otomatis dan memperkuat respon. Oleh karena itu, pengaturan perilaku (regulation of behaviour) merupakan konsep yang lebih baik daripada reinforcement.

    2.2.2. Efisiensi Enactive Learning

    Orang berbeda‑beda dalam kemampuannya untuk memperoleh pengetahuan dari konsekuensi respon. Mereka mungkin berbeda dalam pengetahuan dan pengalamannya sebelumnya, sehingga berbeda pula dalam kekayaan aturan yang dapat dipilihnya atau dikembangkannya untuk melaksanakan suatu perilaku jika aturan tersebut belum dimilikinya. Belajar akan lebih efisien bila konsekuensi muncul langsung sesudah tindakan, teratur, dan tanpa dibingungkan oleh kejaidian-kejadian lain. Belajar akan lebih sulit bila tindakan yang sama tidak selalu menghasilkan konsekuensi yang sama. Belajar dari pengalaman perbuatan tidak menjamin bahwa cara bertindak alternatif terbaik akan dikembangkan. Belajar dari konsekuensi pengalaman berbuat akan mengembangkan keterampilan yang memadai tetapi tidak optimal. Orang cenderung menerima solusi yang memadai bukannya terus mencari solusi yang lebih baik.
    Belajar dari konsekuensi pengalaman berbuat saja mungkin tidak akan efisien. Jika orang kekurangan kompetensi, kompetensi tersebut dapat diajarkan secara verbal dengan mengajarkan perilaku jenis mana yang fungsional. Di samping itu, orang dapat dibimbing secara fisik untuk melakukan suatu perilaku dan ambil bagian dalam prosedur modelling secara bertahap. Sebagaimana disebutkan di muka, teori kognitif sosial memandang modelling, yang mengarah pada belajar dengan mengamati melalui proses simbolik, sebagai cara utama mentransmisikan bentuk-bentuk perilaku baru.

    2.2.3. PENGETAHUAN PREDIKTIF DAN PEMIKIRAN KE DEPAN

    Keberfungsian yang efektif menuntut orang mengantisipasi dan mengevaluasi kemungkinan dampak bermacam-macam tindakan. Konsekuensi respon menciptakan ekspektasi atau keyakinan bukannya hubungan stimulus-respon. Isyarat (cues) dan stimuli memperoleh nilai prediktif melalui hubungannya dengan konsekuensi respon. Manusia memperhatikan dengan seksama aspek-aspek lingkungannya yang dapat memprediksi konsekuensi, dan mengabaikan aspek-aspek yang tidak demikian. Misalnya, anak akan berperilaku lebih agresif bila orang tuanya lebih permisif. Pengetahuan tentang konsekuensi respon dan nilai prediktifnya memungkinkan orang menentukan tindakan yang dapat dilakukannya.
    Terdapat tiga sumber informasi yang saling terkait - yaitu langsung, simbolik, dan tak langsung - yang memberikan informasi tentang konsekuensi yang dapat dipergunakan SEBAGAI DASAR prediksi. Informasi langsung (enactive information) diperoleh dari pengalaman langsung dengan konsekuensi respon. Informasi simbolik diperoleh dari penjelasan yang menggambarkan keadaan tertentu di mana konsekuensi respon positif dan negatif akan terjadi. Informasi tak langsung (vicarious information) diperoleh melalui pengamatan terhadap konsekuensi respon yang dialami orang lain. Bertahannya nilai prediktif suatu isyarat yang dipelajari secara verbal atau secara simbolik biasanya memerlukan konfirmasi periodik melalui pengalaman langsung.
    Untuk dapat membuat pertimbangan prediktif yang akurat diperlukan perhatian, ingatan, dan sejumlah keterampilan kognitif yang integratif. Sering kali orang perlu dihadapkan pada bermacam-macam isyarat lingkungan yang membingungkannya untuk dapat mengidentifikasi isyarat yang memiliki relevansi prediktif. Kemudian mereka perlu membentuk faktor-faktor yang relevan itu menjadi aturan-aturan tindakan yang dapat digeneralisasikan. Sebagian besar aturan tindakan ditanamkan melalui pengajaran bukannya ditemukan melalui pengalaman langsung. Penjelasan verbal yang memberikan informasi tentang kondisi yang dapat menghasilkan konsekuensi tertentu sangat bermanfaat untuk menanamkan aturan-aturan prediktif. Ketepatan prediksi orang dapat berkurang bila dia salah membaca peristiwa. Misalnya, mereka mungkin salah menilai ancaman, tidak dapat melihat atau salah mempersepsi aspek-aspek penting dari lingkungannya atau berlebihan dalam menilai kecukupan pengetahuannya.

    III. INSENTIF SEBAGAI SISTEM PENGATUR PERILAKU

    Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh keteraturan konsekuensi respon. Konsekuensi respon itu mempengaruhi perilaku terutama melalui nilai informatif dan insentifnya. Terdapat tiga insentif penting yang berfungsi sebagai sistem pengatur perilaku, yaitu yang didasarkan pada konsekuensi eksternal (external motivator), konsekuensi tak langsung (vicarious motivator), dan konsekuensi yang dihasilkan oleh diri sendiri (self-regulatory motivator).
    3.1. MOTIVATOR EKSTERNAL

    Sering kali konsekuensi eksternal berpengaruh dalam memotivasi perilaku. Terdapat dua klasifikasi besar motivator eksternal, yaitu motivator biologis dan motivator kognitif. Motivator biologis mencakup kekurangan fisik (physical deprivation) dan rasa sakit fisik (physical pain). Motivator kognitif beroperasi dengan dua cara utama. Pertama, melalui antisipasi terhadap konsekuensi masa depan. Ini mencakup:
    a) Ekspektasi tentang konsekuensi yang berhubungan dengan insentif materi, misalnya makanan atau rasa sakit;
    b) yang berhubungan dengan insentif sensoris, misalnya baru, menyenangkan atau tidak menyenangkan;
    c) yang berfokus pada insentif sosial, misalnya diperbolehkan atau tidak diperbolehkan;
    d) insentif penghargaan (token incentives), misalnya uang atau nilai prestasi;
    e) insentif kegiatan, yaitu melakukan kegiatan yang disukai;
    f) insentif status dan kekuasaan.

    Kedua, motivator kognitif beroperasi melalui standar internal dan evaluasi diri.

    3.2. MODEL SEBAGAI MOTIVATOR (VICARIOUS MOTIVATORS)

    Kemampuan simbolik orang memungkinkannya mengatur tindakannya atas dasar pengetahuan yang diperolehnya dari pengamatan terhadap konsekuensi respon orang lain. Sebagaimana halnya konsekuensi yang dialami secara langsung, konsekuensi yang diamati pun dapat mengubah perilaku. Di samping itu, konsekuensi yang diamati dapat mengubah nilai insentif eksternal. Misalnya, orang yang mengamati kinerja serupa yang dilakukan orang lain yang lebih dipuji akan mengalami pujian untuk kinerjanya sendiri, sebagai kurang rewarding daripada jika tidak tahu tentang umpan balik orang lain.
    Melihat perilaku orang lain yang mendapat imbalan akan mempertinggi kemungkinan bahwa pengamat akan meniru perilaku itu. Lebih jauh, rewarded
    modelling pada umumnya lebih efektif dalam menanamkan pola perilaku serupa daripada modelling sendiri. Melihat perilaku orang lain mendapat punishment akan mengurangi kemungkinan bahwa pengamat akan berbuat serupa, meskipun memberikan alternatif yang konstruktif merupakan cara yang lebih efektif untuk menghilangkan perilaku yang tak diinginkan.
    Pengamatan terhadap konsekuensi respon yang dialami orang lain itu mempunyai beberapa fungsi:
    a) Fungsi informasi. Pengamat akan memperoleh informasi tentang jenis tindakan yang berkemungkinan menimbulkan konsekuensi positif dan negatif.
    b) Fungsi motivasi. Fungsi informasi akan mengarah pada fungsi motivasi dalam membangkitkan ekspektasi pada diri pengamat bahwa dia akan menerima konsekuensi yang serupa bila melakukan tindakan serupa.
    c) Fungsi pembangkitan emosi. Pengamat dapat belajar tentang hal-hal yang dapat mengakibatkan rasa senang atau tidak senang. Akan tetapi, banyak rasa takut yang disfungsional dan perilaku penghindaran diri (avoidance behaviours) berakar pada pengalaman tak langsung yang tak menyenangkan.
    d) Fungsi pemberian nilai (valuation). Misalnya, nilai dan standar internal perilaku pengamat dapat berubah setelah mengamati reaksi orang lain terhadap perilakunya sesuai dengan standarnya sendiri.

    3.3. STANDAR INTERNAL SEBAGAI MOTIVATOR (SELF‑REGULATORY MOTIVATORS)

    Banyak perilaku manusia tidak dilakukan dengan syarat imbalan langsung. Banyak kegiatan diarahkan pada konsekuensi di masa depan dan orang mengantisipasi keuntungan maupun kerugian yang mungkin diperolehnya di masa depan. Mereka harus menciptakan pedoman dan motivator bagi tindakan yang mengarah pada pencapaian jauh di masa depan. Kapabilitas manusia untuk menggunakan simbol dan self‑reactive memungkinkannya menetapkan standar internal bagi perilakunya dan mengevaluasi dirinya dengan menggunakan standar ini. Jadi, standar internal ini dapat berfungsi sebagai self‑incentive. Dengan kata lain, manusia memiliki kemampuan untuk mengatur perilakunya sendiri.
    Pengaturan sendiri atas perilaku ini melibatkan tiga subproses: (1) pengamatan diri (self‑observation), (2) proses penilaian diri (judgemental process), dan (3) reaksi diri (self‑reaction).

    2.3.1. Pengamatan Diri
    Pengamatan terhadap diri sendiri memberikan informasi untuk menetapkan standar kinerja yang realistis dan untuk mengevaluasi perilaku. Pengamatan diri tidak selalu dapat diandalkan karena ketepatannya tergantung pada tingkat perhatian, keadaan perasaan, dan konsepsi diri yang sudah ada. Terdapat sejumlah dimensi evaluatif yang dapat dipergunakan untuk mengukur perilaku. Misalnya, perilaku sosial dapat diukur berdasarkan dimensi sosiabilitas atau penyimpangannya. Dimensi evaluatif ini bervariasi menurut hakikat kegiatannya. Sering kali bila orang mengamati kinerjanya sendiri secara cermat, mereka menetapkan sendiri tujuannya yaitu untuk peningkatan. Pengamatan diri atau self‑monitoring sering kali menimbulkan dampak reaksi terhadap diri sendiri (self‑reactive) dan tidak mudah dipisahkan dari subproses pengaturan diri lainnya.

    3.3.2. Proses Penilaian Diri
    Pengamatan terhadap perilaku sendiri menuntut dilakukannya penilaian tentang kepositifan atau kenegatifan perilaku tersebut agar orang dapat berbuat sesuatu untuk perilaku itu. Satu aspek dari subfungsi penilaian ini terkait dengan pengembangan standar pribadi. Pengaruh sosial terhadap pengembangan standar pribadi ini mencakup imbalan langsung, reaksi evaluatif dari orang lain terhadap perilaku itu, dan standar pribadi yang dicontohkan oleh orang lain. Cara-cara untuk menentukan kebaikan standar pribadi ini antara lain adalah dengan membandingkannya dengan norma-norma standar, dengan kinerja orang lain, dan dengan kinerja sendiri di masa lalu. Orang lebih cenderung menilai kinerja dalam bidang-bidang yang mereka pandang bernilai daripada yang kecil signifikansinya bagi dirinya.
    Bagaimana orang menilai perilakunya dipengaruhi oleh penilaiannya terhadap kinerjanya. Misalnya, mereka akan cenderung bangga dengan pencapaiannya apabila mereka menilainya sebagai suatu keberhasilan.

    3.3.3. Reaksi Diri
    Standar pribadi dan keterampilan untuk menilai (judgemental skills) memungkinkan orang untuk mengunakan pengaruh self‑reactive-nya terhadap perilakunya. Mereka akan melakukan kegiatan yang mengarah pada reaksi diri yang positif dan menghindari kegiatan yang mengarah pada reaksi diri negatif. Standar pribadi mempengaruhi perilaku terutama melalui fungsi motivasinya karena orang berusaha untuk dapat melakukan kinerja yang diperlukannya. Dalam berbagai bidang perilaku, standar pribadi itu relatif stabil. Akan tetapi, bila sedang belajar keterampilan tertentu dan berusaha mencapai suatu prestasi, orang cenderung mempertinggi standarnya setiap kali satu tantangan telah diatasinya. Orang juga bereaksi terhadap self-motivator yang konkret. Misalnya, orang dapat beristirahat, bersantai dan melakukan kegiatan rekreasi bila suatu kinerja telah berhasil dicapainya.
    Bagi banyak orang, self‑incentive mungkin merupakan motivator yang lebih baik daripada insentif eksternal. Sistem evaluasi diri yang disfungsional akan terbentuk apabila individu menetapkan standar yang terlalu tinggi, yang menimbulkan depresi dan perasaan tak berharga.
    Kemampuan manusia untuk mempengaruhi perilakunya sendiri secara sengaja melalui konsekuensi yang dihasilkannya sendiri memberinya kapasitas untuk mengarahkan diri, meskipun dalam batas-batas reciprocal determinism. Melalui pengalaman, orang mengembangkan keterampilan untuk memonitor perilakunya sendiri, misalnya keterampilan untuk menentukan obyek yang perlu diamatinya serta cara pengamatannya.

    Terdapat dua sumber insentif dalam proses pengaturan perilaku melalui reaksi diri:
    1) Insentif kondisional atau insentif jangka pendek yang memberikan pedoman bagi berbagai tindakan.
    2) Insentif jangka panjang untuk mematuhi standar internal.

    Terdapat beberapa hal yang dapat mempertahankan standar internal yang memungkinkan orang memiliki kemampuan untuk mengarahkan diri (self‑directedness):
    a) Keuntungan pribadi, misalnya kebaikan yang diperoleh dari meningkatnya kemahiran dalam suatu keterampilan ataupun terhindar dari rasa tidak senang karena berhasil mengatur perilaku yang kurang baik.
    b) Menerima imbalan sosial dan mengamati orang lain menerima imbalan sosial.
    c) Melihat orang lain berhasil melaksanakan tugas-tugasnya dengan berpegang teguh pada standar pribadi.
    d) Sanksi negatif, seperti dikritik karena menurunkan standar kinerja realistik.
    e) Konteks lingkungan tertentu, misalnya lingkungan yang menghargai standar kinerja tinggi.
    f) Hukuman yang diterapkan atas diri sendiri, misalnya kritik diri. Self-punishment ini dapat berfungsi sebagai pencegah diteruskannya perilaku yang tidak baik dan dapat mengurangi reaksi negatif dari orang lain.

    IV. SELF‑EFFICACY DAN TUJUAN

    4.1. DEFINISI SELF‑EFFICACY

    Pembentukan self-efficacy sangat penting bagi human agency. Self-efficacy bukan sekedar mengetahui apa yang harus dilakukan. Untuk melaksanakan suatu kinerja secara terampil, orang perlu memiliki keterampilan yang dibutuhkan dan rasa percaya akan kemampuan diri untuk menggunakan keterampilan tersebut. Keyakinan tentang self-efficacy berbeda dengan ekspektasi tentang konsekuensi respon. Bandura (1986, p. 391) mendefinisikan self-efficacy sebagai "a judgement of one's
    capability to accomplish a certain level of performance" (penilaian tentang kemampuan diri untuk melaksanakan suatu kinerja pada tingkat tertentu). Ekspektasi konsekuensi respon adalah keyakinan tentang kemungkinan konsekuensi yang akan dihasilkan oleh perilaku tersebut. Misalnya, keyakinan bahwa anda dapat meloncat setinggi dua meter merupakan keyakinan efficacy. Akan tetapi, antisipasi anda tentang pengakuan masyarakat bahwa anda mampu meloncat setinggi dua meter adalah suatu ekspektasi konsekuensi respon. Konsekuensi respon merupakan konsekuensi dari perbuatan itu, bukan perbuatan itu sendiri.
    Tingkat penguasaan (magnitude), generalitas, dan kekuatan adalah tiga dimensi penting dari ekspektasi efficacy (Bandura, 1977). Ekspektasi efficacy dapat bervariasi menurut tingkat kesulitan tugas yang harus dilaksanakan, misalnya keyakinan bahwa anda dapat melaksanakan dengan baik tugas yang mudah tetapi tidak tugas yang sulit.
    Generalitas artinya tingkat generalisasi ekspektasi penguasaan di luar situasi perlakuan tertentu.
    Yang dimaksud dengan kekuatan adalah daya tahan ekspektasi tentang penguasaan pribadi (personal mastery) meskipun mengalami berbagai kegagalan.

    4.2. FUNGSI DAN DAMPAK KEYAKINAN SELF‑EFFICACY

    Keyakinan tentang self-efficacy turut menentukan cara orang berperilaku. Konsepsi tentang self-efficacy turut menentukan pilihan perilaku, misalnya menentukan apa yang harus dikerjakan. Keyakinan memiliki efficacy dapat mendorong orang untuk melakukan kegiatan, sedangkan keyakinan bahwa tidak memiliki efficacy dapat membuat orang menghindari kegiatan yang sesungguhnya dapat memperkaya pengalamannya. Keyakinan yang berlebihan tentang efficacy itu bersifat disfungsional. Akan tetapi, keyakinan efficacy yang mungkin paling fungsional adalah yang sedikit melewati apa yang dapat dilakukan orang pada suatu saat tertentu.
    Keyakinan efficacy juga turut menentukan berapa besar usaha yang harus dilakukan dan berapa lama orang dapat bertahan dalam menghadapi kegagalan dan kesulitan. Keyakinan yang kuat tentang self‑efficacy dapat memperkuat daya tahan orang bila menghadapi tugas yang sulit.
    Di samping itu, keyakinan efficacy mempengaruhi pikiran dan perasaan orang. Orang yang memandang dirinya tidak memiliki efficacy dalam menghadapi berbagai tuntutan lingkungan cenderung membesar-besarkan defisiensi pribadinya, menjadi mudah patah semangat dan menyerah bila menghadapi kesulitan. Sebaliknya, orang yang memiliki keyakinan kuat bahwa memiliki efficacy, meskipun mereka mungkin akan turun semangatnya untuk sementara bila mengalami kegagalan, tetapi cenderung akan tetap memikirkan tugas yang sedang dihadapinya itu dan akan memperbesar usahanya bila kinerjanya hampir mencapai tujuan. Dalam perjuangan yang membutuhkan daya tahan, keyakinan akan self-efficacy sangat berperan. Teori behaviorisme tradisional harus menjawab pertanyaan bagaimana organisme yang mampu memprediksi masa depannya tetapi tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dirinya sendiri. Sesungguhnya orang dapat menciptakan masa depannya sendiri, bukan sekedar meramalkannya.
    Keyakinan akan self-eficacy dapat mempengaruhi perkembangan keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk tugas-tugas yang kompleks, sedangkan keyakinan akan inefficacy dapat menghambat perkembangan tersebut. Keyakinan akan efficacy dapat dihadapkan pada disinsentif dan kendala kinerja. Orang mungkin memiliki subketerampilan yang diperlukan dan self‑efficacy, tetapi tidak memiliki insentif untuk menggunakannya. Juga, orang yang memiliki efficacy mungkin tidak memiliki sumber keuangan dan materi yang memadai sehingga tidak dapat mengaplikasikannya.
    Memiliki keyakinan efficacy yang akurat untuk keterampilan kognitif kadang-kadang sulit, karena sering kali apa yang dibutuhkan tidak selalu tampak jelas dari apa yang dapat teramati dengan mudah. Kadang-kadang keyakinan efficacy orang itu tidak akurat karena kegiatan kognitifnya kurang tepat, misalnya tidak mampu mempersepsi umpan balik dan ingatannya tidak baik.

    4.3. SUMBER-SUMBER INFORMASI SELF‑EFFICACY

    Empat sumber informasi yang penting untuk self‑efficacy adalah: (1) pengalaman melalui perbuatan langsung (enactive attainment), (2) pengalaman tak langsung (vicarious experience), (3) persuasi verbal (verbal persuasion), dan (4) keadaan fisiologis (physiological state). Setiap metode perlakuan dapat dipergunakan dengan satu atau lebih dari sumber-sumber ini.

    4.3.1. Pengalaman Keberhasilan
    Pengalaman keberhasilan pribadi merupakan sumber ekspektasi efficacy yang paling fundamental. Keberhasilan akan mempertinggi ekspektasi efficacy, sedangkan kegagalan yang berulang-ulang akan memperendahnya. Bila sudah terbentuk, keyakinan efficacy yang tinggi itu cenderung menggeneralisasi, terutama pada situasi yang serupa dengan situasi ketika keyakinan itu dipertinggi.

    4.3.2. Pengalaman Tak Langsung
    Ekspektasi efficacy dapat berubah setelah mengamati orang lain dan melihat konsekuensi positif dan negatif dari perilaku orang itu baginya. Ekspektasi efficacy yang dibentuk melalui modelling pada umumnya lebih lemah daripada ekspektasi yang dibentuk melalui keberhasilan melaksanakan suatu tugas.
    Modelling mempengaruhi keyakinan efficacy dalam dua cara. Pertama, pengamat menarik inferensi dari keberhasilan dan kegagalan model. Melihat orang yang serupa dengannya mencapai keberhasilan melalui usaha keras akan mempertinggi keyakinan pengamat terhadap kemampuannya sendiri. Sebaliknya, melihat orang lain mengalami kegagalan, meskipun usahanya keras, akan menurunkan keyakinan pengamat tentang efficacy-nya sendiri dan motivasinya pun akan menjadi lemah.
    Kedua, model yang kompeten akan mentransmisikan pengetahuan dan mengajarkan kepada pengamat keterampilan dan strategi yang efektif untuk mengatasi berbagai tuntutan lingkungan. Dengan belajar keterampilan yang lebih baik, keyakinan orang tentang self-efficacy-nya akan meningkat.
    4.3.3. Persuasi Verbal
    Persuasi verbal, seperti saran dan nasihat, dapat juga mempengaruhi self‑efficacy. Persuasi dapat berhasil baik bila membujuk orang untuk berusaha cukup keras agar mencapai keberhasilan, yang pada gilirannya akan mempertinggi keyakinan efficacy-nya. Akan tetapi, mempertinggi keyakinan efficacy yang tidak realistis, yang tidak didukung oleh pengalaman keberhasilan, mungkin akan lebih banyak bahayanya daripada kebaikannya.

    4.3.4. Keadaan Fisiologis
    Keadaan fisiologis dan afektif dapat berpengaruh terhadap efficacy dalam tiga cara. Pertama, bila orang sedang tegang dan cemas, keadaan fisiologis atau tingkat emosinya dapat berpengaruh negatif terhadap ekspektasi efficacy-nya. Tingginya tingkat emosi biasanya memperburuk kinerja dan karenanya akan menurunkan tingkat ekspektasi efficacy. Pendekatan yang menurunkan tingkat emosi dapat mempertinggi keyakinan efficacy maupun kinerja. Dimilikinya keyakinan tentang self‑efficacy untuk mengontrol pikiran akan mempengaruhi emosi yang dibangkitkan secara kognitif.
    Kedua, keadaan perasaan (mood) mempengaruhi penilaian tentang self-efficacy: perasaan yang positif akan meningkatkan keyakinan efficacy, sedangkan perasaan tertekan akan menghilangkan keyakinan tersebut.
    Ketiga, dalam kegiatan yang membutuhkan kekuatan dan stamina, orang memandang rasa letih dan penatnya sebagai tanda-tanda melemahnya efficacy fisik.

    Informasi efficacy yang diperoleh dari sumber pengalaman langsung, pengalaman tak langsung, persuasi, dan keadaan fisiologis, diproses secara kognitif. Terdapat perbedaan antara informasi yang diperoleh dari peristiwa lingkungan dan informasi yang dipilih, ditimbang, dan diintegrasikan ke dalam penilaian self‑efficacy. Pemrosesan informasi efficacy secara kognitif melibatkan dua proses: pertama, memilih informasi yang relevan dengan efficacy, dan kedua, menimbang dan mengintegrasikan informasi tersebut.
    Mengenai informasi tentang efficacy yang bersumber dari pengalaman langsung, tidak ada hubungan sebab-akibat antara kualitas kinerja dan keyakinan self‑efficacy. Kinerja yang baik belum tentu mempertinggi self‑efficacy. Faktor-faktor yang mempengaruhi kontribusi kinerja terhadap self‑efficacy adalah: (1) tingkat kesulitan tugas, (2) besarnya usaha yang dilakukan, dan (3) besarnya bantuan eksternal yang diterima.
    Mengenai informasi tentang efficacy yang diperoleh dari sumber pengalaman tak langsung, pengamat akan memandang bahwa model yang tingkat kemampuannya sama, atau sedikit lebih tinggi, merupakan sumber informasi komparatif yang paling valid.
    Sehubungan dengan informasi efficacy persuasif, pengaruhnya terkait dengan tingkat kepercayaan penerima informasi terhadap penilaian pelaku persuasi itu.
    Informasi efficacy fisiologis juga diproses secara kognitif. Yang paling berpengaruh di sini adalah sumber dan tingkat rangsangan, serta pengalaman masa lalu tentang bagaimana rangsangan itu mempengaruhi kinerja.

    4.4. Fungsi Tujuan (goal)

    Personal agency, atau pengaturan perilaku secara sadar, beroperasi melalui dua sumber motivasi kognitif: (1) pemikiran ke depan (forethought), dan (2) penetapan tujuan dengan reaksi self-evaluative terhadap perilaku sendiri. Bandura (1989) mengemukakan bahwa motivasi manusia tergantung pada bertambahnya atau berkurangnya ketidaksesuaian. Motivasi itu menuntut adanya kontrol proaktif dan kontrol reaktif. Pada awalnya orang memotivasi dirinya dengan menetapkan standar atau tingkat kinerja yang menciptakan keadaan disequilibrium dan kemudian mereka berusaha mendapatkan kembali keadaan equilibrium. Kontrol reaktif mencakup penyesuaian tingkat usaha untuk mencapai hasil yang diinginkan. Tujuan untuk mencapai kepuasan diri dengan kinerjanya, dengan menetapkan kondisi yang diinginkan, berfungsi sebagai motivator.
    Di samping itu, tujuan juga penting untuk perkembangan self‑efficacy. Tujuan merupakan standar bagi orang untuk menilai kapabilitasnya. Yang lebih penting adalah sub-tujuan jangka pendek dengan tingkat kesulitan yang dapat ditoleransi. Sub-tujuan seperti ini memberikan insentif untuk bertindak, dan, bila telah tercapai, akan menghasilkan informasi efficacy dan rasa percaya diri untuk terus berusaha. Keyakinan tentang inefficacy dapat mengakibatkan orang memperendah tujuannya dan akibatnya menurunkan tingkat ketidakpuasannya terhadap kinerja di bawah standar.

    V. APLIKASI DALAM KONSELING

    5.1. PARTICIPANT MODELLING

    Dengan menekankan pentingnya observational learning dan berbagai proses yang tercakup di dalamnya, pengaruh Bandura terhadap konseling sangat besar. Mungkin kontribusi yang paling langsung dari Bandura adalah pendekatannya yang disebut participant modelling. Pendekatan ini menggunakan kinerja dalam melaksanakan tugas yang ditakuti, dengan kinerja yang berhasil dipandang sebagai kendaraan utama untuk mencapai perubahan psikologis.
    Participant modelling menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
    Langkah pertama. Konselor berulang-ulang mencontohkan kegiatan yang ditakuti, misalnya menangani ular atau anjing, untuk menunjukkan kepada klien cara melakukannya secara berhasil, dan untuk membuktikan bahwa konsekuensi yang ditakutkan itu tidak terjadi.
    Langkah kedua. Klien dan konselur melakukan kegiatan itu bersama-sama, yang kalau dikerjakan oleh klien sendiri akan terlalu menakutkanya. Konselor, yang berfungsi sebagai pembimbing dan pencegah kecemasan, menggunakan hierarkhi sub-tugas yang tingkat kesulitannya dipertinggi secara bertahap.
    Langkah ketiga. Konselor dapat menggunakan alat bantu pembangkit respon atau kondisi protektif untuk mengurangi ekspektasi konsekuensi yang ditakuti sehingga membantu klien melaksanakan tugas dengan baik. Misalnya, pada saat memberikan perlakuan untuk mengatasi fobia ular, alat bantu pembangkit responnya dapat berupa tindakan konselor memegang erat-erat kepala dan ekor ular, penggunaan sarung tangan pelindung dan penggunaan ular yang lebih kecil.
    Langkah keempat. Secara bertahap konselor mengurangi bantuannya untuk memastikan bahwa klien dapat berfungsi secara efektif tanpa bantuan.
    Langkah kelima. Klien melaksanakan kinerjanya secara mandiri. Pada tahap awal kinerja mandiri ini, konselor dapat tetap berada di dalam ruangan bersama klien, tetapi kemudian dia meninggalkan klien seorang diri, mengamati klien dari balik kaca satu arah. Ide dasar hal tersebut adalah bahwa cara terbaik untuk memperkuat keyakinan self‑efficacy adalah dengan pencapaian mandiri di mana tampak jelas bagi klien bahwa keberhasilannya itu disebabkan oleh kemampuannya untuk menguasai situasi yang ditakutkannya itu tanpa bantuan orang lain.

    5.2. APLIKASI DALAM MASALAH-MASALAH LAIN

    Teori kognitif sosial dapat diaplikasikan untuk membantu memahami dan merumuskan intervensi dalam konseling karier dan perkembangan. Misalnya, pembentukan keyakinan self‑efficacy sangat relevan untuk membantu perempuan menerima pekerjaan yang secara tradisional tidak biasa bagi perempuan.
    Lent dan Hackett (1987) mengemukakan bahwa keyakinan self‑efficacy dapat memprediksi index perilaku yang penting untuk memasuki karier, seperti pemilihan jurusan di perguruan tinggi dan kinerja akademik dalam bidang-bidang tertentu.
    Dengan memperhatikan keempat sumber informasi efficacy, konselor karier dapat merancang intervensi individual dan kelompok yang lebih efektif bagi laki-laki maupun perempuan.

    Dalam setting pendidikan, konselor dapat mengembangkan keyakinan self‑efficacy pada diri siswa, guru, staf, dan orang tua, untuk meningkatkan motivasi dan pencapaian akademik. Konselor tersebut dapat melayani klien secara individual maupun kelompok, atau bekerja dalam kapasitas sebagai konsultan.

    Guided mastery (penguasaan terbimbing) merupakan cara utama untuk menanamkan kompetensi kognitif. Guided mastery hampir sama dengan pendekatan participant modelling yang digambarkan di atas. Langkah-langkah dalam guided mastery mencakup penggunaan modelling kognitif dan bantuan pengajaran untuk secara bertahap mengajarkan pengetahuan dan keterampilan yang relevan, dan latihan terbimbing dalam menentukan kapan dan bagaimana menggunakan strategi kognitif untuk memecahkan berbagai macam permasalahan (Bandura, 1986, 1993). Meskipun sering kali konselor tidak akan mempunyai waktu ataupun pengetahuan yang cukup untuk mengajarkan materi pelajaran, misalnya matematika, tetapi mereka dapat membantu guru untuk merancang dan mengimplementasikan kurikulum yang mengembangkan keyakinan self‑efficacy pada diri para siswa.

    Dalam setting pemberian bantuan, konselor dapat melatih klien dalam penggunaan pendekatan self‑management yang didasarkan atas teori kognitif sosial. Misalnya, konselor dapat membantu klien mengadopsi dan mempertahankan kebiasaan-kebiasaan yang kondusif untuk kesehatan dan untuk menghilangkan kebiasaan yang tidak baik bagi kesehatan.

    Secara singkat, teori kognitif sosial memberikan kepada konselor pemahaman tentang bagaimana mereka dapat meningkatkan keyakinan self-efficacy serta keefektifannya bagi para kliennya maupun bagi dirinya sendiri.

    VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

    Tteori kognitif sosial mengakui baik adanya kontribusi sosial terhadap cara manusia berpikir dan bertindak, maupun pentingnya proses kognitif terhadap motivasi, emosi dan tindakan. Kelebihan teori Bandura ini adalah sebagai berikut:
    1) Teori ini mampu menjelaskan cara pembentukan perilaku manusia yang tidak dapat dijelaskan secara memadai oleh perspektif aliran Skinnerian tentang bagaimana prinsip-prinsip reinforcement beroperasi.
    2) Teori Bandura tentang observational learning memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemahaman mengenai bagaimana klien belajar cara berpikir dan berperilaku yang positif maupun negatif.
    3) Teori kognitif sosial ini menjelaskan secara rinci berbagai proses konsep kognitif seperti self‑efficacy dan self‑regulation, yang perlu dipertimbangkan secara seksama oleh para konselor.


    DAFTAR REFERENSI

    Bandura, a. (1986). Social Foundations of Thought and Action: a Social Cognitive Theory. Englewood Cliffs, Nj: Prentice‑hall.

    Bandura, a. (1993). Perceived Self‑efficacy in Cognitive Development and Function ‑ Dalam Educational Psychologist, 28 (2), 1178.

    Byrne, D. & Kelley, K. (1981). An Introduction to Personality. New Jersey: Prentice Hall,inc.

    Lent, R. W., & Hackett, G. (1987). Career Self‑efficacy: Empirical Status and Future Directions. Journal of Vocational Behavior, 30, 3472.

    Nelson‑jones, Richard. (1995). Counselling and Personality: Theory and Practice. Australia: Allen and Unwin Pty Ltd.

    Zimbardo, Philip G. (1977). Psychology and Life. Illinois: Scott, Foresman and Company.

    Labels:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke DAFTAR ISI