DOCTYPE html PUBLIC "-//W3C//DTD XHTML 1.0 Strict//EN" "http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-strict.dtd"> Didi Tarsidi: Counseling, Blindness and Inclusive Education: Teori dan Praktek Psikoterapi Kelompok
  • HOME


  • Guestbook -- Buku Tamu



    Anda adalah pengunjung ke

    Silakan isi Buku Tamu Saya. Terima kasih banyak.
  • Lihat Buku Tamu


  • Comment

    Jika anda ingin meninggalkan pesan atau komentar,
    atau ingin mengajukan pertanyaan yang memerlukan respon saya,
    silakan klik
  • Komentar dan Pertanyaan Anda




  • Contents

    Untuk menampilkan daftar lengkap isi blog ini, silakan klik
  • Contents -- Daftar Isi




  • Izin

    Anda boleh mengutip artikel-artikel di blog ini asalkan anda mencantumkan nama penulisnya dan alamat blog ini sebagai sumber referensi.


    01 November 2007

    Teori dan Praktek Psikoterapi Kelompok

    Disadur dan dirangkum dari
    Yalom, Irvin D. (1985). The Theory and Practice of Group Psychotherapy. Third Edition. New York: Basic Books, Inc. Publishers.

    Oleh Didi Tarsidi
    Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

    Daftar Isi

    1. FAKTOR-FAKTOR TERAPEUTIK DALAM TERAPI KELOMPOK
    2. INTERPERSONAL LEARNING
    3. KOHESIVITAS KELOMPOK
    4. PENGINTEGRASIAN FAKTOR-FAKTOR TERAPEUTIK
    5. TUGAS-TUGAS DASAR TERAPIS
    6. PENDEKATAN HERE-AND-NOW
    7. TRANSFERENSI DAN TRANSPARANSI
    8. SELEKSI PASIEN
    9. KOMPOSISI KELOMPOK TERAPI
    10. MENCIPTAKAN KELOMPOK: TEMPAT, WAKTU, JUMLAH ANGGOTA, PERSIAPAN 11. Fase Awal TERAPI KELOMPOK
    12. KELOMPOK LANJUT
    13. PASIEN BERMASALAH
    14. TEKNIK TERAPIS: FORMAT KHUSUS
    15. KELOMPOK TERAPI TERSPESIALISASI
    16. Terapi kelompok dan ENCOUNTER GROUP
    17. PENDIDIKAN TERAPIS KELOMPOK
    Reviu

    BAB 1
    FAKTOR-FAKTOR TERAPEUTIK DALAM TERAPI KELOMPOK

    Yalom mengidentifikasi 11 faktor terapeutik dalam terapi kelompok sebagai berikut:
    1) Membangkitkan harapan (instillation of hope),
    2) Universalitas (universality),
    3) Penyampaian informasi (imparting of information),
    4) Altruism,
    5) Rekapitulasi korektif kelompok keluarga primber (the corrective recapitulation of the primary family group),
    6) Pengembangan teknik sosialisasi (development of socializing techniques),
    7) Perilaku imitatif (imitative behavior),
    8) Belajar interpersonal (interpersonal learning),
    9) Kohesivitas kelompok (group cohesiveness),
    10) Perasaan lega (catharsis), dan
    11) Faktor-faktor eksistensial (existential factors).

    Membangkitkan Harapan
    Membangkitkan dan memelihara harapan itu sangat penting dalam semua jenis psikoterapi: harapan tidak hanya dibutuhkan agar pasien tetap mengikuti terapi sehingga faktor-faktor terapeutik lainnya efektif, tetapi keyakinan terhadap kemanjuran bentuk treatment dapat merupakan faktor terapeutik yang efektif. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa tingginya ekspektasi terhadap bantuan sebelum terapi dilakukan itu berkorelasi signifikan dengan hasil positif dari terapi.

    Universalitas
    Perasaan keunikan seorang pasien sering dipertinggi oleh isolasi sosial; karena adanya kesulitan interpersonal, kesempatan untuk mendapatkan validasi yang jujur dan tulus dalam hubungan intim sering tidak didapatkan oleh pasien. Dalam terapi kelompok, terutama pada tahap-tahap awal, diskonfirmasi perasaan unik pada pasien merupakan sumber yang sangat baik untuk menciptakan perasaan lega. Sesudah mendengar pasien lain membeberkan keprihatinan yang serupa dengan keprihatinannya sendiri, para pasien melaporkan bahwa mereka merasa lebih dekat dengan dunia dan merasa menjadi bagian dari ras manusia. Tidak ada perbuatan atau pikiran manusia yang sepenuhnya berada di luar pengalaman orang lain.

    Meskipun permasalahan manusia itu kompleks, tetapi terdapat kesamaan dalam hal-hal tertentu dan para anggota sebuah terapi kelompok tidak membutuhkan waktu lama untuk mempersepsi adanya kesamaan itu.

    Penyampaian Informasi (Pembelajaran)
    Kebanyakan pasien, setelah menamatkan terapi kelompok interaksional secara berhasil merasa sudah belajar banyak tentang keberfungsian psikis, arti bermacam-macam gejala, dinamika interpersonal dan kelompok, dan proses psikoterapi. Akan tetapi, proses pembelajaran ini bersifat implisit; terapis kelompok tidak memberikan pengajaran yang eksplisit dalam terapi kelompok interaksional. Meskipun demikian, ada juga pendekatan psikoterapi kelompok di mana pengajaran formal merupakan bagian penting dari programnya.

    Pendekatan didaktik dapat dipergunakan untuk berbagai tujuan dalam terapi kelompok seperti: untuk mentransfer informasi, membentuk kelompok, menjelaskan proses penyakit. Sering kali pembelajaran seperti ini berfungsi sebagai kekuatan pengikat hingga faktor-faktor terapeutik lainnya beroperasi. Di samping itu, penjelasan dan klarifikasi merupakan faktor yang berfungsi sebagai agen terapi yang efektif.

    Altruisme
    Dalam kelompok terapi, pasien juga menerima melalui memberi, tidak hanya bagian dari sekuen saling memberi dan menerima tetapi juga dari tindakan intrinsik untuk memberi. Pasien psikiatrik yang baru memulai terapi kehilangan semangat hidup dan memiliki perasaan tidak mempunyai sesuatu yang berharga untuk ditawarkan kepada orang lain. Mereka telah lama memandang dirinya sebagai beban, dan pengalaman bahwa mereka ternyata dapat dianggap penting orang lain itu akan menyegarkan jiwanya dan mempertinggi rasa harga dirinya.

    Para anggota sebuah kelompok terapi memang saling membantu, saling memberikan saran, dukungan, pengertian, dan merasa senasib. Tidak jarang seorang pasien akan lebih mendengarkan dan menyerap hasil pengamatan dari pasien lainnya daripada terapis. Bagi banyak pasien, terapis tetap dipandang sebagai profesional yang dibayar, tetapi pasien-pasien lain dapat diandalkan sebagai pemberi reaksi dan umpan balik yang jujur dan spontan.

    Rekapitulasi Korektif Kelompok Keluarga Primer
    Tanpa kekecualian, pasien memasuki terapi kelompok dengan riwayat pengalaman yang sangat tidak memuaskan dengan kelompok primernya yaitu keluarga. Dalam banyak aspek, kelompok terapi ini menyerupai keluarga, dan banyak kelompok dipimpin oleh tim terapi yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, sengaja agar konfigurasinya sedapat mungkin menyerupai orang tua dalam keluarga. Pasien diharapkan berinteraksi dengan pimpinan kelompok serta anggota-anggota kelompok lainnya seperti berinteraksi dengan orang tua dan saudara. Terdapat berbagai macam pola hubungan: tak berdaya dan sangat bergantung pada pimpinan yang dipandangnya sebagai sangat berpengetahuan dan berkuasa; selalu membangkang pimpinan kelompok yang dipandangnya sebagai merintangi pertumbuhan kemandiriannya atau merampas individualitasnya; mencoba memecah belah ko-terapis dan menanamkan perselisihan dan persaingan di antara mereka; persaingan sengit dengan pasien lain dalam upaya merebut perhatian terapis; berusaha menggalang persekutuan dengan pasien lain untuk menjatuhkan terapis; atau mengabaikan kepentingannya sendiri untuk menyenangkan anggota-anggota lain.


    Pengembangan Teknik Sosialisasi
    Social learning – pengembangan keterampilan sosial dasar – merupakan satu faktor terapeutik yang beroperasi dalam semua kelompok terapi.

    Perilaku Imitatif
    Dalam terapi kelompok yang dinamis dengan aturan-aturan dasar untuk mendorong umpan balik yang terbuka, pasien dapat memperoleh banyak informasi tentang perilaku sosial maladaptif. Misalnya, pasian dapat belajar tentang kecenderungan yang membingungkan untuk menghindari menatap temannya bercakap-cakap; atau tentang kesan orang lain mengenai sikap angkuhnya; atau tentang berbagai macam kebiasaan sosial lainnya yang tanpa disadari olehnya merupakan penyebab buruknya hubungan sosialnya. Bagi individu yang tidak memiliki hubungan intim, kelompok sering merupakan kesempatan pertama untuk mendapatkan umpan balik interpersonal yang akurat.


    BAB 2
    INTERPERSONAL LEARNING

    Belajar interpersonal (interpersonal learning), sebagaimana didefinisikan oleh Yalom, merupakan faktor terapeutik yang luas dan kompleks, yang mengandung faktor-faktor terapeutik dalam terapi individual seperti insight, bekerja melalui transferensi, dan pengalaman emosional korektif, maupun proses-proses yang khas dalam setting terapi kelompok. Untuk mendefinisikan konsep interpersonal learning dan untuk mendeskripsikan mekanisme perubahan terapeutik yang dimediasikan oleh konsep ini pada individu, perlu dibahas terlebih dahulu tiga konsep lain yaitu:
    1. Pentingnya hubungan interpersonal,
    2. Pengalaman emosional korektif,
    3. Kelompok sebagai social microcosm.

    Pentingnya Hubungan Interpersonal
    Dari perspektif apa pun kita mempelajari masyarakat manusia, kita mendapatkan bahwa hubungan interpersonal memainkan peranan yang sangat penting. Apakah kita mempelajari sejarah evolusi kemanusiaan ataupun meneliti perkembangan individu, kita harus selalu memandang umat manusia dalam matrix hubungan interpersonalnya. Terdapat data yang meyakinkan dari berbagai penelitian tentang budaya manusia primitif dan primata nonmanusia bahwa manusia selalu hidup dalam kelompok yang ditandai oleh hubungan yang kuat di antara para anggotanya. Perilaku interpersonal selalu adaptif terhadap berbagai situasi, dan tanpa hubungan interpersonal yang kuat, positif dan timbal balik, individu maupun spesies manusia tidak akan dapat bertahan hidup.

    Pengalaman Emosional Korektif
    Pengelaman emosional korektif dalam terapi kelompok mempunyai beberapa komponen:
    1. Ekspresi emosi yang kuat yang diarahkan secara interpersonal dan kurang dipandang sebagai resiko oleh pasien;
    2. Kelompok cukup suportif untuk memungkinkan pengambilan resiko ini;
    3. Uji realita yang memungkinkan pasien untuk menelaah insiden itu dengan bantuan validitas konsensus dari pasien-pasien lain;
    4. Mengenali ketidaktepatan perasaan dan perilaku interpersonal tertentu mengenali ketidaktepatan menghindari perilaku interpersonal tertentu;
    5. Fasilitasi kemampuan individu untuk berinteraksi dengan orang lain secara lebih mendalam dan jujur.

    Kelompok sebagai Social Microcosm
    Jenis kaca mata konseptual apa pun yang dipergunakan oleh terapis atau observer, gaya interpersonal setiap pasien akhirnya akan tampak dalam transaksinya dalam kelompok. Gaya-gaya tertentu memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menimbulkan friksi interpersonal dan akan termanifestasi dengan sendirinya dalam kelompok secara lebih cepat daripada gaya-gaya lainnya. Misalnya, individu yang pemarah, pendendam, kasar, tidak menonjolkan diri, atau selalu menonjolkan diri, akan cepat terlihat dalam kehidupan kelompok. Pola hubungan sosial yang maladaptif akan tampak jelas secara jauh lebih cepat daripada pola-pola hubungan sosial dari individu yang secara halus mengeksploitasi orang lain atau mencapai keintiman hingga titik tertentu tetapi kemudian menarik diri karena menjadi merasa takut. Tahap awal terapi kelompok biasanya diarahkan untuk menangani pasien yang patologinya paling mencolok secara interpersonal. Gaya interpersonal tertentu menjadi sangat jelas dari satu transaksi, gaya lainnya dari satu pertemuan kelompok, tetapi ada pula yang membutuhkan observasi beberapa bulan untuk memahaminya. Pengembangan kemampuan mengidentifikasi perilaku interpersonal adaptif dalam mikrokosme sosial dan memanfaatkannya untuk keperluan terapi merupakan salah satu tujuan penting dari program pelatihan bagi terapis.


    Mekanisme interpersonal learning sebagai satu faktor terapeutik adalah:
    1. Simtomatologi psikiatrik berasal dari hubungan interpersonal yang terganggu. Tugas psikoterapi adalah membantu pasien belajar cara mengembangkan hubungan interpersonal yang bebas distorsi dan memuaskan.
    2. Kelompok psikoterapi, asalkan perkembangannya tidak terganggu oleh keterbatasan struktural yang parah, berkembang menjadi satu mikrokosme sosial, sebuah penjelmaan mini dari dunia sosial pasien.
    3. Anggota kelompok, melalui validasi konsensus dan observasi diri, menjadi sadar akan aspek-aspek penting dari perilaku interpersonalnya: kekuatannya, keterbatasannya, distorsi parataksiknya, dan perilaku maladaptifnya yang menimbulkan respon yang tak diharapkan dari orang lain. Pasien belum pernah belajar membedakan antara aspek-aspek baik dan buruk dari perilakunya. Kelompok terapi, dengan dorongan umpan balik yang tepat, dapat membuat pasien memahami perbedaan itu.
    4. Terjadi rangkaian peristiwa interpersonal yang teratur:
    a. Tayangan patologi – pasien memperlihatkan perilakunya.
    b. Melalui umpan balik dan observasi diri, pasien
    (1) Menjadi pengamat yang lebih baik terhadap perilakunya sendiri;
    (2) Memahami dampak perilaku tersebut terhadap
    (a) Perasaan orang lain;
    (b) Pendapat orang lain tentang dirinya;
    (c) Pendapat dirinya tentang dirinya sendiri.
    5. Pasien yang sudah sepenuhnya menyadari rangkaian ini juga menjadi sadar akan tanggung jawab pribadi untuknya: setiap individu merupakan pengarang dunia pribadinya sendiri.
    6. Individu yang sepenuhnya menerima tanggung jawab pribadi untuk dunia interpersonal tersebut juga akan menerima segala akibat dari temuannya itu, bahwa sang pencipta dunia inilah yang mampu mengubahnya.
    7. Kedalaman dan kebermaknaan kesadaran ini langsung proporsional dengan kadar dampak yang terkait dengan rangkaian tersebut. Semakin riil dan semakin emosional suatu pengalaman, akan semakin kuat juga dampaknya; semakin objektif dan semakin intelektual pengalaman itu, akan semakin kecil efektivitas belajar itu.
    8. Sebagai akibat dari kesadaran ini, pasien lambat laun berubah dengan mengambil resiko untuk menciptakan cara-cara baru dalam berhubungan dengan orang lain. Kemungkinan bahwa perubahan itu akan terjadi merupakan fungsi dari:
    a. Motivasi pasien untuk berubah dan tingkat ketidaknyamanan dan ketidakpuasan pribadi terhadap bentuk perilaku saat ini;
    b. Keterlibatan pasien dalam kelompok – yaitu seberapa banyak pasien membiarkan kelompok untuk mempersoalkanya;
    c. Kekakuan struktur karakter dan gaya personal pasien.
    9. Perubahan perilaku dapat membangkitkan satu siklus baru interpersonal learning melalui observasi diri dan umpan balik dari orang lain.
    10. Konsep social microcosm ini dua arah: tidak hanya perilaku luar yang termanifestasikan dalam kelompok, tetapi perilaku yang dipelajari dalam kelompok juga akhirnya terbawa ke dalam lingkungan sosial pasien dan perubahan akan muncul dalam perilaku interpersonalnya di luar kelompok.
    11. Lambat laun suatu spiral adaptif terjadi, mula-mula di dalam dan kemudian di luar kelompok. Jika distorsi interpersonal orang itu berkurang, maka kemampuannya untuk menjalin hubungan yang menguntungkan pun bertambah. Kecemasan sosial berkurang; harga diri meningkat; kecenderungan untuk menyembunyikan diri semakin berkurang; orang lain merespon secara positif terhadap perilaku ini dan semakin banyak menunjukkan persetujuan dan penerimaan terhadap pasien, yang selanjutnya lebih meningkatkan lagi harga diri dan memicu lebih banyak perubahan. Akhirnya spiral adaptif itu mencapai tingkat otonomi dan efikasi sedemikian rupa sehingga terapi profesional tidak dibutuhkannya lagi.

    Transference dan Insight
    Transferensi dan wawasan memainkan dua peranan sentral dalam sebagian besar formulasi proses terapi. Transferensi adalah suatu bentuk distorsi persepsi interpersonal.

    Wawasan tidak dapat dideskripsikan secara tepat ; dia bukan sebuah konsep kesatuan. Secara umum, insight dapat diartikan sebagai “melihat ke dalam": suatu proses yang mencakup klarifikasi, penjelasan, dan derepresi. Insight terjadi bila orang menemukan sesuatu yang penting tentang dirinya sendiri – tentang perilakunya, sistem motivasinya, atau ketidaksadarannya.
    Dalam proses terapi kelompok, pasien dapat memperoleh insight sekurang-kurangnya pada empat level:
    1. Pasien mungkin memperoleh perspektif yang lebih objektif tentang presentasi interpersonalnya.
    2. Pasien mungkin memperoleh pemahaman tentang pola perilakunya yang lebih kompleks dengan orang lain.
    3. Level ketiga dapat disebut dengan istilah motivational insight. Pada level ini, pasien mungkin memahami mengapa mereka melakukan apa yang dilakukannya terhadap dan dengan orang lain.
    4. Insight level keempat, yaitu genetic insight, berusaha membantu pasien memahami bagaimana mereka menjadi dirinya saat ini. Melalui eksplorasi terhadap sejarah perkembangan pribadinya, pasien memahami asal-usul pola perilakunya saat ini.


    BAB 3
    KOHESIVITAS KELOMPOK

    Diawali dengan hipotesis bahwa kohesivitas dalam terapi kelompok adalah analog dari "relationship" dalam terapi individual, bab ini membahas bukti-bukti yang mendukung kohesivitas kelompok sebagai satu faktor terapeutik dan berbagai hal yang dipengaruhi oleh kohesivitas kelompok. Hasil berbagai penelitian sangat mendukung kesimpulan bahwa keberhasilan terapi didukung oleh hubungan antara terapis dan pasien, hubungan yang ditandai dengan kepercayaan, kehangatan, pemahaman empatik, dan penerimaan.

    Jelas bahwa analog terapi kelompok dengan hubungan pasien-terapis dalam terapi individual merupakan satu konsep yang lebih luas: hubungan ini harus mencakup hubungan pasien tidak hanya dengan terapis kelompok tetapi juga dengan anggota-anggota kelompok lainnya dan dengan kelompoknya secara keseluruhan. Dalam buku ini, “cohesiveness” didefinisikan secara luas sebagai akibat dari semua kekuatan yang mempengaruhi semua anggota kelompok untuk tetap berada dalam kelompok, atau secara lebih sederhana, daya tarik kelompok bagi semua anggotanya.
    Anggota-anggota sebuah kelompok yang kohesif saling menerima, saling mendukung, dan cenderung menjalin hubungan yang bermakna dalam kelompok. Kohesivitas tampaknya merupakan faktor yang signifikan dalam menentukan keberhasilan terapi kelompok. Dalam kondisi penerimaan dan pengertian, pasien akan lebih cenderung mengekspresikan dan mengeksplorasi dirinya sendiri, menyadari dan mengintegrasikan aspek-aspek self yang hingga saat itu tidak dapat diterimanya, dan berhubungan secara lebih mendalam dengan orang lain. Harga diri (self-esteem) sangat dipengaruhi oleh peranan pasien di dalam kelompok yang kohesif. Perilaku sosial yang dihargai oleh anggota-anggota kelompok adalah yang adaptif sosial bagi individu di luar kelompok.
    Di samping itu, kelompok yang tingkat kohesinya tinggi adalah kelompok yang lebih stabil dengan tingkat kehadiran yang lebih baik dan tingkat terminasi yang lebih kecil. Bukti penelitian mengindikasikan bahwa stabilitas ini vital bagi keberhasilan terapi: terminasi dini mencegah diperolehnya keuntungan oleh pasien yang bersangkutan dan menghambat kemajuan anggota-anggota lainnya juga. Kohesivitas lebih memungkinkan terjadinya pembukaan diri (self-disclosure), pengambilan resiko, dan ekspresi konflik yang konstruktif dalam kelompok – fenomena yang memfasilitasi keberhasilan terapi.


    BAB 4
    PENGINTEGRASIAN FAKTOR-FAKTOR TERAPEUTIK

    Kajian tentang faktor-faktor terapeutik dalam terapi kelompok diawali dengan rasional bahwa gambaran tentang faktor-faktor ini akan mengarah pada pengembangan panduan yang sistematik bagi para terapis dalam menentukan taktik dan strategi yang akan dipergunakannya. Paparan tentang faktor-faktor terapeutik pada Bab 1 bersifat komprehensif tetapi tidak dalam bentuk yang dapat diaplikasikan secara klinis. Penyebabnya adalah demi kejelasan, faktor-faktor tersebut disajikan sebagai entitas yang terpisah-pisah, padahal sesungguhnya mereka saling terkait dan tergantung satu dengan lainnya.

    Pentingnya berbagai faktor terapeutik tersebut tergantung pada jenis terapi kelompok yang dipraktekkan. Kelompok-kelompok dengan populasi klinis yang berbeda-beda dan tujuan terapi yang bervariasi (misalnya kelompok pasien rawat jalan jangka panjang, kelompok pasien rawat inap, kelompok berobat jalan, kelompok pembentukan perilaku) mungkin akan menekankan rumpun factor terapeutik yang berbeda. Faktor-faktor terapeutik tertentu penting pada tahap tertentu, sedangkan factor lainnya menonjol pada tahap yang berbeda. Bahkan dalam kelompok yang sama, pasien yang berbeda mungkin mendapatkan faedah dari factor terapeutik yang berbeda pula, tergantung pada kebutuhannya, keterampilan sosialnya, struktur karakternya.

    Faktor-faktor tertentu tidak selalu merupakan mekanisme perubahan yang independent melainkan berfungsi sebagai persyaratan untuk perubahan. Misalnya, “instillation of hope” dapat berfungsi terutama untuk mencegah mudah patah semangat dan untuk mempertahankan pasien di dalam kelompok hingga kekuatan lain yang lebih besar mengambil perannya. kohesivitas, yaitu perasaan menjadi anggota kelompok yang bermakna, bagi pasien-pasien tertentu, mungkin merupakan kendaraan utama untuk mencapai perubahan; sedangkan bagi pasien lainnya, kohesivitas penting untuk mendapatkan rasa aman dan dukungan yang memungkinkannya mengeksplorasi dirinya sendiri, mendapatkan umpan balik interpersonal, dan bereksperimen dengan perilaku baru.

    Secara singkat dapat dikatakan bahwa potensi komparatif dari factor-faktor terapeutik itu merupakan pertanyaan yang kompleks. Faktor yang berbeda mempunyai nilai yang berbeda bagi kelompok terapi yang berbeda, bagi kelompok yang sama pada tingkat perkembangan yang berbeda, dan bagi pasien yang berbeda dalam satu kelompok yang sama, tergantung pada kebutuhan dan kekuatan masing-masing individu. Namun demikian, secara keseluruhan, sebagian besar bukti penelitian menunjukkan bahwa interaksi interpersonal dan eksplorasi (yang mencakup catharsis dan pemahaman diri) dan group kohesivitas merupakan hasil dari terapi kelompok jangka panjang yang efektif, dan terapis kelompok yang efektif harus mengarahkan upayanya pada pengembangan sumber-sumber daya terapeutik ini secara maksimal.


    BAB 5
    TUGAS-TUGAS DASAR TERAPIS

    Yalom mengemukakan bahwa terdapat tiga tugas fundamental seorang terapis kelompok, yaitu: (1) menciptakan dan memelihara kelompok, (2) membangun budaya kelompok, dan (3) activasi dan iluminasi “here-and-now”. Tetapi dalam bab ini hanya akan dibahas tugas membangun budaya kelompok.

    Membangun Budaya Kelompok
    Jika sebuah kelompok sudah terbentuk, tugas terapis adalah menjadikan kelompok itu sebagai sebuah sistem sosial terapeutik. Terapis berusaha menetapkan kode aturan perilaku, atau norma, yang akan menjadi pedoman interaksi kelompok. Norma ideal untuk sebuah kelompok terapi adalah yang mengikuti logika diskusi tentang faktor-faktor terapeutik pada bab-bab terdahulu.

    Terdapat perbedaan penting antara terapis individual dan terapis kelompok. Dalam format individual, terapis berfungsi sebagai satu-satunya agen perubahan langsung. Di pihak lain, terapis kelompok berfungsi secara tidak langsung. Jadi, jika para anggota kelompok, dalam interaksinya, mengaktifkan faktor-faktor terapeutik itu, maka tugas terapis kelompok adalah menciptakan budaya kelompok yang semaksimal mungkin kondusif bagi interaksi kelompok yang efektif.

    Tidak seperti jenis-jenis kelompok lainnya, para anggota kelompok terapi harus merasa bebas mengomentari perasaan yang mereka alami terhadap kelompok, anggota-anggota lain, dan terhadap terapis. Kejujuran dan spontanitas ekspresi harus didorong dalam kelompok ini. Jika kelompok ini ingin mengembangkan mikrokosme sosial yang sesungguhnya, para anggotanya harus berinteraksi secara bebas.

    Norma ideal lainnya mencakup keterlibatan aktif dalam kelompok, menerima orang lain sebagaimana adanya, pembukaan diri yang ekstensif, berkeinginan untuk memahami diri sendiri ketidakpuasan akan bentuk perilaku saat ini dan semangat untuk berubah. Norma dapat berupa resep untuk membentuk ataupun menghilangkan jenis perilaku tertentu. Norma mempunyai unsur-unsur evaluatif penting untuk menentukan apakah para anggota harus atau tidak boleh melakukan perilaku tertentu. Norma juga dapat bersifat implisit ataupun eksplisit. Pada umumnya para anggota kelompok tidak merumuskan norma itu secara sadar.

    Bagaimanakah Pemimpin Membentuk Norma?
    Terdapat dua peran dasar yang dapat dimainkan oleh terapis dalam sebuah kelompok: pakar teknik dan partisipan model. Dalam kedua peran ini terapis membantu membentuk norma kelompok.

    Pakar Teknik
    Bila berperan sebagai pakar teknik, seorang terapis secara sengaja akan menggunakan berbagai teknik untuk mengerakkan kelompok ke arah yang dipandang ideal. Pada tahap awal mempersiapkan pasien untuk terapi kelompok, terapis secara eksplisit berusaha membentuk norma. Dalam prosedur ini, terapis secara hati-hati mengajar pasien tentang peraturan kelompok. Terapis berusaha menegakkan peraturan ini dengan dua cara: dengan mendukungnya dengan otoritas dan pengalamannya, dan dengan menyajikan rasional di belakang prosedur demi memperoleh dukungan nalar para pasien.

    Model Partisipan
    Terapis sebagai pemimpin kelompok membentuk norma tidak hanya melalui “social engineering” yang eksplisit maupun implicit, tetapi juga melalui pemberian contoh perilaku personal dalam kelompok. Budaya kelompok terapi sangat berbeda dengan aturan-aturan social yang sudah terbiasa bagi pasien. Pasien diminta membuang kebiasaan-kebiasaan social yang sudah dikenalnya, untuk mencoba perilaku baru, dan untuk mengambil banyak resiko. Berbagai hasil penelitian menujukkan bahwa modeling merupakan satu cara yang efektif untuk membentuk perilaku baru. Dengan memberikan contoh penerimaan yang “nonjudgmental” dan penghargaan terhadap kekuatan maupun kelemahan orang lain, terapis dapat membantu membentuk sebuah kelompok yang berorientasi kesehatan.

    Kelompok Self-Monitoring
    Penting bahwa kelompok mulai bertanggung jawab untuk keberfungsianya sendiri. Jika norma ini tidak berkembang, maka kelompok akan menjadi pasif dan para anggotanya sangat bergantung pada terapis untuk semua kegiatannya, dan terapis dapat menjadi sangat lelah.

    Self-Disclosure (Pembukaan Diri)
    Self-disclosure sangat esensial dalam proses terapi kelompok. Pasien tidak akan memperoleh manfaat dari terapi kelompok jika mereka tidak membuka dirinya sepenuhnya. Self-disclosure selalu merupakan tindakan interpersonal.

    Norma Prosedural
    Format prosedur yang optimal dalam kelompok bersifat tidak terstruktur, tidak dilatihkan, dan berinteraksi secara bebas. Tetapi format seperti ini tidak pernah terbentuk secara alami: banyak pembentukan budaya secara aktif dituntut dari pihak terapis. Terdapat banyak kecenderungan yang harus dibenahi oleh terapis. Kecenderungan alami sebuah kelompok baru adalah menghabiskan seluruh pertemuan untuk membahas masalah satu anggota kelompok secara bergiliran. Anggota-anggota itu dapat bergiliran; sering kali orang pertama yang berbicara atau orang yang menyampaikan tentang krisis kehidupan yang paling menekan pada minggu itu mendapatkan kesempatan untuk mengemukakan permasalahanya dalam pertemuan itu. Kelompok-kelompok tertentu sangat berkesulitan untuk mengubah fokus dari satu anggota ke anggota lainnya, karena satu norma telah berkembang di mana perubahan topik dianggap sebagai sesuatu yang jelek, tidak sopan, atau ditolak. Anggota-anggota itu mungkin memilih untuk berdiam diri dulu: mereka tidak berani menyela atau meminta giliran berbicara; tetapi diam-diam mereka berharap orang itu akan berhenti berbicara dengan sendirinya.

    Pentingnya Kelompok bagi Para Anggotanya
    Semakin penting para anggota memandang kelompoknya, akan semakin efektif kelompok itu. Yang paling ideal untuk kepentingan terapi adalah bila para pasien memandang pertemuan kelompok terapi itu sebagai peristiwa yang paling penting dalam kehidupanya setiap minggu. Terapis sebaiknya memperkuat keyakinan ini dengan berbagai cara.

    Anggota sebagai Agen Bantuan
    Kelompok berfungsi terbaik apabila para anggotanya saling menghargai bantuan yang dapat diberikan oleh masing-masing. Jika kelompok terus memandang terapis sebagai satu-satunya sumber bantuan, maka kelompok itu gagal mencapai tingkat otonomi yang optimal dan self-respect. Untuk memperkuat norma ini, terapis dapat menarik perhatian mereka pada insiden yang menunjukkan sikap saling membantu di kalangan para anggota. Terapis juga dapat mengajarkan cara yang paling efektif untuk saling membantu.

    Dukungan
    Sebagaimana sudah ditekankan pada bahasan tentang kohesivitas, sangat penting bahwa para anggota sebuah kelompok terapi untuk memandang kelompok sebagai lingkungan yang aman dan suportif. Akhirnya, dalam terapi berjangka panjang, banyak isu yang tidak menyenangkan harus dibicarakan dan dieksplorasi. Banyak pasien bermasalah dengan amarah atau arogansi atau merendahkan diri atau tidak peka atau sekedar gemar membantah. Kelompok terapi tidak dapat menawarkan bantuan tanpa kejadian seperti ini muncul dalam interaksi para anggotanya.



    BAB 6
    PENDEKATAN HERE-AND-NOW

    Kelompok terapi sangat menekankan pentingnya pengalaman di sini dan pada saat ini (here-and-now”. Fokus here-and-now ini, agar efektif, terdiri dari dua lapisan simbiotik, yang masing-masing tidak akan memiliki daya terapeutik tanpa yang lainnya.

    Lapisan pertama adalah "experiencing" (mengalami): para angota kelompok hidup di sini dan pada saat ini; mereka mengembangkan perasaan yang kuat terhadap anggota-anggota lainnya, terapis, dan kelompok. Perasaan “di sini dan pada saat ini” itu menjadi wacana utama di dalam kelompok. Peristiwa yang sedang terjadi di dalam kelompok pada saat ini jauh lebih penting daripada peristiwa-peristiwa di luar kelompok maupun yang terjadi di masa lampau. Fokus ini sangat memfasilitasi perkembangan dan munculnya mikrokosme sosial setiap anggota; memfasilitasi timbulnya umpan balik, perasan haru, self-disclosure yang bermakna, dan perolehan teknik bersosialisasi. Kelompok menjadi lebih vital, dan semua anggotanya (tidak hanya yang sedang “bekerja” pada sesi yang bersangkutan) menjadi intensif keterlibatannya dalam pertemuan kelompok.

    Tetapi fokus here-and-now itu akan cepat mencapai batas kegunaanya tanpa lapisan kedua, yaitu iluminasi proses. Jika faktor terapeutik yang sangat efektif, yaitu interpersonal learning, dikehendaki beraksi, maka kelompok harus mengenali, menelaah, dan memahami proses. Kelompok harus menelaah dirinya sendiri; harus mempelajari transaksinya sendiri; harus memunculkan pengalaman murni dan menerapkannya untuk mengintegrasikan pengalaman itu.

    Jadi, penggunaan yang efektif dari fokus here-and-now itu dualistik: kelompok hidup di sini dan pada saat ini, dan juga melakukan cermin diri dengan menelaah perilaku di sini dan pada saat ini yang baru saja terjadi.
    Jika kelompok itu dikehendaki efektif, maka kedua aspek here-and-now itu harus ada. Andaikata hanya aspek pertama (pengalaman did sini dan pada saat ini) yang ada, maka pengalaman kelompok itu intensif, para anggotanya merasa terlibat mendalam, dan ekspresi emosionalnya tinggi. Tetapi pengalaman tersebut akan pendek umurnya: para anggota tidak akan mempunyai kerangka kognitif yang memungkinkannya mempertahankan pengalaman kelompok itu, menggeneralisasikannya, dan menerapkan apa yang telah mereka pelajari itu pada situasi “did rumah”. Di pihak lain, jika hanya aspek kedua dari here-and-now (penelaahan proses) yang ada, maka kelompok itu akan kehilangan kegairahannya dan kebermaknaanya; merosot nilainya menjadi sekedar mengasah otak. Dengan demikian, terapis mempunyai dua fungsi dalam here-and-now: mengarahkan kelompok ke kehidupan di sini dan pada saat ini, dan membimbing mereka untuk melakukan refleksi guna menelaah proses.


    BAB 7
    TRANSFERENSI DAN TRANSPARANSI

    Yalom menggunakan istilah transference secara bebas untuk mengacu pada aspek-aspek irrasional dari hubungan antara dua orang. Dalam manifestasi klinisnya, konsep ini sinonim dengan parataxic distortion. Bab ini mengklarifikasi beberapa isu yang terkait dengan transference (yang selanjutnya saya terjemahkan “transferensi”):
    1. Transferensi terjadi dalam kelompok terapi; bahkan transferensi selalu ada dan secara radikal mempengaruhi hakikat wacana kelompok.
    2. Tanpa mengapresiasi transferensi dan manifestasinya, terapis tidak akan dapat memahami proses kelompok.
    3. Terapis yang mengabaikan pertimbangan-pertimbangan tentang transferensi tidak memahami beberapa transaksi dan akan membingungkan para anggota kelompok; tetapi jika dia hanya memperhatikan aspek-aspek transferensi hubungan dengan anggota kelompok, maka dia akan gagal berhubungan secara autentik dengan mereka.
    4. Ada pasien yang terapinya sangat bergantung pada resolusi transferensi (distorsi); dan ada juga pasien yang kemajuannya tergantung pada personal learning bukan dengan terapis tetapi dengan teman sekelompoknya melalui isu-isu seperti kompetisi eksplitasi, atau konflik sexual dan keintiman; dan terdapat banyak pasien yang memilih cara alternatif dalam terapi di kelompoknya dan memperoleh manfaat utama dari faktor-faktor terapeutik lain.
    5. Sikap terhadap terapis tidak selalu berbasis transferensi: banyak yang berbasis realita dan ada juga yang irrasional tetapi mengalir dari sumber-sumber irrasionalitas lain yang terkait dengan dinamika kelompok.
    6. Dengan menjaga fleksibilitas, terapis dapat memperoleh manfaat terapeutik dari sikap irrasional tersebut terhadap terapis, tanpa mengabaikan fungsi-fungsi lainnya sebagai terapis di dalam kelompok.

    Setiap pasien, dengan kadar yang berbeda-beda, mempersepsi terapis secara tidak tepat karena adanya distorsi transferensi. Hanya sedikit pasien yang terbebas sama sekali dari konflik dalam sikapnya terhadap isu-isu seperti otoritas parental, ketergantungan, Tuhan, otonomi, dan pemberontakan – dan kesemuanya ini sering dipersonifikasikan pada diri terapis.

    Ada dua pendekatan yang memfasilitasi resolusi transferensi dalam kelompok terapi: validasi konsensus (consensual validation) dan meningkatnya transparansi terapis. Terapis dapat mendorong seorang pasien untuk memvalidasi kesannya tentang terapis dengan kesan pasien-pasien lain. Jika banyak atau semua anggota kelompok sama dalam pandangannya dan perasaannya terhadap terapis, maka terapis dapat mengambil salah satu dari dua kesimpulan berikut: bahwa reaksi mereka terhadap terapis itu mungkin bersumber dari kekuatan kelompok secara keseluruhan yang terkait dengan perannya dalam kelompok, atau bahwa reaksi itu memang realistis, mereka mempersepsi terapis secara tepat. Di pihak lain, jika hanya satu pasien itu saja yang memiliki pandangan tersebut, maka pasien ini mungkin perlu dibantu untuk menelaah kemungkinan bahwa dia mempersepsi terapis melalui prisma internal yang terdistorsi. Jadi, satu cara untuk memfasilitasi uji realita adalah dengan mendorong anggota kelompok untuk saling mengecek persepsinya. Cara lainnya adalah dengan menggunakan diri terapis sendiri: sedikit demi sedikit terapis mengungkapkan keadaan dirinya yang sesungguhnya untuk mengkonfirmasi atau menyangkal persepsi pasien. Anda mendesak pasien untuk memperlakukan anda sebagai realita did tempat ini pada saat ini. Terapis merespon setiap pertanyaan pasien, berbagi perasaan dengannya, mengakui atau menolak kesan pasien tentang diri terapis.


    Transparansi (Transparency)
    Tidak perlu ada misteri yang menyelubungi terapis atau prosedur terapi. Terapi yang didasarkan pada aliansi yang sejati antara terapis dan pasien mencerminkan penghargaan yang lebih besar terhadap kapasitas pasien dan akan meningkatkan kesadaran dirinya. Terapis yang secara bijaksana bersifat transparan akan meningkatkan daya terapeutik kelompok dengan mendorong berkembangnya faktor-faktor terapeutik kelompok itu (lihat bab tentang faktor-faktor terapeutik kelompok).

    Terdapat banyak jenis transparansi terapis tergantung pada gaya pribadi terapis dan tujuan yang ingin dicapainya dalam kelompok pada waktu tertentu. Apakah terapis berupaya memfasilitasi resolusi transferensi? Apakah terapis berupaya menjadi model dalam usahanya untuk menetapkan norma-norma terapi? Apakah terapis secara umum berupaya membantu para anggota kelompok melakukan interpersonal learning dengan mengembangkan hubungan mereka dengannya? Apakah terapis berupaya mendukung dan menunjukkan penerimaannya terhadap anggota kelompok dengan menghargainya dan melakukan yang terbaik bagi mereka?

    Prinsip umum yang terbukti baik bagi terapis bila menerima umpan balik dari pasien, terutama umpan balik yang negatif, adalah:
    1. Terimalah dengan serius: dengarkan baik-baik, pertimbangkan, dan berikan respon. Hargai pasien dan renungkan umpan baliknya; jika tidak, maka anda akan meningkatkan perasaan impotensi pada pasien.
    2. Dapatkan validasi konsensus: Temukan bagaimana pendapat pasien-pasien lain. Apakah umpan balik itu sekedar reaksi transferensi atau apakah sesuai dengan realita tentang anda? Jika itu memang relita, anda harus mengkonfirmasinya; jika tidak, anda harus menyangkalnya.
    3. Cek pengalaman internal anda: Apakah umpan balik itu cocok atau bertentangan dengan pengalaman internal anda?

    Satu batasan yang ketat tentang peran terapis kelompok berbasis transparansi adalah bahwa terapis tidak boleh mengabaikan individualitas kebutuhan masing-masing pasien. Meskipun terapi ini berorientasi kelompok, tetapi terapis harus tetap mempertahankan fokus individual tertentu: tidak semua pasien membutuhkan hal yang sama.


    BAB 8
    SELEKSI PASIEN

    Terapi kelompok yang baik diawali dengan seleksi yang baik terhadap pasien. Pasien yang ditempatkan pada kelompok yang tidak tepat tidak akan memperoleh manffat dari pengalaman terapinya. Lebih jauh, sebuah kelompok dengan komposisi yang tidak tepat bisa mati pada saat kelahiran, tidak bisa berkembang menjadi bentuk treatment bagi anggota-anggotanya. Dalam bab ini dibahas bukti-bukti klinis dan penelitian tentang seleksi pasien: bagaimana seorang terapis dapat memastikan apakah seorang pasien cocok untuk kandidat terapi kelompok.

    Terdapat konsensus klinis bahwa pasien merupakan kandidat yang tidak cocok untuk terapi kelompok heterogen yang intensif untuk pasien rawat jalan jika mereka: (1) mengalami kerusakan otak,(2) paranoid,(3) hypochondria, (4) pecandu narkoba atau alkohol, (5) psikotik akut, atau (6) sosiopatik. Pasien-pasien ini cenderung akan gagal karena ketidakmampuannya berpartisipasi dalam tugas utama kelompok; mereka akan segera membangun peran interpersonal yang merusak untuk dirinya sendiri maupun bagi kelompok.

    Seleksi untuk terapi kelompok pada prakteknya dilakukan melalui proses deseleksi: terapis kelompok tidak memasukkan pasien-pasien tertentu ke dalam pertimbanganya dan menerima semua pasien lainnya. Studi tentang kegagalan dalam terapi kelompok, terutama terhadap pasien-pasien yang drop out dari terapi kelompok pada tahap awal, memberikan kriteria yang penting untuk eksklusi. Pasien sebaiknya tidak ditempatkan dalam kelompok jika mereka mempunyai kecenderungan untuk menyimpang. Pasien-pasien yang menyimpang dari kelompok itu kecil sekali kemungkinanya untuk mendapatkan manfaat dari pengalaman kelompok dan cukup besar kemungkinannya untuk menjadi lebih parah. Seorang yang menyimpang dari kelompok (group deviant) adalah orang yang tidak dapat berpartisipasi dalam tugas-tugas kelompok. Jadi, dalam kelompok interaksi heterogen, seorang yang menyimpang adalah orang yang tidak dapat atau tidak akan menelaah dirinya sendiri dan hubungannya dengan orang-orang lain, terutama dengan anggota-anggota kelompok lainnya.

    Pasien harus dieksklusikan jika mereka sedang berada did tengah-tengah krisis kehidupan, yang dapat diatasi secara lebih efisien dengan format terapi lain. Konflik dalam bidang keintiman merupakan indikasi maupun kontraindikasi untuk terapi kelompok: terapi kelompok dapat menawarkan banyak bantuan dalam bidang ini, tetapi jika konflik itu terlalu terlalu ekstrim, pasien akan cenderung meninggalkan kelompok atau diusir oleh kelompok. Tugas terapis adalah mencari pasien yang berada sedekat mungkin ke batas antara kebutuhan dan kemustahilan.

    Jika tanda-tanda untuk eksklusi itu tidak ada, maka sebagian besar pasien yang membutuhkan terapi dapat diberi treatment dalam terapi kelompok.


    BAB 9
    KOMPOSISI KELOMPOK TERAPI

    Esensi kelompok terapi adalah interaksi: setiap anggota harus terus-menerus berkomunikasi dan berinteraksi dengan anggota-anggota lainnya. Tanpa memandang pertimbangan-pertimbangan lain, perilaku aktual dari anggota kelompok menentukan nasib kelompok itu. Oleh karena itu, jika kita hendak menentukan komposisi kelompok secara inteligen, maka kita harus mencari campuran yang akan memungkinkan para anggota kelompok berinteraksi dengan baik. Oleh karena itu, keseluruhan prosedur untuk menentukan komposisi kelompok dan seleksi anggota kelompok didasarkan atas asumsi penting bahwa dengan tingkat akurasi tertentu kita dapat memprediksi perilaku kelompok dari seorang individu berdasarkan penyaringan praterapi.

    Terdapat konsensus di kalangan sebagian besar klinikus bahwa pasien terapi kelompok sebaiknya diekspos pada berbagai bidang konflik, cara-cara untuk mengatasinya, dan berbagai macam gaya interpersonal yang saling bertentangan, dan bahwa konflik pada umumnya sangat penting untuk proses terapi. Namun demikian, tidak ada bukti penelitian yang menunjukkan bahwa kelompok yang sengaja dibuat heterogen itu memfasilitasi terapi; bahkan terdapat bukti yang cukup kuat justru sebaliknya. Di pihak lain, sejumlah penelitian tentang kelompok terapi mendukung konsep kohesivitas. Kelompok terapi yang mempunyai kecocokan interpersonal akan mengembangkan kohesivitas yang lebih besar. Anggota-anggota kelompok yang kohesif mempunyai tingkat kehadiran yang lebih baik, lebih mampu mengekspresikan dan mentoleransi sikap permusuhan; lebih cenderung berusaha mempengaruhi orang lain, dan pada giliranya mereka juga lebih mudah terpengaruh; anggota yang mempunyai daya tarik yang lebih besar bagi kelompoknya memperoleh hasil terapi yang lebih baik; pasien yang kurang dapat menyesuaikan diri dengan anggota-anggota lain cenderung drop out dari kelompok terapi sebagaimana halnya dua orang anggota yang saling sangat tidak cocok; anggota-anggota dengan tingkat kompatibilitas interpersonal tertinggi menjadi anggota kelompok yang paling populer, dan popularitas dalam kelompok berkorelasi tinggi dengan keberhasilan terapi.

    Ada yang mengkhawatirkan bahwa kelompok yang homogen akan nonproduktif, terbatas, atau bebas konflik, atau hanya mengatasi masalah-masalah interpersonal dalam lingkup yang sempit. Kekhawatiran tersebut tidak berdasar karena beberapa alasan. Pertama, terdapat individu yang patologinya monolitik; individu yang mengalami konflik dalam satu bidang utama tetapi tidak mengalami konflik dalam keintiman atau otoritas, misalnya. Kedua, proses perkembangan kelompok mungkin menuntut agar pasien mengatasi bidang-bidang konflik tertentu. Misalnya, hukum-hukum perkembangan kelompok menuntut agar kelompok pada akhirnya mengatasi isu-isu kontrol, otoritas, dan hierarki kekuasaan. Dalam kelompok yang beranggotakan beberapa individu dengan konflik dalam bidang kontrol, fase ini mungkin muncul dini atau sangat tajam. Dalam kelompok di mana tidak ada individu seperti ini, anggota-angota lain yang konfliknya tidak begitu parah, atau yang konfliknya tidak begitu jelas, dalam bidang ketergantungan dan otoritas mungkin terpaksa mengatasi masalah ini pada saat kelompok tiba ke fase perkembangan ini. Jika peran-peran tertentu dalam kelompok tidak terisi, pada umumnya pemimpin kelompok (secara sadar ataupun tidak) akan mengubah perilakunya untuk mengisi kekosongan tersebut.

    Lebih jauh – dan ini merupakan hal yang penting – tidak ada kelompok terapi dengan pimpinan yang tepat dapat merasa cukup nyaman atau tidak dapat memberikan disonansi bagi para anggotanya karena anggota itu harus berbentrokan dengan tugas-tugas kelompok. Mengembangkan rasa percaya, membuka diri, mengembangkan keintiman, menelaah diri sendiri, mengkonfrontasi orang lain, kesemuanya ini merupakan tugas-tugas yang bertentangan bagi individu yang mengalami masalah yang signifikan dalam hubungan interpersonal.

    Oleh karena itu, berdasarkan pengetahuan yang ada, Yalom berpendapat bahwa kohesivitas merupakan pedoman utama dalam menentukan komposisi kelompok terapi. Disonansi akan muncul dalam kelompok, asalkan terapis berfungsi secara efektif dalam mengorientasi pasien praterapi dan dalam beberapa pertemuan pertama. Integritas kelompok harus menjadi perhatian utama, dan terapis harus menyeleksi pasien yang paling kecil kemungkinannya untuk melakukan terminasi prematur. Pasien yang besar kemungkinannya untuk tidak dapat menyesuaikan diri dengan budaya kelompok yang berlaku, atau tidak dapat cocok dengan sekurang-kurangnya seorang anggota lain, sebaiknya tidak dimasukkan ke dalam kelompok. Perlu dicatat bahwa kohesivitas kelompok tidak sinonim dengan kenyamanan kelompok. Justru sebaliknya: hanya dalam kelompok yang kohesif bahwa konflik dapat ditoleransi dan ditransformasikan menjadi karya yang produktif.


    BAB 10
    MENCIPTAKAN KELOMPOK:
    TEMPAT, WAKTU, JUMLAH ANGGOTA, PERSIAPAN

    Pertimbangan-pertimbangan Persiapan
    Sebelum sebuah kelompok mengawali pertemuan, terdapat hal-hal tertentu yang harus diputuskan. Terapis harus menetapkan tempat pertemuan yang tepat dan menetapkan kebijakan mengenai penerimaan anggota baru, frekuensi pertemuan, durasi setiap sesi, dan jumlah anggota kelompok.

    Setting Fisik
    Pertemuan dapat diadakan dalam sembarang setting fisik ruangan asalkan ruangan itu menjamin privasi dan terbebas dari gangguan perhatian.

    Kelompok Terbuka dan Tertutup
    Pada saat pendiriannya, pimpinan kelompok dapat menetapkan apakah kelompok ini terbuka atau tertutup. Kelompok tertutup, jika sudah dimulai, menutup pintu gerbangnya, tidak menerima anggota baru, dan biasanya mengadakan pertemuan untuk jumlah sesi yang telah ditetapkan sebelumnya. Kelompok terbuka mempertahankan jumlah anggotanya sesuai dengan target, sehingga menerima anggota baru untuk menggantikan yang keluar.

    Durasi dan Frekuensi Pertemuan
    Terapis kelompok pada umumnya sepakat bahwa sekurang-kurangnya sixty menit dibutuhkan untuk pemanasan dan untuk pemaparan dan pembahasan tema utama dalam satu sesi. Juga terdapat konsensus di kalangan para terapis bahwa titik jenuh dicapai sesudah sekitar dua jam: kelompok menjadi letih, bolak-balik, dan tidak efisien. Di samping itu, banyak terapis tampaknya berfungsi terbaik dalam segmen 80 hingga 90 menit; sesi yang lebih lama sering mengakibatkan keletihan, yang membuat terapis kurang efektif dalam sesi-sesi berikutnya pada hari yang sama.

    Frekuensi pertemuan bervariasi dari satu hingga lima kali seminggu. Yalom lebih menyukai dua kali seminggu.

    Kelompok Marathon
    Istilah ini diperkenalkan oleh G. Bach. Kelompok Marathon ini bertemu selama 24 hingga 48 jam tanpa henti. Partisipan harus mengikuti pertemuan ini selama waktu yang telah ditentukan; makan dihidangkan did tempat terapi; dan jika perlu tidur, partisipan hanya diberi waktu istirahat sekedarnya. Penekanan terapi kelompok ini adalah pada pembukaan diri (self-disclosure) total, konfrontasi interpersonal intensif, dan keterlibatan serta partisipasi afektif.

    Hasil terapi kelompok Marathon yang pertama kali dilaporkan dalam media massa dan jurnal ilmiah sangat memukau. Antara lain laporan itu mengatakan, "Terapi selama 36 jam itu dapat dibandingkan dengan terapi 90 menit seminggu sekali selama beberapa tahun.” Akan tetapi, studi literatur yang sistematis menunjukkan bahwa sebagian besar peserta terapi ini adalah mahasiswa relawan dan hanya beberapa saja laporan tentang studi mengenai treatment pasien dalam kelompok Marathon. Kesimpulan umum secara kuat menunjukkan bahwa tidak ada bukti tentang efikasi terapi kelompok Marathon. Beberapa studi menunjukkan hasil yang baik tetapi cepat menguap dan tidak mempunyai efek jangka panjang.

    Jumlah Anggota Kelompok
    Jumlah anggota kelompok dapat berkisar antara 5 hingga 10 orang, tetapi jumlah yang ideal untuk kelompok terapi interaksional adalah 7 atau 8 orang.

    Persiapan untuk Terapi Kelompok
    Terdapat banyak variasi dalam praktek klinis sehubungan dengan sesi individual sebelum terapi kelompok dilaksanakan. Semakin sering terapis bertemu secara individual sebelum pertemuan kelompok dapat dilaksanakan, akan semakin kecil kemungkinannya pasien akan melakukan terminasi prematur. Tujuan dari pertemuan individual itu adalah untuk mengikat hubungan antara terapis dan calon pasien. Ada beberapa hal yang harus dicapai dalam masa persiapan ini, yaitu: mengklarifikasi miskonsepsi tentang terapi kelompok, kekhawatiran dan harapan yang tidak realistis; mengantisipasi dan mengurangi kemungkinan masalah terapi kelompok; memberikan struktur kognitif yang memungkinkan pasien berpartisipasi secara efektif dalam kelompok.

    Sistem Persiapan
    Terdapat banyak pendekatan untuk mempersiapkan pasien menghadapi terapi kelompok. Yang paling sederhana dan paling mudah dilakukan dalam dunia yang penuh dengan ketergesa-gesaan saat ini adalah dengan melakukannya dalam wawancara praterapi untuk memberikan kepada pasien, secara seksama dan sistematis, informasi yang diperlukan untuk memfasilitasi mereka masuk ke dalam kelompok secara optimal. Pendekatan kognitif untuk mempersiapkan terapi kelompok ini mempunyai beberapa tujuan: memberikan penjelasan yang rasional tentang proses terapi; mendeskripsikan jenis perilaku yang diharapkan dari pasien; menyepakati kontrak tentang kehadiran; meningkatkan ekspektasi tentang dampak terapi kelompok; memprediksi (sehingga akan mengurangi) masalah dan dysphoria dalam pertemuan-pertemuan awal.


    BAB 11
    Fase Awal TERAPI KELOMPOK

    Pada bab ini dibahas kelahiran dan perkembangan sebuah kelompok masalah kehadiran, drop out, pengurangan dan penambahan anggota.

    Tahapan-tahapan Pembentukan Kelompok
    Secara umum, sebuah kelompok melewati tahap awal orientasi, yang ditandai dengan pencarian struktur dan tujuan, ketergantungan pada pimpinan, dan kekhawatiran tentang batas-batas kelompok. Selanjutnya, kelompok melewati tahap konflik, yang ditandai dengan masalah-masalah dominansi interpersonal. Sesudah itu, kelompok menjadi semakin mempedulikan harmoni dan hubungan kasih antar-anggota, sedangkan perbedaan-perbedaan antar-anggota sering diredam did bawah permukaan kohesivitas kelompok. Kemudian, muncullah kelompok kerja yang matang, yang ditandai dengan kohesivitas yang tinggi, hubungan interpersonal dan intrapersonal, dan komitmen penuh pada tugas-tugas utama kelompok dan pada setiap anggota.

    Tahap Awal: Orientasi, Partisipasi yang Ragu-ragu, Pencarian Makna, Ketergantungan
    Setiap anggota kelompok yang baru terbentuk akan dihadapkan pada dua tugas. Pertama, mereka harus menentukan cara mencapai tugas utamanya, yaitu tujuannya masuk kelompok. Kedua, mereka harus memperhatikan hubungan sosialnya dalam kelompok guna menciptakan satu tempat bagi dirinya yang tidak hanya memberikan kenyamanan yang diperlukan untuk mencapai tujuan utamanya tetapi juga akan menghasilkan rasa senang sebagai anggota kelompok.

    Beberapa kekhawatiran muncul berbarengan pada pertemuan-pertemuan pertama. Anggota-anggota kelompok itu, terutama bila tidak siap, akan mencari rasional untuk terapi. Mereka mungkin bingung memahami relevansi kegiatan kelompok dengan tujuan terapi yang ingin dicapainya.
    Pada saat yang sama, mereka saling mengukur kekuatannya masing-masing di dalam kelompok. Mereka mencari peran yang cocok baginya dan bertanya-tanya pada diri sendiri apakah mereka akan disukai dan dihormati atau diabaikan dan ditolak.

    Secara terus-terang atau diam-diam, mereka memandang kepada terapis untuk mendapatkan struktur dan jawaban maupun untuk persetujuan dan penerimaan.

    Pencarian kesamaan merupakan hal yang umum pada awal kehidupan kelompok. Mereka heran menemukan bahwa mereka bukan satu-satunya yang mengalami kepahitan, dan kebanyakan kelompok melakukan banyak upaya untuk menunjukkan kepada pasien betapa mereka memiliki banyak persamaan. Proses ini sering memberikan perasaan lega kepada pasien dan merupakan fondasi untuk membentuk kohesivitas.

    Saling memberi dan menerima advis juga merupakan karakteristik kelompok dini.

    Karakteristik-karakteristik did atas dapat dipergunakan untuk memprediksi keberlangsungan kelompok.

    Tahap Kedua: Konflik, Dominansi, Pembangkangan
    Karakteristik konflik pada fase ini adalah antar-anggota dan antara anggota dan terapis. Masing-masing anggota berusaha menunjukkan inisiatif dan kekuatannya; dan lambat-laun terbentuklah hierarki kontrol, urutan takaran sosial dalam kelompok.

    Tahap Ketiga: Perkembangan Kohesivitas
    Pada fase ini, kelompok lambat-laun berkembang menjadi unit yang kohesif. Bermacam-macam frase dipergunakan untuk menggambarkan fase ini dengan konotasi yang sama: kesadaran dalam kelompok; kesamaan tujuan dan semangat kelompok; aksi konsensus kelompok, kerjasama kelompok, dan saling mendukung;" integrasi kelompok dan mutualitas; kesatuan kesadaran kekitaan;" persaingan eksternal; dukungan dan kebebasan komunikasi dan terjalinnya keintiman dan saling percaya antar-teman. Dalam fase ini terdapat peningkatan moril, saling percaya, dan self-disclosure.

    Masalah-masalah Keanggotaan
    Awal perkembangan sebuah kelompok sangat dipengaruhi oleh masalah-masalah keanggotaan. Perubahan dalam keanggotaan, keterlambatan, dan absensi merupakan fakta-fakta kehidupan dalam kelompok yang sedang berkembang dan sering mengancam stabilitas dan integritasnya. Tingginya tingkat absensi dapat mengalihkan perhatian dan energi kelompok dari tugas-tugas perkembangan ke masalah-masalah keanggotaan. Merupakan tugas terapis untuk mendorong keteraturan kehadiran, dan bila perlu, menggantikan anggota yang drop out dengan yang baru.

    Penggantian Anggota
    Pada umumnya, 10% hingga 35% anggota drop out dari kelompok selama 12 hingga 20 pertemuan pertama. Jika dua orang anggota atau lebih drop out biasanya ditambahkan anggota baru, dan sering kali drop out dengan persentase yang sama terjadi lagi selama 12 pertemuan pertama atau lebih. Hanya sesudah inilah kelompok itu menjadi solid dan mulai terlibat dalam hal-hal selain dari yang terkait dengan stabilitas kelompok. Pada umumnya, sesudah pasien bertahan selama sekitar 20 pertemuan mereka membuat komitmen jangka panjang.

    Kehadiran dan Ketepatan Waktu
    Keterlambatan dan kehadiran yang tidak teratur biasanya menandakan resistensi terhadap terapi dan sebaiknya hal ini ditangani seperti dalam terapi individual.


    Drop Out dari Kelompok
    Beberapa klinikus berpendapat bahwa drop out itu tidak dapat dihindari tetapi diperlukan dalam proses perubahan menuju kohesivitas kelompok. Secara umum, drop out berakar pada masalah-masalah yang disebabkan oleh deviansi, subgrouping, konflik dalam keintiman dan keterbukaan, peran provokator, stress eksternal, komplikasi antara terapi individual dan kelompok yang berbarengan, ketidakmampuan berbagi pimpinan, persiapan yang tidak memadai, dan penularan emosi. Yang mendasari ini semua adalah stress yang cukup tinggi pada masa awal kehidupan kelompok; pasien yang pola perilaku interpersonal maladaptif terekspos ke tuntutan untuk berterus terang dan keintiman yang tidak biasa baginya; mereka sering bingung tentang prosedur; mereka menganggap bahwa aktivitas kelompok sedikit sekali relevansinya dengan masalah yang dihadapinya; dan terlalu sedikit dukungan bagi mereka pada pertemuan-pertemuan pertama untuk mempertahankan harapannya.

    Mengeluarkan Pasien dari Kelompok
    Mengeluarkan seorang pasien dari kelompok merupakan sebuah tindakan yang signifikan bagi pasien yang bersangkutan maupun bagi kelompok sehingga harus dilakukan dengan penuh pertimbangan. Jika terapis sudah melakukan segala yang memungkinkan untuk dapat membantu pasien agar dapat mengikuti kelompok tetapi tidak berhasil, salah satu dari hal-hal berikut ini dapat terjadi: (1) pasien itu akhirnya akan drop out tanpa memperoleh keuntungan dari terapi kelompok (atau tanpa lebih banyak keuntungan); (2) pasien itu mungkin justru akan lebih parah jika terus berpartisipasi dalam kelompok (karena interaksi negatif dan/atau konsekuensi perannya sebagai pembangkang yang merugikan pasien-pasien lain); atau (3) pasien itu akan sangat menghambat kerja kelompok.

    Penambahan Anggota Baru
    Jika jumlah anggota kelompok sudah menjadi sangat rendah (biasanya lima atau kurang), terapis harus memasukkan anggota baru. Keberhasilan tindakan ini sebagian tergantung pada pemilihan waktu yang tepat. Pada umumnya, kelompok yang sedang berada dalam krisis atau sedang aktif terlibat dalam suatu perjuangan, atau tiba-tiba telah memasuki satu fase perkembangan baru, tidak menyukai penambahan anggota baru. Kelompok akan menolak pendatang baru itu atau akan menghabiskan energinya untuk berkonfrontasi dengan pendatang baru itu.


    BAB 12
    KELOMPOK LANJUT

    Dalam bab ini dibahas pembentukan subkelompok dan konflik.

    Pembentukan Subkelompok
    Fraksionalisasi terjadi dalam setiap organisasi sosial. Prosesnya mungkin untuk sementara atau untuk jangka panjang, mendukung atau membahayakan bagi organisasi induknya. Kelompok terapi pun tidak dikecualikan. Pembentukan subkelompok ini tidak dapat dihindari dan sering kali merupakan peristiwa yang mengganggu dalam kehidupan kelompok terapi. Akan tetapi, proses ini, jika difahami dan dimanfaatkan dengan baik, pembentukan subkelompok dapat mendukung terapi.

    Sebuah subkelompok muncul dari keyakinan dua orang anggota atau lebih bahwa mereka dapat memperoleh kepuasan yang lebih baik dari hubungan di antara mereka sendiri daripada hubungan dengan keseluruhan kelompok. Pergaulan di luar kelompok sering merupakan tahap awal dari pembentukan subkelompok.

    Anggota-anggota sebuah subkelompok dapat dikenali dari perilaku sebagai berikut: mereka selalu sependapat dalam isu apa pun dan menghindari konfrontasi di kalangan mereka sendiri; mereka saling bertukar pandang sama-sama tahu bila seorang anggota tidak dapat berbicara; mereka datang dan pulang dari pertemuan bersama-sama.

    Dampak Pembentukan Subkelompok
    Pembentukan subkelompok dapat berdampak sangat buruk terhadap perjalanan kelompok terapi. Dalam sebuah studi terhadap 35 orang pasien yang drop out secara primatur, ditemukan bahwa 35% drop out karena masalah-masalah yang timbul dari pembentukan subkelompok. Komplikasi muncul apakah seorang pasien termasuk atau tidak termasuk sebuah subkelompok.

    Inklusi
    Mereka yang termasuk ke dalam sebuah subkelompok dua orang atau lebih sering mendapati bahwa kehidupan kelompok itu jauh lebih menyulitkan dan kurang memberikan kepuasan. Jika seorang pasien mengalihkan kesetiaannya dari tujuan kelompok ke tujuan subkelompok, maka loyalitas itu menjadi isu besar. Apakah dia sebaiknya mematuhi aturan prosedur kelompok tentang diskusi yang bebas dan jujur sehingga oleh karenanya melanggar kesetiaan yang telah dibuatnya secara rahasia kepada subkelompoknya?

    Eksklusi
    Eksklusi dari subkelompok pun memperumit kehidupan kelompok. Pengalaman dikucilkan dari subkelompok dapat menimbulkan kecemasan, dan jika tidak ditangani, dapat mengakibatkan gangguan. Sering kali sangat sulit bagi para anggota kelompok membicarakan perasaan eksklusi seorang pasien dari subkelompok; mereka mungkin sungkan untuk mencampuri urusan hubungan orang lain dan tidak ingin mengambil resiko mendatangkan kemarahan orang yang bersangkutan.

    Pembentukan subkelompok disebabkan oleh kekuatan-kekuatan kelompok maupun individu.

    Pembentukan subkelompok dapat merupakan manifestasi perasaan bermusuhan yang tidak tersalurkan dalam kelompok terutama terhadap pimpinan kelompok.

    Pertimbangan-pertimbangan Terapeutik
    Pembentukan subkelompok tidak selalu mengakibatkan gangguan. Jika tujuan subkelompok itu mendukung tujuan kelompok induknya, maka pembentukan subkelompok itu akan mempertinggi kohesivitas kelompok. Dalam kelompok terapi, beberapa dari peristiwa yang paling penting terjadi sebagai akibat dari kontak did luar kelompok yang kemudian dibahas dalam terapi. Jika pertemuan-pertemuan seperti ini dipandang sebagai bagian dari ritme aksi kelompok, maka banyak informasi yang berharga dapat diberikan kepada kelompok. Untuk mencapai tujuan ini, anggota-anggota yang terlibat dalam pertemuan ekstrakelompok itu harus menginformasikan kepada kelompok tentang semua peristiwa yang terjadi did luar kelompok itu. Jika tidak, maka dampaknya akan negatif terhadap kohesivitas kelompok. Bukan pembentukan kelompok semata-mata yang mengganggu kehidupan kelompok, tetapi konspirasi tutup mulut yang pada umumnya menyertainya.

    Dalam praktek, kelompok yang hanya bertemu sekali seminggu cenderung mengalami lebih banyak dampak negatif dari pembentukan subkelompok daripada dampak positifnya. Banyak pergaulan did luar kelompok tidak pernah mendapat perhatian langsung dalam kelompok sehingga perilaku anggota yang bersangkutan tidak pernah menjadi bahan analisis dalam kelompok. Oleh karena itu, terapis sebaiknya mendorong diskusi tentang kontak did luar kelompok dan koalisi dalam kelompok.

    Jika pembentukan subkelompok tidak boleh dilarang, tidak boleh pula hal itu didorong. Sebaiknya hal ini dijelaskan dalam sesi persiapan kelompok atau dalam pertemuan permulaan. Sebaiknya dijelaskan bahwa aktivitas ekstrrakelompok sering menghambat terapi, dan jelaskan komplikasi yang dapat diakibatkan oleh pembentukan subkelompok. Perlu ditekankan bahwa jika pembentukan subkelompok terjadi, maka merupakan tanggung jawab subkelompok itu untuk menginformasikan hal-hal yang terjadi dalam subkelompok itu kepada anggota-anggota lain. Kelompok terapi mengajarkan keterampilan yang diperlukan untuk membina hubungan baik dalam kehidupan tetapi tidak dimaksudkan sebagai tempat menciptakan hubungan.

    Pengalaman menunjukkan bahwa dalam kelompok untuk pasien rawat jalan, tidak bijaksana meingikutsertakan dua orang anggota yang sudah lama menjalin hubungan khusus (suami dan istri, teman sekamar, dsb.). Ada terapi kelompok yang khusus untuk memperbaiki hubungan seperti ini, seperti terapi perkawinan, terapi keluarga, yang tidak dibahas dalam buku ini. Dalam kelompok psikoterapi bagi pasien rawat inap, masalahnya bahkan lebih kompleks karena anggota-anggotanya selalu berhubungan sepanjang hari.

    Konflik dalam Kelompok Terapi
    Konflik tidak dapat dihindari dalam perkembangan kelompok; ketiadaannya bahkan menunjukkan adanya gangguan dalam sekuen perkembangan itu. Lebih jauh, konflik dapat dimanfaatkan untuk kebaikan kelompok. Anggota kelompok dapat memperoleh manffat dari konflik asalkan intensitasnya tidak melebihi toleransinya, dan asalkan norma kelompok sudah ditegakkan dengan baik.

    Terdapat banyak sumber sikap permusuhan dalam kelompok terapi. Terdapat antagonisme yang didasarkan pada saling benci, kedengkian yang muncul dari perasaan benci pada diri sendiri.

    Transferensi atau parataxic distortions sering kali membangkitkan sikap permusuhan dalam kelompok terapi. Seorang pasien mungkin merespon tidak berdasarkan realita tetapi atas dasar citra yang terdistorsi oleh hubungan yang pernah dialaminya dan oleh kebutuhan interpersonal dan rasa takut yang dialaminya saat ini.

    Mirroring (efek cermin) adalah satu bentuk distorsi parataxik dan merupakan sumber sikap permusuhan yang sangat umum dalam kelompok terapi.

    Identifikasi projektif, yang merupakan satu proses tak disadari dalam mirroring, memproyeksikan beberapa dari atribut diri (tetapi yang tidak dimilikinya lagi) kepada orang lain, orang yang sangat disukai atau dibencinya.

    Kohesivitas merupakan prasyarat utama untuk keberhasilan manajemen konflik. Para anggota harus mengembangkan perasaan saling percaya dan saling menghargai dan harus menghargai kelompok sebagai satu alat yang penting untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Pasien harus mengerti bahwa komunikasi harus dipelihara jika menginginkan kelompok bertahan hidup. Semua pihak harus terus saling berkomunikasi secara langsung, betapa pun marahnya mereka. Lebih jauh, setiap orang harus diperhatikan secara serius. Bila kelompok memperlakukan seorang pasien sebagai maskot yang pendapat-pendapatnya dan kemarahannya dipandang enteng, maka harapan untuk mendapatkan treatment yang efektif bagi pasien tersebut sudah hilang. Lebih jauh, kohesivitas kelompok akan terganggu, karena pasien-pasien lain pun menjadi takut diperlakukan seperti itu.


    BAB 13
    PASIEN BERMASALAH

    Beberapa konstelasi perilaku menuntut perhatian khusus dari terapis. Dalam bab ini dibahas sembilan masalah seperti ini: monopolist, pasien schizoid, pasien pendiam, pasien yang membosankan, the help-rejecting complainer, the self-righteous moralist, pasien psikotik, pasien narcissistic, dan pasien borderline.

    Monopolist

    Monopolist adalah orang yang mempunyai dorongan untuk selalu berceloteh tanpa henti. Pasien ini gelisah jika tidak bicara. Jika orang lain mendapat giliran bicara, dia selalu menyela dengan berbagai teknik: dengan menyela secara tidak sopan, memanfaatkan saat pembicara itu sedang mengambil nafas, dengan merespon pada setiap pernyataan dalam kelompok, dengan terus-menerus menyebutkan persamaan antara masalah pembicara dan dirinya, dengan berulang-ulang mengatakan, “saya juga seperti itu”.

    Dampak pada Kelompok
    Meskipun pada pertemuan-pertemuan pertama kelompok mungkin menyambut dan mendorong sang monopolist untuk berbicara, tetapi suasana hati mereka segera berubah menjadi frustrasi dan marah. Akhirnya sumber ketegangan yang tak terpecahkan ini akan berdampak negatif pada kohesivitas – dampak yang ditandai dengan gangguan keutuhan kelompok seperti pertengkaran tak langsung, absensi, drop out, dan pembentukan subkelompok.

    Pertimbangan-pertimbangan Terapeutik
    Tugas umum terapis adalah mengubah pola perilaku monopolist itu secara terapeutik. Membentak pasien atau mendiamkannya dengan ancaman, tindakan ini sedikit sekali artinya kecuali sebagai katarsis temporer bagi terapis. Pasien itu tidak tertolong: tidak ada pelajaran yang diambilnya; kecemasan yang mendasari dorongan bicara pasien itu tetap ada dan akan meletus lagi secara lebih monopolistik atau, jika tidak ada penyaluran, akan memaksa pasien itu drop out.

    Pendekatan yang paling efektif adalah yang bermata dua: pertimbangkan kedua belah pihak – pasien yang memonopoli dan kelompok yang termonopoli.
    Dari sudut pandang kelompok, ingat prinsip bahwa tidak ada pasien monopolistik yang boleh eksis dalam kevakuman; bahwa pasien selalu berada dalam ekuilibrium dinamis dengan kelompok yang membolehkan atau mendorong perilaku seperti itu.

    Pendekatan kelompok terhadap masalah ini harus dilengkapi dengan menangani pasien monopolistik itu. Prinsip dasarnya sederhana: anda tidak ingin membuat diam monopolist; anda tidak ingin mendengar lebih sedikit dari pasien; bahkan anda ingin mendengar lebih banyak. Pendekatan yang kontradiktif ini akan difahami bila kita memahami bahwa dorongan bicara monopolist itu adalah untuk menyembunyikan dirinya. Isu-isu yang disajikan oleh monopolist kepada kelompok tidak mencerminkan kekhawatiran dalam dirinya tetapi dimaksudkan untuk menghibur diri, mendapatkan perhatian, untuk mendapatkan pembenaran atas tindakannya mengemukakan kedukaannya, dst.

    Penyebab perilaku monopolistik bervariasi dari pasien ke pasien. Ada individu yang berbicara demi mengontrol orang lain; banyak yang begitu takut dipengaruhi dan diserang oleh orang lain sehingga mereka mempertahankan setiap pernyataannya; yang lainnya menghargai gagasan dan pengamatannya sendiri secara berlebihan sehingga mereka tidak dapat menunda untuk mengekspresikan semua pemikirannya sesegera mungkin. Jauh lebih efektif jika terapis berkonsentrasi pada menifestasi diri monopolist dalam kelompok daripada respon kelompok terhadap perilakunya. Secara halus tetapi berulang-ulang pasien harus dikonfrontasi dengan paradox bahwa betapa pun besar keinginannya untuk diterima dan dihargai orang lain, perilakunya itu hanya akan menghasilkan kejengkelan, penolakan, dan frustrasi.

    Pasien Schizoid

    Pasien ini emosinya tersumbat, terisolasi, menjauh. Dia menginginkan terapi kelompok karena merasa bahwa ada sesuatu yang hilang. Dia tidak dapat merasa, tidak dapat tertawa, tidak dapat bermain, tidak dapat menangis. Dia adalah penonton bagi dirinya sendiri. Dia tidak merasakan tubuhnya sendiri, tidak mengalami pengalamanya sendiri.

    Respon anggota-anggota kelompoknya khas bergerak dari rasa ingin tahu dan keheranan ke rasa tidak percaya, kekhawatiran, jengkel, dan frustrasi.

    Pasien Pendiam(Silent Patient)

    Pasien pendiam dapat tertolong melalui pengamatan langsung untuk mengidentifikasi pasien lain, yang aktif, yang mempunyai masalah yang serupa dengan dirinya. Berbagai kasus menunjukkan bahwa perilaku pasien ini did luar kelompok akan berubah meskipun di dalam kelompok tidak menunjukkan perubahan.

    Terdapat konsensus di kalangan klinikus bahwa pasien pendiam ini tidak baik bila diikutsertakan dalam terapi jangka panjang. Semakin besar partisipasi verbal, akan semakin besar perasaan keterlibatan, dan akan semakin tinggi pula pasien itu dihargai oleh orang lain dan akhirnya oleh dirinya sendiri.

    Pasien dapat menjadi pendiam karena berbagai alasan. Ada yang merasa sangat takut untuk membuka diri: setiap ucapannya dikhawatirkan akan mengarah pada self-disclosure lebih jauh. Ada pula yang merasa begitu takut menjadi agresif sehingga setiap perkataanya dapat menimbulkan resiko yang tak mampu ditanggungnya. Pasien lain menginginkan kesempurnan sehingga takut berbuat salah jika berbicara. Ada pula yang menjaga jarak dari orang lain dan menunjukkan superioritasnya dengan berdiam diri. Pasien tertentu merasa sangat terancam dengan kehadiran orang tertentu dan hanya akan berbicara bila orang itu tidak ada. Yang lainnya hanya berpartisipasi dalam pertemuan-pertemuan yang lebih kecil atau pertemuan tanpa pimpinan. Beberapa terlalu takut menunjukkan kelemahanya dan berdiam diri agar tidak menjadi marah atau menangis. Ada pula yang berdiam diri sewaktu-waktu untuk menghukum orang lain atau untuk memaksa kelompok memperhatikannya.

    Poin yang penting adalah bahwa diam itu tidak pernah berarti sekedar diam melainkan merupakan suatu perilaku, dan seperti perilaku lainnya, diam juga memiliki makna, baik dalam kerangka here-and-now maupun sebagai sampel perwujudan caranya berhubungan dengan dunia interpersonalnya. Oleh karena itu, tugas terapis tidak hanya mengubah perilaku itu (yang esensial jika pasien itu menghendaki tetap berada dalam kelompok), tetapi juga untuk membantu pasien mendapatkan pengetahuan diri dari perilaku diamnya itu.

    Manajemen yang tepat sebagian tergantung pada dinamika perilaku diam itu, yang diketahui terapis dari wawancara individual pra-kelompok dan dari beberapa isyarat nonverbal yang ditunjukkannya maupun dari beberapa kontribusi verbalnya. Jalan tengah harus diambil antara menempatkan tekanan agar pasien lebih partisipatif dan, di pihak lain, memperbolehkannya memainkan peran pendiamnya. Terapis tetap dapat menunjukkan sikap yang memungkinkan pasien itu mengatur tingkat partisipasinya dan secara periodik melibatkan pasien itu dalam diskusi kelompok dengan mengomentari perilaku nonverbalnya. Ini dilakukan oleh terapis jika dengan isyarat, pasien menunjukkan minat, ketegangan, kesedihan, kebosanan, atau rasa lucu.


    Pasien yang membosankan (The Boring Patient)

    Pasien yang membosankan mengeluh bahwa mereka tidak pernah mempunyai sesuatu yang dapat diceritakan kepda orang lain; bahwa mereka sering ditinggalkan berdiri seorang diri dalam pesta-pesta; bahwa tidak ada lawan jenis yang mau pergi dengan mereka lebih dari satu kali; bahwa orang lain memanfaatkan mereka hanya untuk sex; bahwa mereka pemalu, kikuk dalam pergaulan, hampa, atau hambar.

    Dalam mikrokosme sosial kelompok terapi, mereka juga menciptakan situasi seperti ini dan membuat bosan anggota-anggota lain maupun terapis.

    Kebosanan merupakan pengalaman yang sangat individual. Tidak semua orang bosan dengan situasi yang sama, dan sulit untuk membuat generalisasi. Akan tetapi, pada umumnya, orang yang membosankan dalam kelompok terapi adalah orang yang sangat pemalu yang tidak memiliki spontanitas, tidak pernah mengambil resiko. Ucapan pasien yang membosankan selalu “aman” dan selalu dapat diprediksi.

    Dinamika penyebab sifat membosankan itu sangat bervariasi dari satu individu ke individu lain. Banyak yang berada pada posisi yang sangat berketergantungan sedemikian rupa sehingga sangat takut mengalami penolakan atau ditinggalkan sehingga mereka menjauhkan diri dari ucapan-ucapan agresif yang dapat menimbulkan pembalasan.


    Perlu diingat bahwa tugas terapis bukan menciptakan situasi yang menyenangkan bagi pasien, melainkan mencari tahu mengapa mereka telah meredam bagian-bagian dari kualitas dirinya yang kreatif, vital dan lincah, dan mendorong mereka untuk membiarkan terekspresikannya kualitas-kualitas ini, yang ada pada diri kita semua.


    Penolak Pertolongan dan Pengeluh (The Help-Rejecting Complainer)

    Penolak pertolongan dan pengeluh (the help-rejecting complainer) – yang selanjutnya disebut HRC – mempunyai pola perilaku yang khas dalam kelompok, yang secara implisit atau eksplisit selalu meminta pertolongan dari kelompok dengan menceritakan masalah atau keluhan, dan kemudian menolak setiap pertolongan yang ditawarkan. HRC terus-menerus membawa masalah lingkungan atau somatik ke dalam kelompok dan sering menggambarkannya dalam banyak cara sehingga tampak seperti tidak dapat teratasi. HRC tampaknya bangga dengan masalahnya yang tak dapat terpecahkan. Sering kali HRC memfokuskan perhatiannya pada terapis dalam upayanya untuk mendapatkan medikasi atau advis. HRC tampaknya tidak peduli akan reaksi kelompok terhadapnya dan tidak berkeberatan ditertawakan selama dia diperbolehkan terus mencari pertolongan. Dia mendasari hubungannya dengan anggota-anggota lain dengan dimensi tunggal bahwa dia lebih memerlukan pertolongan daripada mereka. HRC jarang menunjukkan sikap kompetitif kecuali jika orang lain meminta perhatian terapis atau kelompok dengan mengemukakan masalah. Pada titik ini, HRC sering berusaha mengecilkan keluhan orang lain dengan membandingkanya dengan masalahnya. HRC tampaknya sangat self-centered: dia hanya berbicara tentang dirinya sendiri dan masalahnya. Akan tetapi, masalahnya itu tidak terformulasikan secara jelas bagi kelompok maupun bagi dirinya sendiri; masalah itu dikaburkan oleh kecenderungannya untuk membesar-besarkannya dan menyalahkan orang lain, biasanya figur otoritas yang digantunginya.

    Dampak pada Kelompok
    Anggota-anggota lain menjadi bosan dan kesal, dan bingung.

    Dinamika
    Pola perilaku HRC tampaknya merupakan upaya untuk mengatasi perasaan yang sangat bertentangan tentang ketergantungan. Di satu pihak, pasien merasa tak berdaya, tak signifikan, dan sepenuhnya bergantung pada orang lain, terutama pada terapis, untuk perasaan personal worth. Perhatian dari terapis membuat dia merasa harga dirinya naik untuk sementara. Di pihak lain, HRC juga diselimuti oleh perasaan tidak percaya dan kebencian kepada figur otoritas. Hasilnya adalah lingkaran setan. Bila ada kebutuhan, HRC meminta bantuan kepada figur yang dia antisipasi sebagai tidak bersedia (atau tidak bisa) membantu. Antisipasi penolakan itu demikian mewarnai gayanya meminta bantuan sehingga ramalannya itu terbukti.

    Pedoman untuk Manajemen
    Seorang HRC yang parah merupakan tantangan klinis yang sangat berat. Merupakan kesalahan besar bagi terapis jika dia tidak dapat membedakan antara bantuan yang dimintanya dengan bantuan yang diperlukannya. HRC meminta bantuan bukan untuk menggunakannya tetapi untuk menolaknya. Akhirnya, advis, bimbingan dan medikasi dari terapis akan ditolak, dilupakan, atau, jika digunakan, akan terbukti tidak efektif atau, kalau efektif, akan dirahasiakannya. Juga akan merupakan kesalahan besar bagi terapis jika dia menunjukkan frustrasi atau kekesalan. Pembalasan dendam sekedar akan melengkapi lingkaran setan itu; antisipasi HRC tentang perlakuan buruk akan memberikan pembenaran untuk kemarahannya sendiri.

    Secara umum, terapis harus berusaha memobilisasi faktor-faktor terapeutik demi kebaikan pasien. Jika kelompok yang kohesif sudah terbentuk dan pasien – melalui universalitas, identifikasi, dan katarsis – sudah mampu menghargai keanggotaannya di dalam kelompok, maka terapis dapat mendorong interpersonal learning dengan terus-menerus memfokuskan pada umpan balik dan proses. Jika HRC sudah peduli dengan dampak interpersonalnya pada anggota-anggota lain, maka dia akan terbantu untuk mengenali karakteristik pola hubungannya dengan orang lain.

    Moralis yang Merasa Benar Sendiri (The Self-Righteous Moralist)

    Karakteristik yang paling menonjol dari seorang self-righteous moralist (SRM) adalah kebutuhan untuk selalu benar dan menunjukkan bahwa, khususnya bila melibatkan isu moral. SRM relatif tidak peduli apakah dia disukai atau dihormati; yang diinginkannya adalah selalu benar dan dihargai integritas moralnya dan berhasil memaksakan nilai-nilainya kepada orang lain.

    Dalam pertemuan pertama, SRM biasanya tampak tenang dan percaya diri untuk menunjukkan superioritasnya melalui sikap tenang. Pada awalnya dia berdiam diri hingga merasa jelas tentang posisi kelompok atau beberapa anggotanya. SRM kemudian biasanya menjadi figur kunci dalam diskusi karena intensitas pendiriannya dan kecenderungannya untuk mengelaborasi pandangannya tanpa kenal lelah. SRM tidak mau mengalah, mengakui kesalahan, ataupun mengubah formulasi yang sudah dikemukakannya. Bila orang lain mendiskusikan masalah, dia akan berpartisipasi demi menaikkan statusnya. SRM mungkin akan mengemukakan bahwa dia berhasil mengatasi stress yang lebih besar, bahwa dia selalu berhasil meskipun menghadapi banyak rintangan, dan bahwa solusi yang diambilnya dapat dipergunakan sebagai model bagi orang lain. Pada mulanya kelompok akan berempati ketika SRM mengemukakan masalahnya, tetapi empati itu segera berubah menjadi kekesalan ketika mereka menyadari bahwa kepentingan utama SRM adalah memperoleh posisi superioritas moral dan bukan untuk berbagi pengalaman. Jika seorang angota lain berusaha mendapatkan posisi superioritas dalam kelompok, SRM merasa tertantang dan melawannya dengan berusaha membuktikan bahwa orang itu salah. Terapis juga ditantangnya tetapi secara tidak langsung. SRM mungkin akan menyatakan keraguannya tentang terapi dan merujuk pada pendapat pakar lain dalam bidang ini atau mengutip pendapat pakar terkemuka dalam bidang lain. Bila sudah sangat terdesak, SRM mungkin akan menantang dan menyerang nilai moral terapis.

    Salah satu konsep kunci dalam dinamika dan perlakuan untuk SRM adalah perasaan malu. Pasien ini sudah melakukan hal yang “benar” dalam hidup, telah berjuang dan menderita, tetapi hanya sedikit memperoleh keberhasilan atau pengakuan. Dalam upayanya mengatasi rasa malu itu, individu ini berusaha mendapatkan pengakuan dalam ketinggian nilai karakternya, bukan untuk pencapaiannya. Jika kelompok dapat dibantu untuk memahami perasaan malu yang mendasari polemik pasien yang marah dan merasa selalu benar sendiri itu, maka respon mereka kepadanya akan konstruktif.

    Pasien Psikotik

    Kelompok terapi sangat tertantang apabila seorang anggotanya mengembangkan psikosis pada masa treatment. Nasib pasien psikotik, respon anggota-anggota lain, dan opsi perlakuan efektif yang dapat dipergunakan oleh terapis, sebagian tergantung pada kapan psikosis itu terjadi dalam riwayat perkembangan kelompok itu. Pada umumnya, dalam sebuah kelompok yang sudah berjalan lama dan sudah matang di mana pasien psikotik itu telah memegang peran sentral yang dihargai, para anggota kelompok itu cenderung lebih toleran dan efektif dalam krisis ini.

    Bahaya bagi kelompok terjadi bila pasien psikotik itu menyita banyak energi untuk waktu yang berkepanjangan. Maka mungkin akan ada anggota yang drop out, dan kelompok itu mungkin akan menghadapi pasien yang terganggu itu secara enggan atau berusaha mengabaikannya. Kesemuanya ini dapat memperburuk masalah. Akan tetapi, dalam hal ini pun kelompok sebaiknya mengeksplorasi implikasinya secara seksama dan dilibatkan dalam pembuatan keputusan.

    Pasien Narsisistik (The Narcissistic Patient)

    Narsisisme (mencintai diri sendiri) yang berlebihan adalah rasa cinta pada diri sendiri dengan mengesampingkan orang lain, tidak mampu melihat fakta bahwa orang lain adalah makhluk yang berperasaan, bahwa orang lain juga memiliki ego, yang masing-masing membangun dan mengalami dunianya sendiri yang unik. Secara singkat, narsisis adalah orang yang memandang bahwa dunia dan individu lain hanya ada untuk dirinya. Pasien narsisistik pada umumnya lebih heboh tetapi lebih produktif dalam terapi kelompok daripada dalam terapi individual. Dalam terapi kelompok, pasien diharapkan berbagi waktu, memahami, berempati dan membantu pasien lain, membangun hubungan, memperhatikan perasaan orang lain, menerima umpan balik yang mungkin kritis. Sering kali pasien narsisistik merasa hidup bila sedang mendapatkan giliran: mereka menilai kebermanfaatan kelompok bagi dirinya berdasarkan berapa menit waktu kelompok dan terapis yang didapatkannya dalam sebuah pertemuan. Mereka menjaga kuat kekhususanya dan sering kali berkeberatan bila ada orang yang menunjukkan persamaan antara diri mereka dengan anggota lain. Untuk alasan yang sama, mereka juga berkeberatan bila diikutsertakan dengan anggota lain dalam interpretasi kelompok massa.

    Beberapa pasien narsisistik yang mempunyai perasaan kekhususan yang mendalam merasa bahwa mereka tidak hanya patut mendapatkan perhatian kelompok, tetapi juga bahwa perhatian tersebut seharusnya mereka dapatkan tanpa usaha.

    Gangguan Kepribadian Narsisistik (Narcissistic Personality Disorder)
    “Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders” dari The American Psychiatric Association (DSM-III) tahun 1980 memberikan kriteria deskriptif tentang pasien yang mengalami narcistic personality disorder sebagai berikut: memiliki perasaan self-importance yang berlebihan; suka berfantasi mencapai keberhasilan tak terbatas; menuntut perhatian dan kekaguman yang terus-menerus; sangat peka terhadap kritikan, acuh tak acuh, atau menjadi marah jika mengalami kekalahan, inferioritas, merasa malu atau hampa, dan mengalami sekurang-kurangnya dua dari gangguan-gangguan interpersonal berikut ini: merasa memiliki hak istimewa, eksploitatif interpersonal, berganti-ganti antara overidealisasi dan devaluasi, dan tidak memiliki empati. Otto Kernberg menambahkan bahwa individu ini mempunyai kehidupan emosional yang dangkal, memperoleh sedikit saja kesenangan hidup; ingin selalu diberi tetapi tidak menghargai pemberian yang diterimanya.

    Terapi kelompok juga efektif untuk membantu individu seperti ini.

    Pasien Ambang Batas (The Borderline Patient)

    DSM-III mengemukakan bahwa lima dari delapan kriteria berikut ini harus ada pada individu yang didiagnosis sebagai mengalami borderline personality disorder:
    1. Dorongan untuk merusak diri atau tidak dapat diprediksi. (misalnya penyalahgunaan narkoba, mengutil, makan berlebihan, melukai diri sendiri);
    2. Hubungan interpersonal yang tidak stabil dan ekstrim (misalnya idealisasi, devaluasi, manipulasi, sikap yang sangat berubah-ubah);
    3. Marah yang tidak sepatutnya atau tidak dapat mengontrol marah;
    4. Gangguan identitas yang dimanifestasikan dengan ketidakpastian mengenai hal-hal seperti citra diri, identitas gender nilai, pilihan karir, loyalitas;
    5. Instabilitas suasana hati (berubah-ubah secara radikal dari suasana hati normal ke depresi, kekesalan atau kecemasan yang biasanya berlangsung selama beberapa jam dan hanya beberapa hari);
    6. Tidak mau dibiarkan seorang diri;
    7. Melakukan tindakan-tindakan merusak fisik diri sendiri (isyarat bunuh diri, kecelakaan yang berulang-ulang, atau berkelahi);
    8. Perasaan hampa atau bosan yang kronis.

    Salah satu keuntungan utama dari terapi kelompok bagi pasien seperti ini adalah teknik uji realita yang diberikan melalui umpan balik dan observasi dari anggota-anggota kelompok.

    Keuntungan lainnya adalah identifikasi. Dia berkesempatan untuk mengidentifikasi perilaku yang baik dan menirunya.

    Faktor terapeutik kohesivitas sangat penting untuk menterapi masalah hubungan interpersonalnya.
    BAB 14
    TEKNIK TERAPIS: FORMAT KHUSUS

    Format standar terapi kelompok adalah enam hingga delapan pasien dipimpin oleh seorang terapis. Format lainnya adalah terapi kelompok dan terapi individual berjalan berbarengan, terapis dibantu oleh ko-terapis, dan kadang-kadang kelompok berjalan tanpa terapis.

    Terapi Individual dan Terapi Kelompok Berjalan Bareng
    Terapi individual dan terapi kelompok untuk pasien yang sama itu baik untuk dilaksanakan secara berbarengan hanya untuk kasus-kasus tertentu. Misalnya, pasien yang mengalami krisis kehidupan yang parah mungkin membutuhkan bantuan individual temporer di samping terapi kelompok.

    Terapi individual yang berbarengan dengan terapi kelompok dapat memperumit kehidupan kelompok terapi dalam beberapa hal. Bila terdapat perbedaan besar dalam pendekatan dasar yang dipergunakan oleh terapis individual dan terapis kelompok, kedua jenis terapi ini bisa berjalan dengan tujuan yang berseberangan. Misalnya, jika pendekatan individual itu diorientasikan pada untuk memahami penyebab genetik dan secara mendalam mengupas pengalaman-pengalaman masa lampau, sedangkan pendekatan kelompok difokuskan pada kehidupan here - and-now, maka pasien kemungkinan akan menjadi bingung dan menilai satu pendekatan berdasarkan pendekatan lainnya.

    Komplikasi lainnya timbul bila pasien menggunakan terapi individual untuk memanfaatkan dampak terapi kelompok. Pasien itu mungkin akan berinteraksi seperti sepon dalam kelompok, mendapat umpan balik dari kelompok tetapi mereaksinya dalam jam terapi individual. Satu bentuk resistensi yang umum yang terkait dengan pola ini adalah rasionalisasi altruistik: "Saya akan membiarkan orang lain menggunakan waktu kelompok karena saya punya waktu sendiri”. Bila pola ini sudah tampak, terapis kelompok, berkolaborasi dengan terapis individual, dapat meminta pasien untuk memilih salah satu, meninggalkan terapi kelompok atau terapi individual.

    Terapi individual dan terapi kelompok dapat saling melengkapi jika kedua kondisi berikut ini dipenuhi. Pertama, terapis individual dan terapis kelompok harus sering berkomunikasi, dan pasien harus diberi tahu bahwa kedua terapis ini akan saling berbagi informasi. Kedua, terapi individual harus mendukung pendekatan kelompok dengan menggunakan orientasi here-and-now dan dengan menyediakan waktu untuk secara mendalam mengeksplorasi perasaan pasien terhadap anggota kelompok dan terhadap peristiwa-peristiwa dan tema yang sedang dibahas dalam pertemuan kelompok yang tengah berjalan.

    Beberapa komplikasi potensial tersebut dapat dihindari jika terapis kelompok juga berfungsi sebagai terapis individual. Dengan demikian, terapis dapat menentukan jenis terapi individual yang dilaksanakannya. Di samping itu, kelompok di mana semua anggotanya juga mengikuti terapi individual dengan terapis kelompoknya pada umumnya stabil, dengan hanya sedikit drop out. Namun demikian, format ini pun ada komplikasinya. Terapis dapat dibingungkan dengan masalah konfidensialitas: menjadi lebih sulit untuk mengingat siapa yang mengatakan apa dalam setting yang mana. Bolehkah terapis itu mengulangi dalam kelompok hal-hal intim yang diungkapkan dalam sesi individual? Sebagai aturan umum, tidak dibenarkan membuat kontrak tentang konfidensialitas mengenai sesi individual; terapis harus mempertahankan haknya untuk mengungkap materi individual dalam kelompok, berdasarkan pertimbangan profesionalnya.

    Ko-terapis
    Sebagian besar terapis lebih suka bekerjasama dengan ko-terapis. Apakah dia bekerja sendiri atau dengan ko-terapis, ada keuntungan dan kelemahanya.

    Keuntungannya adalah sebagai berikut. Terapis dan ko-terapis saling melengkapi dan saling mendukung. Secara bersama-sama, kisaran kognitif dan pengamatannya lebih luas. Sudut pandang kedua terapis ini dapat membangkitkan lebih banyak inspirasi dan strategi.

    Sebagian besar tim ko-terapi berbagi peran: satu terapis berperan sebagai provokator sedangkan yang lainnya berperan suportif dan berfungsi sebagai pencipta harmoni dalam kelompok. Tim yang terdiri dari terapis perempuan dan laki-laki mempunyai beberapa keuntungan tambahan. Mereka dapat menciptakan citra kelompok sebagai sebuah keluarga.

    Kelemahan format ko-terapis ini muncul dari masalah hubungan di antara kedua terapis itu. Penting bagi kedua terapis ini untuk merasa saling nyaman dan saling terbuka. Mereka harus belajar memanfaatkan kelebihan masing-masing: yang satu mungkin lebih mampu memberikan asuhan dan dukungan; yang lainnya mungkin lebih baik dalam mengkonfrontasi dan mentoleransi kemarahan.

    Penting bagi kedua terapis ini untuk menggunakan bahasa profesional yang sama. Sebuah survey terhadap 42 tim ko-terapi mengungkapkan bahwa sumber ketidakpuasan yang paling umum adalah bahwa mereka menganut orientasi teoretik yang berbeda.

    Kelompok Tanpa Pimpinan
    Kelompok tak berpemimpin telah dipergunakan dalam psikoterapi kelompok dalam dua bentuk utama: (1) Pertemuan tak berpemimpin yang diadakan sewaktu-waktu ataupun dijadwalkan secara berkala yang berfungsi sebagai pelengkap bagi bentuk terapi kelompok tradisional. Pertemuan seperti ini dikenal dengan istilah alternate session. (2) Kelompok self-directed – yaitu sebuah kelompok yang selamanya diselenggarakan tanpa seorang pemimpin tertentu.

    Alternate session mempunyai dua tujuan utama: untuk mempertinggi rasa tanggung jawab kelompok dan tanggung jawab pribadi dan otonomi, dan untuk mempercepat munculnya beberapa tema penting untuk dibahas lebih lanjut dengan bantuan terapis. Kelompok self-directed beroperasi berdasarkan prinsip lain: daya penyembuh utama terdapat dalam kelompok dan dapat dibangkitkan dan dimanfaatkan tanpa kehadiran seorang pemimpin formal.

    Meskipun sejumlah pasien menyambut kehadiran kelompok tak berpemimpin ini, tetapi sebagian besar pasien menyatakan kekhawatiran-kekhawatiran berikut.
    1) Kelompok ini dapat menyimpang dari tugas-tugas utamanya.
    2) Kelompok ini dapat kehilangan kontrol emosi.
    3) Kelompok ini tidak dapat mengintegrasikan bermacam-macam pengalaman dan memanfaatkannya secara konstruktif.

    Jika sebuah pertemuan tak berpemimpin dikehendaki menjadi pengalaman yang konstruktif, prediksi pasien yang tidak realistis tentang ketidakberdayaannya sendiri tidak boleh terealisasi. Pemilihan waktu yang tepat sangat penting. Sebelum menyarankan diadakannya alternate session, terapis harus merasa yakin bahwa kelompok terapi itu sudah mengembangkan kohesivitas dan menetapkan norma-norma yang produktif.


    BAB 15
    KELOMPOK TERAPI TERSPESIALISASI

    Metode terapi kelompok telah terbukti efektif dalam berbagai macam setting klinis sehingga telah dikembangkan berbagai macam metode terapi kelompok yang dirancang khusus untuk berbagai macam kelompok dengan masalah tertentu atau populasi tertentu. Ada terapi kelompok untuk pasien bunuh diri, untuk manula, untuk anak pasien Alzheimer's, alkoholik, anak dari orang tua alkoholik, ibu dari pecandu narkoba, keluarga dari pengidap sakit mental, ayah dari anak nakal, anak dari korban bencana, pasien renal dialysis, pasien dengan multiple sclerosis, leukemia, asthma, anemia, kanker, tunarungu, agoraphobia, tunagrahita, transexualisme, bulimia, amputee, paraplegia, pasien yang akan meninggal, perempuan non-orgasmik, mahasiswa putus kuliah, pasien stroke, orang tua yang mengadopsi, pasien dengan kebutaan akibat diabetes, pasien dalam krisis, pasien rawat jalan, pasien putus asa, pasca perceraian, dan masih banyak lagi.

    Sebelum melangkah ke terapi-terapi yang terspesialisasi ini, terlebih dahulu mahasiswa perlu menguasai dasar-dasar teori terapi kelompok dan kemudian memperoleh pemahaman yang mendalam tentang prototipe kelompok terapi. Setelah mengenal fondasi terapi kelompok, mahasiswa akan siap untuk langkah berikutnya, yaitu pengadaptasian prinsip-prinsip dasar terapi kelompok pada suatu situasi klinis tertentu.

    Untuk mengembangkan kelompok terapi yang terspesialisasi, direkomendasikan langkah-langkah berikut.
    1. Asesmen setting klinis: menentukan kendala-kendala klinis yang tidak dapat dihindari.
    2. Perumusan tujuan: mengembangkan tujuan yang tepat dan dapat dicapai dengan memperhitungkan kendala-kendala klinis tersebut.
    3. Modifikasi teknik tradisional. Mempertahankan prinsip-prinsip dasar dan faktor-faktor terapeutik dari terapi kelompok tetapi menyesuaikan tekniknya dengan situasi klinis dan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

    Asesmen Situasi Klinis
    Penting menelaah secara seksama semua fakta klinis dari kehidupan yang akan diintervensi dalam kelompok terapi. Bedakan secara cermat antara faktor-faktor penghambat intrinsik dengan faktor-faktor ekstrinsik tradisional. Faktor-faktor intrinsik (misalnya kewajiban hadir bagi pasien dalam masa percobaan pembebasan dari hukuman, atau durasi treatment kelompok dalam kelompok pasien kanker rawat inap di rumah sakit) termasuk ke dalam situasi klinis yang tidak dapat diubah. Terapis harus beradaptasi dengan faktor ini. Faktor ekstrinsik (faktor-faktor yang sudah menjadi tradisi atau "kebijakan ") bersifat arbitrer dan dapat diubah oleh terapis.

    Perumusan Tujuan
    Perumusan tujuan harus disesuaikan dengan situasi klinis yang ada dan dapat dicapai dalam jangka waktu yang tersedia. Tujuan itu harus jelas, tidak hanya bagi terapis tetapi juga bagi pasien. Dalam kelompok yang terspesialisasi dan dalam waktu yang terbatas, tujuan itu harus terbatas juga, dapat dicapai dan disesuaikan dengan kapasitas anggota kelompok.

    Modifikasi Teknik
    Pada fase ini, penting untuk mempertimbangkan faktor-faktor terapeutik dan menentukan faktor mana yang memainkan peran terbesar dalam pencapaian tujuan. Ini merupakan fase eksperimentasi yang disiplin di mana anda mengubah teknik, gaya, dan jika perlu, the basic bentuk dasar kelompok untuk diadaptasikan dengan situasi klinis dan dengan tujuan terapi yang sudah dirumuskan.


    BAB 16
    Terapi kelompok dan ENCOUNTER GROUP

    Encounter group merupakan istilah generik yang mencakup banyak sekali bentuk kelompok pertemuan. Nama-nama lain dari encounter group antara lain: human relations groups, training groups, T-groups, sensitivity groups, personal growth groups, marathon groups, human potential groups, sensory awareness groups, basic encounter groups, truth labs, experiential groups, confrontation groups, dll.

    Kelompok-kelompok tersebut memiliki kesamaan karakteristik. Kelompok-kelompok ini terdiri dari eight hingga twenty anggota – cukup besar untuk mendorong interaksi tatap muka, tetapi juga cukup kecil untuk memungkinkan semua anggota berinteraksi. Kelompok-kelompok ini pada umumnya dibatasi waktunya, sering kali dipadatkan menjadi beberapa jam atau beberapa hari. Pada umumnya fokusnya adalah here-and-now; mementingkan etiket dan menjunjung nilai-nilai sosial. Kelompok-kelompok ini menghargai kejujuran interpersonal, eksplorasi konfrontasi, ekspresi emosi, dan self-disclosure. Tujuan kelompok sering kali tidak begitu jelas. Kadang-kadang kelompok-kelompok ini sekedar menekankan diperolehnya kesenangan pengalaman, hiburan; tetapi lebih sering secara implisit ataupun eksplisit berusaha membuat perubahan – dalam perilaku, sikap, nilai-nilai, gaya hidup, dalam tingkat aktualisasi diri; atau dalam hubungan dengan orang lain, dengan alam, dengan wujud jasmaniah sendiri; atau perubahan dalam cara mengarungi dunia ini. Partisipannya tidak disebut “pasien”, dan pengalamannya tidak dipandang sebagai terapi melainkan "pertumbuhan”.

    Istilah encounter group diperkenalkan oleh Carl Rogers pada pertengahan tahun 1960-an. Istilah yang paling umum sebelum itu adalah T-group ("T" adalah singkatan untuk "training in human relations"). Kelompok pertama diselenggarakan pada tahun 1946, dirancang oleh Kurt Lewin untuk melatih para pimpinan agar efektif dalam mengatasi ketegangan antar-kelompok.

    Pada awalnya the T-group dimaksudkan sebagai upaya pendidikan dalam bidang hubungan antar-manusia dan bukan upaya psikoterapeutik. Akan tetapi, lambat-laun, pada tahun 1950-an dan 1960-an, pelatihan ini bergeser penekananya dari sosiologi dan pendidikan ke terapi. Para klinikus Rogerian dan Freudian menjadi terlibat dalam kegiatan ini, dan bahasanya pun lambat-laun bergeser dari bahasa sosiologis dan sosiopsikologis menjadi lebih klinis. Kemudian sedikit demi sedikit, T-group bergerak ke arah yang semakin menekankan interaksi interpersonal.

    Persamaan dan Perbedaan antara Kelompok Terapi dan Encounter Group

    Setting
    Encounter group berbeda dengan kelompok terapi dalam jumlah anggotanya, durasi dan setting fisiknya. Pada umumnya encounter group terdiri dari 10 hingga 16 anggota yang tidak saling mengenal atau kolega kerja. Kadang-kadang encounter group bertemu sebagai bagian dari laboraturium human relationship yang lebih besar yang berlangsung selama satu hingga dua minggu. Dalam setting ini, kelompok bertemu dalam sesi dua hingga tiga jam, satu atau dua kali sehari. Para anggotanya biasanya selalu bersama-sama sepanjang hari, dan agenda kelompok ini dapat mencakup kegiatan-kegiatan lain. Sering kali encounter group bertemu dalam sesi yang lebih pendek untuk jangka waktu yang lebih panjang seperti kelompok terapi. Akan tetapi, encounter group hampir selalu lebih pendek umurnya.

    Tidak seperti kelompok terapi, suasana encounter group itu informal dan gembira. Lingkungan fisiknya lebih menyerupai tempat wisata dan tempat untuk bersenang-senang.

    Peran Pemimpin
    Pada umumnya terdapat kesenjangan yang lebih besar antara pemimpin dan anggota dalam kelompok terapi daripada dalam encounter group. Ini disebabkan oleh adanya perbedaan dalam perilaku pemimpinnya dan karakteristik anggotanya. Meskipun pada umumnya anggota encounter group mungkin sangat menghargai pemimpinya, tetapi mereka memandangnya secara lebih realistis daripada pasien dalam kelompok terapi. Anggota encounter group, sebagian karena rasa harga dirinya lebih tinggi dan juga karena mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk bersosialisasi pemimpinnya di luar sesi, mereka mempersepsi pemimpin itu sebagai setara dengan mereka sendiri, kecuali bahwa pemimpin itu memiliki keterampilan dan pengetahuan yang lebih baik dalam bidangnya. Akhirnya, pemimpin itu menjadi partisipan seperti anggota-anggota yang lain, meskipun keahliannya tetap dihargai.

    Sebagian dari tugas pemimpin encounter group adalah menularkan pengetahuan dan keterampilannya. Dia mengharapkan para anggota belajar metode mendiagnosis dan memecahkan masalah-masalah interpersonal. Sering kali pemimpin secara eksplisit berlaku sebagai seorang guru. Banyak anggota encounter group yang kemudian melanjutkan studinya dalam bidang human relationship education dan akhirnya mereka sendiri menjadi pemimpin.

    Terapis kelompok dipandang secara tidak realistis oleh para anggotanya. Ini sebagian karena terapis sengaja menunjukkan perilaku yang tidak mudah dimengerti sehingga menimbulkan distorsi. Terapis mempunyai aturan main yang sangat berbeda dengan para anggotanya. Dia jarang transparan atau membuka diri, dan biasanya menampilkan diri sebagai profesional.

    Lebih jauh, terapis tidak berkepentingan untuk mengajarkan keterampilannya kepada anggota kelompok. Jarang sekali seorang anggota kelompok terapi menggunakan pengalamannya dalam kelompok ini sebagai dasar untuk mengembangkan karir sebagai terapis.


    Sebagian besar perbedan antara kelompok terapi dan encounter group diakibatkan oleh perbedaan dalam komposisinya. Encounter group pada umumnya beranggotakan individu-individu yang memiliki keberfungsian yang baik, yang menginginkan peningkatan dalam kompetensi dan pertumbuhannya. Di pihak lain, kelompok terapi mempunyai populasi yang terdiri dari individu-individu yang tidak mampu mengatasi stress dalam kehidupan sehari-hari tanpa kepahitan. Mereka ingin melepaskan diri dari kecemasan depresi, atau eksistensi intrapersonal dan interpersonalnya yang steril dan tidak memuaskan.

    Salah satu tugas dasar encounter group, yaitu menumbuhkan kompetensi interpersonal, menuntut tingkat keterampilan interpersonal yang tidak dimiliki oleh sebagian besar pasien psikiatrik. Pemimpin encounter group biasanya membuat asumsi-asumsi tertentu tentang anggota-anggota kelompoknya: mereka harus mampu mengirim dan menerima komunikasi tentang perilakunya sendiri serta perilaku anggota-anggota lain dengan distorsi minimum; jika ingin menyampaikan informasi yang akurat dan menerima umpan balik yang tepat, mereka harus memiliki kesadaran diri dan penerimaan diri pada tingkat yang relatif tinggi. Lebih jauh, partisipan harus menginginkan perubahan. Mereka harus memiliki niat baik dan konstruktif dalam hubungannya dengan anggota-anggota lain dan harus percaya akan sikap konstruktif yang fundamental dari pihak lain jika menghendaki terbentuknya kelompok yang kohesif dan saling percaya. Setelah menerima umpan balik, mereka harus mau mempertanyakan kebenaran keyakinannya sebelumnya tentang dirinya sendiri, untuk bereksperimen dengan sikap dan perilaku baru, dan untuk mentransfer apa yang sudah dipelajarinya itu pada kegiatan kehidupannya sehari-hari. Prasyarat intrapersonal dan interpersonal ini merupakan atribut-atribut yang sama sekali tidak ada pada pasien psikiatrik, yang pada umumnya memiliki tingkat self-esteem dan kesadaran diri yang rendah.


    BAB 17
    PENDIDIKAN TERAPIS KELOMPOK

    Dalam bab ini dibahas pendidikan terapi kelompok, tidak hanya dalam hal-hal yang spesifik terkait dengan kurikulum pendidikannya tetapi juga pertimbangan-pertimbangan umum mengenai landasan pilosofis pendidikan itu.

    Komponen-komponen esensial minimum dari program pendidikan terapis kelompok mencakup pengalaman observasi terhadap klinikus yang berpengalaman, supervisi terapi kelompok, partisipasi kelompok eksperiensal, dan terapi personal. Di samping itu, mahasiswa juga harus memperoleh materi dalam bidang klinis umum seperti teknik wawancara, psikopatologi, teori kepribadian, dan bentuk-bentuk psikoterapi lainnya. Urutan pengalaman pendidikan terapi kelompok tergantung pada karakteristik struktural lembaga pendidikan yang bersangkutan. Akan tetapi, sebaiknya observasi, terapi personal, dan kelompok eksperiensal diberikan di awal program pendidikan, dan diikuti dengan pembentukan kelompok dan supervisi. Sebaiknya para mahasiswa mendapatkan pengalaman klinis dengan kelompok dasar dan dinamika interaksi dalam kelompok pasien nonpsikotik yang bermotivasi tinggi sebelum mereka mulai dengan kelompok untuk populasi pasien yang sangat spesifik atau dengan pendekatan terapi yang terspesialisasi.

    Pendidikan merupakan proses seumur hidup. Oleh karena itu, penting bagi para klinikus untuk terus mengadakan kontak dengan kolega, baik secara informal maupun melalui organisasi profesi. Agar peertumbuhan berjalan terus, dibutuhkan masukan yang kontinyu.

    Program pendidikan terapi kelompok tidak hanya bertugas mengajari mahasiswa tentang cara berbuat tetapi juga cara belajar. Apa yang tidak boleh disampaikan oleh para pendidik adalah kepastian yang kaku dalam teknik maupun dalam asumsi mendasar tentang perubahan terapeutik: bidang ini masih terlalu muda dan masih berkembang terus. Oleh karena itu, sangat penting mengajarkan metodologi dan orientasi penelitian kepada para mahasiswa.

    Kita perlu membantu mahasiswa mengevaluasi pekerjaannya sendiri secara kritis dan mempertahankan fleksibilitas yang memadai (baik secara teknis maupun sikap) sehingga mereka dapat responsif terhadap pengamatannya sendiri. Seorang terapis yang matang adalah seorang terapis yang berkembang terus, seorang terapis yang memandang setiap pasien, setiap kelompok, dan keseluruhan karirnya sebagai sebuah pengalaman belajar.

    Sama pentingnya untuk melatih para mahasiswa untuk mengevaluasi penelitian terapi kelompok yang sistematis dan, jika dipandang perlu, mengadaptasikan kesimpulan penelitian itu pada pekerjaan klinisnya. Meskipun hanya sedikit klinikus yang memiliki cukup waktu, pendanaan, dan dukungan kelembagaan untuk terlibat dalam penelitian berskala besar, tetapi banyak klinikus dapat melakukan penelitian yang intensif terhadap pasien tunggal atau kelompok tunggal, dan semua klinikus harus melibatkan diri dalam penelitian klinis.

    Penting bagi para klinikus maupun peneliti untuk mengenali keterbatasan pendekatan tradisional baku (nomothetic) terhadap outcome. Satu alternatifnya adalah pendekatan individual yang intensif (ideographic) terhadap outcome. Sejumlah peneliti klinis telah menunjukkan kelayakan individualized outcome scale untuk masing-masing pasien.

    Kita tidak hanya harus mengubah strategi umum outcome assessment, tetapi kriteria untuk outcome itu juga harus direformulasi. Mungkin merupakan suatu kesalahan apabila kita menggunakan kriteria yang dirancang untuk outcome terapi individual dalam penelitian terapi kelompok. Meskipun terapi kelompok dan terapi individual secara umum mungkin ekuivalen dalam keefektifannya, tetapi masing-masing modalitas ini mungkin mempunyai dampak yang berbeda terhadap variabel-variabel tertentu dan memiliki jenis outcome yang berbeda pula. Misalnya, lulusan pendidikan terapi kelompok mungkin lebih terampil secara interpersonal, cenderung lebih afiliatif dalam dalam saat-saat stress, lebih kapabel dalam menciptakan hubungan yang bermakna, atau lebih empatik, sedangkan pasien terapi individual mungkin lebih swasembada lebih introspektif, dan lebih dapat memahami inner processes. Selama bertahun-tahun, terapis kelompok telah memandang terapi sebagai laboratorium kehidupan yang multidimensional, maka kini sudah saatnya untuk mengakui faktor ini dalam penelitian tentang outcome.


    REVIU

    Buku Yalom ini bukan hanya sebuah masterpiece dalam bidang terapi kelompok, tetapi juga merupakan sebuah tour de force yang membahas segala sesuatu yang ingin anda ketahui tentang psikoterapi kelompok. Komprehensif tanpa menunjukkan keangkuhan, cermat tanpa menjadi terlalu bertele-tele, Yalom seolah-olah meletakkan proses kelompok di bawah kaca pembesar: bahasa dan konseptualisasinya sangat jelas dan mudah difahami, dan dengan lembut membimbing mahasiswa melewati setiap rincian dan nuansa kerja kelompok. Yalom tidak hanya menunjukkan bagaimana dan mengapa kelompok berperilaku dan berfungsi, tetapi juga memperlihatkan hakikat mendasar manusia.

    Meskipun Yalom mengatakan bahwa bidang terapi kelompok masih sangat muda dan terus berkembang, tetapi tampaknya teknik-tekniknya dan konsep-konsepnya tidak (atau belum) usang dimakan waktu; bahkan sekitar 20 tahun setelah buku ini pertama kali diterbitkan, Yalom masih banyak dikutip atau dirujuk oleh banyak penulis lain.

    Salah satu kontribusi terbesar dari Yalom adalah keefektifan penggunaan pendekatan kelompok untuk menunjukkan secara tepat kepada pasien bagaimana mereka menyebabkan kesulitan pada dirinya sendiri — dengan menciptakan suasana kelompok di mana anggota mempertunjukkan keterampilan sosialnya yang buruk, dan memperoleh dampak yang kuat dari umpan balik dari anggota-anggota lain terhadap penampilannya itu. Dia melakukannya sedemikian rupa sehingga tetap menunjukkan empati yang tulus dalam tindakan: dengan mengarahkan para anggota untuk mengidentifikasi (dan berempati) tidak hanya terhadap kepedihan masing-masing tetapi juga terhadap kekuatan masing-masing. Dia mengajarkan simpati tanpa menutup-nutupi kelemahan, simpati dengan keyakinan akan kekuatan sendiri dan kesadaran akan kelemahan yang harus dikikis; dia memberikan penghargaan agar orang dapat menghargai dirinya sendiri. Inilah empati, dan inilah yang memberdayakan angota kelompok untuk mengatasi permasalahannya. Dan kebenaran seperti ini tidak akan usang dimakan waktu.

    Yalom menunjukkan wawasan yang luas tentang hakikat manusia serta komponen-komponen penyembuh dari metode terapinya. Untuk dapat mengapresiasi buku ini sepenuhnya, kita harus terlebih dahulu menerima ideologi eksistensialisme karena konseptualisasi dan metodologinya dibangun atas dasar premis teori tersebut. Eksistensialisme mengajari orang untuk menerima realita dan hidup dalam relita. Buku ini menggunakan konsep yang penting ini dan mengaplikasikanya dalam terapi kelompok secara sangat praktis.

    Buku ini merupakan pedoman yang universal dan sangat penting bagi mereka yang mempraktekkan terapi kelompok jangka panjang. Konsep-konsep yang dibahasnya diilustrasikan dengan studi kasus yang sangat menarik, yang membuat buku ini semakin tampak praktis.

    Labels:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke DAFTAR ISI