DOCTYPE html PUBLIC "-//W3C//DTD XHTML 1.0 Strict//EN" "http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-strict.dtd"> Didi Tarsidi: Counseling, Blindness and Inclusive Education: Dampak Ketunanetraan terhadap Fungsi Kognitif Anak
  • HOME


  • Guestbook -- Buku Tamu



    Anda adalah pengunjung ke

    Silakan isi Buku Tamu Saya. Terima kasih banyak.
  • Lihat Buku Tamu


  • Comment

    Jika anda ingin meninggalkan pesan atau komentar,
    atau ingin mengajukan pertanyaan yang memerlukan respon saya,
    silakan klik
  • Komentar dan Pertanyaan Anda




  • Contents

    Untuk menampilkan daftar lengkap isi blog ini, silakan klik
  • Contents -- Daftar Isi




  • Izin

    Anda boleh mengutip artikel-artikel di blog ini asalkan anda mencantumkan nama penulisnya dan alamat blog ini sebagai sumber referensi.


    03 January 2008

    Dampak Ketunanetraan terhadap Fungsi Kognitif Anak

    Oleh Didi Tarsidi
    Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

    Kognisi adalah persepsi individu tentang orang lain dan obyek-obyek yang diorganisasikannya secara selektif. Respon individu terhadap orang dan obyek tergantung pada bagaimana orang dan obyek tersebut tampak dalam dunia kognitifnya, dan citra atau "peta" dunia setiap orang itu bersifat individual. Setiap orang mempunyai citra dunianya masing-masing karena citra tersebut merupakan produk yang ditentukan oleh faktor-faktor berikut: (1) lingkungan fisik dan sosialnya, (2) struktur fisiologisnya, (3) keinginan dan tujuannya, dan (4) pengalaman-pengalaman masa lalunya (Krech, Crutchfield, & Ballachey, 1982). Lebih jauh Krech et al. mengemukakan bahwa meskipun tidak ada dua orang yang memiliki konsepsi yang persis sama mengenai dunia ini, tetapi terdapat banyak fitur yang sama dalam citra semua orang mengenai dunia ini. Hal ini terjadi karena semua orang mempunyai sistem syaraf yang serupa, karena semua orang menggunakan "ungkapan rasa" tertentu secara sama, dan karena semua orang harus menghadapi persoalan tertentu yang mirip. Dunia kognitif anggota suatu kelompok budaya tertentu bahkan memiliki tingkat kesamaan yang lebih besar karena adanya tingkat kesamaan yang lebih besar dalam keinginan dan tujuannya, dalam lingkungan fisik dan sosialnya, dan dalam pengalaman belajarnya.

    Dari keempat faktor yang menentukan kognisi individu sebagaimana dikemukakan oleh Krech et al. di atas, individu tunanetra menyandang kelainan dalam struktur fisiologisnya, dan mereka harus menggantikan fungsi indera penglihatan dengan indera-indera lainnya untuk mempersepsi lingkunganya. Banyak di antara mereka tidak pernah mempunyai pengalaman visual, sehingga konsepsi mereka tentang dunia ini sejauh tertentu mungkin berbeda dari konsepsi orang awas pada umumnya.

    Perbedaan penting antara perkembangan konsep anak tunanetra dan anak awas – khususnya untuk konsep obyek fisik - adalah bahwa anak tunanetra mengembangkan konsepnya terutama melalui pengalaman taktual sedangkan anak awas melalui pengalaman visual. Lowenfeld (Hallahan & Kauffman, 1991) mengidentifikasi dua jenis persepsi taktual, yaitu synthetic touch dan analytic touch. Perabaan sintetis mengacu pada eksplorasi taktual terhadap obyek yang cukup kecil untuk dicakup oleh satu atau kedua belah tangan. Bila obyek itu terlalu besar untuk dapat dipersepsi melalui perabaan sintetis, maka dipergunakan perabaan analitis. Perabaan analitis adalah kegiatan meraba bagian-bagian suatu obyek secara suksesif dan kemudian secara mental mengkonstruksikan bagian-bagian tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh. Orang awas dapat mempersepsi bermacam-macam obyek atau bagian-bagian dari satu obyek sekaligus, tetapi orang tunanetra harus mempersepsinya satu demi satu atau bagian demi bagian sebelum dapat mengintegrasikannya menjadi satu konsep.

    Satu perbedaan penting lainnya antara perabaan dan penglihatan adalah bahwa perabaan menuntut jauh lebih banyak upaya sadar untuk memfungsikannya. Sebagaimana diamati oleh Lowenfeld (Hallahan & Kauffman, 1991), indera perabaan pada umumnya hanya berfungsi bila aktif dipergunakan untuk keperluan kognisi, sedangkan penglihatan aktif dan berfungsi selama mata terbuka. Oleh karena itu, untuk memperkaya kognisinya, anak tunanetra harus sering didorong untuk mempergunakan indera perabaannya untuk keperluan kognisi. Akan tetapi, di dalam masyarakat kita, di mana obyek-obyek tertentu ditabukan untuk diraba, dorongan untuk mempergunakan indera perabaan itu sering harus dibatasi demi menghindari perilaku yang bertentangan dengan norma-norma sosial.

    Baiknya persepsi taktual, sebagaimana halnya dengan baiknya persepsi visual, tergantung pada kemampuan individu untuk menggunakan berbagai macam strategi dalam memperolehnya (Berla; Griffin & Gerber – dalam Hallahan & Kauffman, 1991). Anak tunanetra yang membandingkan antara pensil dan penggaris, misalnya, dengan menggunakan bermacam-macam strategi seperti membandingkan panjang masing-masing obyek itu dengan lengannya, dan mendengarkan perbedaan bunyinya bila obyek-obyek itu diketuk-ketukkan ke meja, akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang persamaan dan perbedaan antara kedua obyek tersebut. Satu strategi umum yang sangat penting untuk pengembangan persepsi taktual adalah kemampuan untuk memfokuskan eksplorasi pada fitur-fitur stimulus terpenting – yaitu bagian-bagian yang merupakan ciri khas dari obyek itu (Davidson – dalam Hallahan & Kauffman, 1991). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa semakin dini anak tunanetra dilatih dalam penggunaan strategi ini, akan semakin baik perkembangan konsep taktualnya (Berla - dalam Hallahan & Kauffman, 1991).

    Seberapa besar perbedaannya dari anak awas, perkembangan konsep anak tunanetra itu akan sangat tergantung pada dua faktor, yaitu tingkat ketunanetraannya dan usia terjadinya ketunanetraan itu (Hallahan & Kauffman, 1991). Anak yang berkesempatan memperoleh pengalaman visual sebelum menjadi tunanetra, sejauh tertentu akan dapat memanfaatkannya untuk memahami konsep-konsep baru. Anak yang tunanetra sejak lahir pada umumnya akan lebih bergantung pada indera taktualnya untuk belajar tentang lingkungannya daripada mereka yang ketunanetraannya terjadi kemudian. Demikian pula, anak yang buta total akan lebih bergantung pada indera taktual untuk pengembangan konsepnya daripada mereka yang masih memiliki sisa penglihatan yang fungsional (low vision).

    Apakah ketunanetraan berdampak terhadap inteligensi? Kolk dan Tillman (Kingsley, 1999) menarik kesimpulan yang berbeda. Kolk mengkaji sejumlah hasil studi mengenai inteligensi anak-anak tunanetra dan menyimpulkan bahwa pada umumnya skor IQ rata-rata tidak berbeda secara signifikan antara anak tunanetra dan anak awas. Akan tetapi, Tillman menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan. Dengan menggunakan skala verbal WISC (the Wechsler Intelligence Scale for Children), Tillman melaporkan skor IQ rata-rata 92 untuk 110 anak tunanetra usia 7 13 tahun, dibandingkan dengan 96,5 untuk kelompok kontrol yang awas. Tillman menganalisis hasil dari masing-masing item tes dan menemukan bahwa anak-anak yang awas lebih tinggi daripada anak-anak yang tunanetra dalam item tes pemahaman dan tugas-tugas yang menuntut anak untuk menemukan persamaan di antara item-item yang disajikan; tidak ada perbedaan antara anak yang tunanetra dan anak yang awas dalam skala informasi, aritmetika dan kosa kata; tetapi anak tunanetra dapat lebih baik dibanding anak yang awas dalam pengerjaan soal-soal yang menggunakan rentangan bilangan 1-10. Penjelasan yang dikemukakan oleh Tillman untuk perbedaan-perbedaan itu adalah bahwa anak-anak tunanetra kurang mampu mengintegrasikan semua jenis fakta yang sudah mereka pelajari, sehingga masing-masing item informasi itu seolah-olah disimpan dalam kerangka acuan yang terpisah dari item lainnya. Anak-anak yang tunanetra tidak mengalami kesulitan dalam item-item yang menuntut informasi/pengetahuan umum, seperti item-item dalam skala aritmetika dan kosa kata, tetapi mereka mengalami kesulitan dalam item-item seperti pada tes pemahaman atau penilaian tentang persamaan antarobyek, yang menuntut anak menghubungkan berbagai macam item informasi. Seolah-olah semua pengalaman pendidikan anak tunanetra itu disimpan di dalam ruangan yang terpisah-pisah. Jika hal ini benar, maka dapat disimpulkan bahwa, untuk pembentukan persepsi, penglihatan memfasilitasi anak untuk menghubungkan pengalaman-pengalaman yang berbeda-beda, hubungan yang membantunya dalam memanfaatkan berbagai pengalamannya secara efektif.
    Perbedaan temuan di atas mungkin diakibatkan oleh hakikat jenis tes yang dipergunakan untuk kelompok anak tunanetra dan kelompok anak awas. Pelopor dalam pembuatan tes inteligensi bagi individu tunanetra adalah Samuel P. Hayes (Hallahan & Kauffman, 1991). Hayes mengambil item-item verbal dari tes inteligensi Stanford-Binet untuk mengukur inteligensi individu tunanetra. Rasionalnya adalah bahwa item-item tersebut seyogyanya merefleksikan secara tepat inteligensi orang tunanetra karena item-item tersebut tidak begitu bergantung pada penglihatan seperti item-item pada performance test. Tes lain yang dirancang khusus bagi individu tunanetra adalah The Blind Learning Aptitude Test (BLAT), yang merupakan performance test, yang dirancang oleh Newland (Hallahan & Kauffman, 1991). Salah satu fiturnya adalah bahwa tes tersebut mengukur indera taktual (perabaan) - satu kemampuan yang dibutuhkan untuk membaca Braille.

    Baik dengan menggunakan tes verbal ataupun tes kinerja, kita harus sangat berhati-hati dalam membandingkan inteligensi individu tunanetra dan individu awas. Warren (Hallahan & Kauffman, 1991) mengemukakan bahwa hampir tidak mungkin kita dapat membandingkan secara langsung antara kedua kelompok tersebut karena sangat sulit untuk mendapatkan alat ukur yang sebanding. Menggunakan tes verbal tidak benar-benar memuaskan karena banyak ahli berpendapat bahwa inteligensi terdiri lebih dari sekedar fasilitas verbal. Menuntut individu awas untuk menggunakan indera perabaannya dan tidak menggunakan indera penglihatannya dalam mengerjakan tes taktual juga tidak adil, karena mereka tidak terbiasa dengan itu. Oleh karena itu, akan bijaksana bila temuan-temuan di atas disimpulkan bahwa sekurang-kurangnya ketunanetraan tidak secara otomatis membuat inteligensi orang menjadi lebih rendah, sebagaimana dikemukakan oleh Hallahan & Kauffman (1991:309), "... there is no reason to believe that blindness results in lower intelligence."

    Secara keseluruhan, Lowenfeld (Mason & McCall, 1999) mengemukakan bahwa ketunanetraan mengakibatkan tiga keterbatasan yang serius pada kemampuan individu, dan, pada gilirannya, sangat berdampak pada perkembangan fungsi kognitif. Ketiga keterbatasan tersebut adalah: (1) keterbatasan dalam sebaran dan jenis pengalaman; (2) keterbatasan dalam kemampuan untuk bergerak di dalam lingkungan; dan (3) keterbatasan dalam interaksi dengan lingkungan. Akan tetapi, Kingsley (1999) mengemukakan bahwa tidak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa keterbatasan-keterbatasan akibat hilangnya penglihatan ini juga membatasi potensi. Ini berarti bahwa dengan intervensi yang tepat, yang dapat meminimalkan keterbatasan-keterbatasan itu – sebagaimana telah banyak dibuktikan (Beadles et al., 2000; Jindal-Snape et al., 1998)- potensi kognitif anak tunanetra itu dapat berkembang secara lebih baik. Bahwa kognisi anak tunanetra berbeda dengan kognisi anak awas pada umumnya, itu memang merupakan hakikat dari kognisi yang bersifat individual. Apakah dunia kognitif anak tunanetra lebih miskin daripada anak awas? Itu memerlukan penelitian lebih lanjut, dan tergantung pada alat ukur yang dipergunakan, karena, sebagaimana dikemukakan oleh Krech, Crutchfield, & Ballachey (1982), kognisi individu itu diorganisasikannya secara selektif. Hanya obyek-obyek tertentu, di antara semua obyek yang ada di "luar sana", yang masuk ke dalam konsepsinya tentang dunia luar, dan karakteristik obyek-obyek tersebut dapat berubah, disesuaikan dengan tuntutan psikologisnya. “The cognitive map of the individual is not, then, a photographic representation of the physical world; it is, rather, a partial, personal construction in which certain objects, selected out by the individual for a major role, are perceived in an individual manner” (Krech, Crutchfield, & Ballachey, 1982:20). Ini berarti bahwa seorang anak tunanetra mungkin miskin dengan konsep-konsep tertentu tetapi kaya dengan konsep-konsep lain – sesuai dengan selektivitasnya.

    Referensi

    Beadles, R. J., Jr., McDaniel, R. S. & Waters, S. (2000). "Vocational Outcomes of Sensory Impaired Graduates of an Adult Vocational Training Program". Journal of Visual Impairment and Blindness. May 2000, 275 280
    Hallahan, D.p. & Kauffman, J.m. (1991). Exceptional Children Introduction to Special Education. Virginia:Prentice hall International, Inc.
    Jindal-Snape, D.; Kato, M.; Maekawa, H. (1998). "Using Self Evaluation Procedures to Maintain Social Skills in a Child Who Is Blind". Journal of Visual Impairment and Blindness, May 1998, 362 366.
    Kingsley, M. (1999). “The Effects of a Visual Loss”, dalam Mason, H. & McCall, S. (Eds.). (1999). Visual Impairment: Access to Education for Children and Young People. London: David Fulton Publishers
    Krech, D.; Crutchfield, R. S.; & Ballachey, E. L. (1982). Individual in Society. Berkeley: McGraw-Hill International Book Company.
    Mason, H. & McCall, S. (Eds.). (1999). Visual Impairment: Access to Education for Children and Young People. London: David Fulton Publishers

    Labels: ,

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke DAFTAR ISI