DOCTYPE html PUBLIC "-//W3C//DTD XHTML 1.0 Strict//EN" "http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-strict.dtd"> Didi Tarsidi: Counseling, Blindness and Inclusive Education: AKSISIBILITAS LINGKUNGAN FISIK BAGI PENYANDANG Disabilitas
  • HOME


  • Guestbook -- Buku Tamu



    Anda adalah pengunjung ke

    Silakan isi Buku Tamu Saya. Terima kasih banyak.
  • Lihat Buku Tamu


  • Comment

    Jika anda ingin meninggalkan pesan atau komentar,
    atau ingin mengajukan pertanyaan yang memerlukan respon saya,
    silakan klik
  • Komentar dan Pertanyaan Anda




  • Contents

    Untuk menampilkan daftar lengkap isi blog ini, silakan klik
  • Contents -- Daftar Isi




  • Izin

    Anda boleh mengutip artikel-artikel di blog ini asalkan anda mencantumkan nama penulisnya dan alamat blog ini sebagai sumber referensi.


    22 February 2008

    AKSISIBILITAS LINGKUNGAN FISIK BAGI PENYANDANG Disabilitas

    Upaya Menciptakan Fasilitas Umum Dan Lingkungan Yang Aksesibel demi Kesamaan Kesempatan bagi Penyandang disabilitas untuk Hidup Mandiri dan Bermasyarakat

    Oleh Didi Tarsidi
    Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

    Catatan:
    Makalah ini ditulis pada tahun 1997 dan disajikan dalam seminar dalam rangka memperingati Hari Internasional Penyandang Cacat Propinsi Jawa Barat. Ketika itu Undang-undang Nomor 4/1997 tentang Penyandang Cacat baru diundangkan. Kini, lebih dari sepuluh tahun sejak diberlakukannya undang-undang itu, anda dapat mengamati seberapa jauh undang-undang tersebut telah diimplementasikan, khususnya dalam kaitannya dengan aksesibilitas lingkungan fisik.

    I. PENDAHULUAN

    1.1. Definisi

    Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang PENYANDANG Cacat, Pasal 1:4, "Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang disabilitas guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan."
    Hal tersebut diperjelas dalam Pasal 10:2 yang berbunyi, "Penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan lingkungan yang lebih menunjang penyandang disabilitas dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat."

    Sejalan dengan itu, yang dimaksud dengan aksesibilitas fisik adalah lingkungan fisik yang oleh penyandang disabilitas dapat dihampiri, dimasuki atau dilewati, dan penyandang disabilitas itu dapat menggunakan wilayah dan fasilitas yang terdapat di dalamnya tanpa bantuan. Dalam pengertian yang lebih luas, aksesibilitas fisik mencakup akses terhadap berbagai bangunan, alat transportasi dan komunikasi, serta berbagai fasilitas di luar ruangan termasuk sarana rekreasi.


    1.2. Permasalahan

    Memang dapat menimbulkan frustrasi bagi para penyandang disabilitas menghadapi kenyataan bahwa berbagai hambatan arsitektural di dalam bangunan-bangunan dan fasilitas-fasilitas yang disediakan bagi kepentingan umum ternyata tidak selalu mudah atau bahkan sering tidak memungkinkan bagi para penyandang disabilitas untuk berpartisipasi penuh dalam situasi normal, baik dalam bidang pendidikan, pekerjaan maupun rekreasi. Beberapa contoh hambatan arsitektural adalah tidak adanya trotoar, permukaan jalan yang tidak rata, tepian jalan yang tinggi, lubang pintu yang terlalu sempit, lantai yang terlalu licin, tidak tersedianya tempat parkir yang sesuai, tidak tersedia lift, fasilitas sanitasi yang terlalu sempit, telepon umum yang terlalu tinggi, tangga yang tidak berpagar pengaman, jendela atau papan reklame yang menghalangi jalan, dan masih banyak lagi.

    Hal-hal tersebut di atas menjadi masalah bagi penyandang disabilitas dari jenis dan derajat disabilitas tertentu sehingga mereka tidak dapat merealisasikan kesamaan haknya sebagai warga masyarakat. Sesungguhnya para penyandang disabilitas tidak mengharapkan dan tidak pula memerlukan lebih banyak hak daripada orang-orang pada umumnya. Mereka hanya menghendaki agar dapat bergerak di dalam lingkungannya dengan tingkat kenyamanan, kemudahan dan keselamatan yang sama dengan warga masyarakat lainnya, memperoleh kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang normal, dapat semandiri mungkin dalam batas-batas kemampuannya. Tersedianya bangunan dan fasilitas yang dapat diakses oleh semua orang merupakan persoalan kesamaan kesempatan dan keadilan sosial. Akses terhadap fasilitas-fasilitas umum merupakan hak, bukan pilihan semata. Lebih dari itu, penataan lingkungan yang sesuai dengan kaidah aksesibilitas akan juga memberikan lebih banyak kenyamanan bagi warga masyarakat pada umumnya.

    Di dalam makalah ini akan dibahas:
    a. Permasalahan yang dialami oleh setiap kategori penyandang disabilitas yang diakibatkan oleh desain arsitektural umum;
    b. Tuntutan perundang-undangan akan tersedianya aksesibilitas, khususnya aksesibilitas fisik.

    II. IMPLIKASI DESAIN ARSITEKTURAL BAGI PENYANDANG DISABILITAS


    Hambatan arsitektural mempengaruhi tiga kategori disabilitas utama, yaitu:
    - disabilitas fisik, yang mencakup mereka yang menggunakan kursi roda, semi-ambulant, dan mereka yang memiliki hambatan manipulatoris yaitu kesulitan gerak otot;
    - disabilitas sensoris (alat indra) yang meliputi orang tunanetra dan tunarungu;
    - disabilitas intelektual (tunagrahita).


    2.1. Hambatan Arsitektural bagi Pengguna Kursi Roda

    Hambatan yang dihadapi oleh para pengguna kursi roda sebagai akibat dari desain arsitektural saat ini mencakup:
    - Perubahan tingkat ketinggian permukaan yang mendadak seperti pada tangga atau parit.
    - Tidak adanya pertautan landai antara jalan dan trotoar.
    - Tidak cukupnya ruang untuk lutut di bawah meja atau wastapel.
    - Tidak cukupnya ruang untuk berbelok, lubang pintu dan koridor yang terlalu sempit.
    - Permukaan jalan yang renjul (misalnya karena adanya bebatuan) menghambat jalannya kursi roda.
    - Pintu yang terlalu berat dan sulit dibuka.
    - Tombol-tombol yang terlalu tinggi letaknya.


    2.2. Masalah-masalah Yang Dihadapi Penyandang Semi-ambulant

    Semi-ambulant adalah tunadaksa yang mengalami kesulitan berjalan tetapi tidak memerlukan kursi roda. Hambatan arsitektural yang mereka hadapi antara lain mencakup:
    - Tangga yang terlalu tinggi.
    - Lantai yang terlalu licin.
    Bergerak cepat melalui pintu putar atau pintu yang menutup secara otomatis.
    - Pintu lift yang menutup terlalu cepat.
    - Tangga berjalan tanpa pegangan yang bergerak terlalu cepat.


    2.3. Hambatan Arsitektural bagi Tunanetra


    Yang dimaksud dengan tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak cukup baik untuk dapat membaca tulisan biasa meskipun sudah dibantu dengan kaca mata. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi para tunanetra sebagai akibat dari desain arsitektural selama ini antara lain:
    - Tidak adanya petunjuk arah atau ciri-ciri yang dapat didengar atau dilihat dengan penglihatan terbatas yang menunjukkan nomor lantai pada gedung-gedung bertingkat.
    - Rintangan-rintangan kecil seperti jendela yang membuka ke luar atau papan reklame yang dipasang di tempat pejalan kaki.
    - Cahaya yang menyilaukan atau terlalu redup.
    - Lift tanpa petunjuk taktual (dapat diraba) untuk membedakan bermacam-macam tombol, atau petunjuk suara untuk menunjukkan nomor lantai.


    2.4. Masalah Yang Dihadapi Tunarungu

    Para tunarungu tidak mungkin dapat memahami pengumuman melalui pengeras suara di bandara atau terminal angkutan umum. Mereka juga mengalami kesulitan membaca bibir di auditorium dengan pencahayaan yang buruk, dan mereka mungkin tidak dapat mendengar bunyi tanda bahaya.


    2.5. Kesulitan Tunagrahita

    Para penyandang disabilitas intelektual akan mengalami kesulitan mencari jalan di dalam lingkungan baru jika di sana tidak terdapat petunjuk jalan yang jelas dan baku.


    2.6. Konflik Kepentingan Antar Berbagai Kategori Disabilitas

    Sebagaimana dapat dilihat dari bagian-bagian terdahulu, satu Kategori disabilitas mempunyai kebutuhan Aksesibilitas yang berbeda dari Kategori disabilitas lainnya. Di samping itu, terdapat variasi individual di dalam setiap Kategori disabilitas dan terdapat sejumlah besar orang yang menyandang disabilitas ganda. Oleh karena itu, sulit UNTUK menentukan suatu kriteria DESAIN yang dapat memuaskan semua PENYANDANG DISABILITAS

    Karena keterbatasan-keterbatasan yang ada pada kursi roda serta terbatasnya kapabilitas FISIK Pengguna kursi roda, Maka sering terdapat situasi di mana Tuntutan orang non-tuna dan semi-ambulant berbeda dari Tuntutan para Pengguna kursi roda Sehubungan Dengan sirkulasi vertikal (turun/naiknya permukaan lahan), licin/kasarnya permukaan lantai, keluasan ruangan, aktivitas sanitasi, lokasi tombol lampu dan lift. Misalnya, BAGI PENYANDANG semi-ambulant, tangga-tangga yang dirancang secara teliti akan lebih memudahkan daripada permukaan landai. Permukaan lantai yang rata dan licin akan sangat baik BAGI Pengguna kursi roda tetapi berbahaya BAGI orang semi-ambulant jika basah. Meskipun Pengguna kursi roda jumlahnya kecil dibandingkan Dengan kelompok PENYANDANG DISABILITAS lainnya, namun implikasinya BAGI perancang bangunan dalam banyak hal paling besar.

    Contoh Konflik kepentingan lainnya adalah Sehubungan Dengan DESAIN trotoar. Pertautan yang landai antara jalan raya dan trotoar memberi akses BAGI para pengguna kursi roda tetapi kurang baik bagi para tunanetra yang menggunakan tongkat untuk mendeteksi batas antara trotoar dan jalan raya.

    Namun demikian, berbagai konflik kepentingan tersebut sejauh tertentu masih dapat dikompromikan.

    III. LANDASAN HUKUM BAGI AKSESIBILITAS FISIK


    Di Australia, Canada, Inggris dan Amerika Serikat, undang-undang mengharuskan tersedianya aksesibilitas bagi penyandang disabilitas menuju dan di dalam gedung-gedung serta fasilitas-fasilitas yang dipergunakan oleh masyarakat umum tetapi tidak untuk bangunan-bangunan pribadi. di Swedia, keharusan itu bahkan mencakup bangunan perumahan yang dibangun dengan dana pemerintah.


    3.1. Aksesibilitas Di Australia

    Sekedar untuk ilustrasi, berikut ini disajikan aksesibilitas yang berlaku di negara tetangga, Australia.


    3.1.1. Bangunan Umum

    Peraturan tentang bangunan di Australia sebagaimana diatur dalam the Building Code of Australia mengharuskan tersedianya aksesibilitas bagi penyandang DISABILITAS menuju dan di dalam:
    - Gedung akomodasi
    - Gedung perkantoran dan pelayanan profesional
    - Pertokoan dan penyedia jasa
    - Bangunan pergudangan untuk penyimpanan atau penayangan barang dan parkir mobil umum
    - Laboraturium dan pabrik
    - Gedung pelayanan kesehatan
    - Gedung pertemuan umum
    - Tempat-tempat hiburan umum
    - Bangunan untuk pendidikan


    3.1.2. Jalan Menuju Bangunan Umum

    Karena penyandang DISABILITAS dapat tiba di sebuah bangunan dengan mengendarai mobil sendiri, diantar dengan mobil orang lain, atau dengan kendaraan umum, menggunakan kursi roda atau berjalan kaki, maka akses ke bangunan-bangunan umum harus disediakan:
    - Dari jalan raya ke perbatasan area bangunan;
    - Dari tempat parkir area bangunan (di dalam ataupun di luar bangunan) yang dikhususkan bagi penyandang disabilitas untuk bangunan itu maupun dari tempat parkir umum di dekat bangunan itu;
    - Dari bangunan lain di dalam area yang diharuskan aksesibel.


    3.1.3. Aksisibilitas Di Dalam Bangunan

    Di dalam bangunan, aksesibilitas harus disediakan:
    - Dari pintu masuk ke tempat sanitasi yang aksesibel;
    - Ke tempat-tempat yang biasa dipergunakan oleh para penghuni bangunan itu.


    3.2. Aksesibilitas Di Indonesia

    Penjelasan atas Undang-undang RI Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Pasal 10:1, menyatakan: "Penyediaan aksesibilitas bagi penyandang DISABILITAS diupayakan berdasarkan kebutuhan penyandang DISABILITAS sesuai dengan jenis dan derajat disabilitas serta standar yang ditentukan. Standardisasi yang berkenaan dengan aksesibilitas ditetapkan oleh instansi yang berwenang. Penyediaan aksesibilitas berupa fisik dan non- fisik, antara lain sarana dan prasarana umum serta informasi yang diperlukan bagi penyandang DISABILITAS untuk memperoleh kesamaan kesempatan."
    Ketentuan di atas mengandung implikasi sebagai berikut:
    - Aksesibilitas bagi penyandang DISABILITAS mencakup bidang yang seluas-luasnya sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas dengan berbagai jenis dan derajat disabilitasnya.
    - Akan tetapi, pelaksanaan peraturan tersebut harus diatur lebih lanjut oleh instansi yang berwenang, dalam hal ini mungkin Departemen Pekerjaan Umum dan departemen lain yang terkait setelah dikeluarkanya Peraturan Pemerintah mengenai hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 15, "Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ... diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah."

    Kapankah aksesibilitas bagi penyandang disabilitas di Indonesia akan terwujud? Penjelasan atas Pasal 15 mengatakan, "Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam pasal ini diupayakan dalam waktu tidak terlalu lama sudah diundangkan. Mengenai aksesibilitas, khususnya sarana dan prasarana umum yang sebelum diundangkannya Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya belum ada, diberikan kesempatan mengadakan penyesuaian dengan ketentuan Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya selambat-lambatnya lima tahun sejak Peraturan Pemerintah diundangkan."

    Ini berarti bahwa, andaikata Peraturan Pemerintah yang dimaksud itu dapat dikeluarkan dalam waktu satu tahun ini, maka aksesibilitas bagi penyandang disabilitas di Indonesia akan tersedia secepat-cepatnya enam tahun yang akan datang, belum terhitung proses penerimaan masyarakat luas terhadap ketentuan-ketentuan itu.

    IV. KESIMPULAN DAN SARAN


    1. Aksesibilitas adalah kemudahan yang diberikan kepada para penyandang disabilitas berupa pengadaan atau modifikasi sarana dan prasarana kehidupan sehari-hari, termasuk lingkungan fisik, yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan penyandang disabilitas agar mereka dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.
    2. Aksesibilitas fisik sebagai satu aspek dari aksesibilitas secara menyeluruh bagi penyandang disabilitas adalah penyesu aian desain arsitektural lingkungan fisik agar para penyandang disabilitas dapat bergerak secara leluasa di dalamnya dan dapat menggunakan segala fasilitas yang tersedia. Aksesibilitas fisik merupakan faktor yang amat penting untuk menunjang kemandirian para penyandang disabilitas agar mereka dapat memperoleh kesamaan kesempatan dalam berbagai aspek kehidupan dan penghidupan di masyarakat luas.
    3. Masing-masing kategori disabilitas memiliki kebutuhan aksesibilitas fisik yang berbeda sesuai dengan keterbatasan yang diakibatkan oleh disabilitasnya.
    4. Desain arsitektural lingkungan fisik selama ini sering menimbulkan hambatan bagi aktivitas kehidupan sehari-hari para penyandang disabilitas
    5. Di beberapa negara maju seperti Australia, Inggris, Canada, Amerika Serikat dan Swedia, penyediaan aksesibilitas fisik bagi penyandang disabilitas telah dijamin oleh undang-undang.
    6. Undang-undang RI Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat telah menjamin disediakannya aksesibilitas bagi penyandang disabilitas namun pelaksanaannya masih harus menunggu ditetapkanya Peraturan Pemerintah serta pengaturan teknis dari instansi yang berwenang.
    7. Sementara Peraturan Pemerintah tersebut belum ditetapkan, sebaiknya dirumuskan saran-saran bagi Pemerintah mengenai bentuk aksesibilitas yang terbaik yang dapat mencakup semua jenis disabilitas Perumusan saran-saran tersebut seyogyanya memperhatikan pengalaman negara-negara yang telah lebih dahulu menerapkan aksesibilitas dan mendengarkan pendapat para penyandang disabilitas sendiri beserta organisasi-organisasi yang menangani masalah- masalah disabilitas

    REFERENSI

    Davenport, F.C.B. (1994). PHYSICAL ACCESSIBILITY: A Step by Step Guide to Eliminate Architectural Barriers. Victoria: Access and Mobility Sub-Committee.
    Goldsmith, S. (1976). DESIGNING FOR THE DISABLED. London: Royal Institute of Architects Publications Ltd.
    Undang-undang RI No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat

    Labels:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke DAFTAR ISI