DOCTYPE html PUBLIC "-//W3C//DTD XHTML 1.0 Strict//EN" "http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-strict.dtd"> Didi Tarsidi: Counseling, Blindness and Inclusive Education: Pertimbangan-pertimbangan dalam Intervensi Konseling Rehabilitasi: Hakikat Ketunaan
  • HOME


  • Guestbook -- Buku Tamu



    Anda adalah pengunjung ke

    Silakan isi Buku Tamu Saya. Terima kasih banyak.
  • Lihat Buku Tamu


  • Comment

    Jika anda ingin meninggalkan pesan atau komentar,
    atau ingin mengajukan pertanyaan yang memerlukan respon saya,
    silakan klik
  • Komentar dan Pertanyaan Anda




  • Contents

    Untuk menampilkan daftar lengkap isi blog ini, silakan klik
  • Contents -- Daftar Isi




  • Izin

    Anda boleh mengutip artikel-artikel di blog ini asalkan anda mencantumkan nama penulisnya dan alamat blog ini sebagai sumber referensi.


    05 May 2008

    Pertimbangan-pertimbangan dalam Intervensi Konseling Rehabilitasi: Hakikat Ketunaan

    Oleh Didi Tarsidi
    Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

    Di depan telah dikemukakan bahwa terdapat tiga faktor utama yang perlu dipertimbangkan seorang konselor dalam melakukan intervensi konseling rehabilitasi, yaitu:
    (a) factor personal,
    (b) factor lingkungan, dan
    (c) hakikat ketunaan.

    Hakikat Ketunaan

    Aspek-aspek spesifik dari ketunaan itu sendiri mempengaruhi cara seorang individu memaknai ketunaannya, dan akhirnya juga mempengaruhi responnya terhadap ketunaannya itu. Hakikat ketunaan mencakup jenis ketunaan (fisik, mental, emosional), maupun factor-faktor seperti fungsi yang terganggu, tingkat keparahan, saat terjadinya, jenis kejadianya, visibilitas, stabilitas, dan rasa sakit yang dialaminya. Faktor-faktor tersebut mungkin berimplikasi pada tugas konselor rehabilitasi.

    A. Fungsi yang Terganggu

    Gangguan pada fungsi tertentu (sensori, motor, atau kognitif) turut menentukan respon individu terhadap ketunaannya. Ketunaan itu mungkin hanya mempengaruhi satu bidang keberfungsian, seperti kemampuan untuk berkomunikasi atau melakukan pemecahan masalah. Seorang individu mungkin juga menyandang dua jenis ketunaan atau lebih, yang mempengaruhi sejumlah fungsi.

    Gangguan fungsional yang terkait dengan jenis ketunaan tertentu menuntut adaptasi dari pihak konselor. Ini terutama untuk individu dengan ganguan kognitif, seperti tunagrahita, yang menghadapkan banyak tantangan bagi konselor rehabilitasi dalam hal pemahaman individu tentang konseling dan layanan yang diberikan kepadanya. Prout dan Strohmer (1995), dalam menyusun pedoman untuk membantu konselor dalam memberikan layanan konseling yang lebih efektif kepada individu tunagrahita sebagai, dia merekomendasikan sebagai berikut:
    1. Mengembangkan intervensi dan tujuan yang tepat. Konselor tidak boleh berbicara kepada anak tunagrahita seperti kepada boneka atau berbicara kepada orang dewasa seperti kepada anak kecil. Konselor harus menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti oleh klien dan berfokus pada hal-hal yang konkret (misalnya tentang situasi actual atau masalah yang dihadapi saat ini), tidak abstrak. Konselor harus membatasi jumlah bidang yang dibahas dalam satu sesi konseling. Karena individu tunagrahita biasanya tidak mampu membuat generalisasi, maka tujuan konseling harus “situation specific”.
    2. Gaya. Konselor harus lebih aktif dan direktif dengan sedikit atau tidak ada fokus pada "insight" oleh klien. Kegiatan konkret seperti role playing dan modeling mungkin harus lebih difokuskan.
    3. Ekspresi. Banyak individu tunagrahita tidak mempunyai kosa kata yang cukup untuk mengekspresikan perasaan dan kekhawatirannya. Mereka juga mungkin tidak akan merasa nyaman berbicara dengan konselor. Strategi yang dapat dipergunakan oleh konselor untuk memfasilitasi ekspresi adalah: (a) mengajari klien perbedaan antara pikiran dan perasaan, serta berbagai kata yang menunjukkan perasaan (seperti sedih, senang), (b) menggunakan kegiatan lain sebagai media konseling (misalnya melalui kegiatan menggambar atau bermain boneka).

    B. Tingkat Keparahan Ketunaan

    Meskipun tingkat keparahan ketunaan sering dikaitkan dengan tingkat gangguan fungsion, terdapat hal-hal lain yang harus dipertimbangkan. Keterbatasan fungsi yang diakibatkan oleh ketunaan mungkin lebih banyak dipengaruhi oleh karakteristik personal individu daripada oleh ketunaannya sendiri.

    Meskipun orang sering mengira bahwa semakin berat tingkat keparahan ketunaan maka akan semakin besar pula dampak psikologisnya pada penyandangnya, tetapi tidak ada bukti yang mendukung anggapan ini. Seorang konselor sebaiknya tidak menaksir dampak ketunaan berdasarkan tingkat keparahannya. Apa yang dipandang parah oleh seorang individu belum tentu parah bagi individu lain.

    Salah satu pertimbangan konseling utama yang terkait dengan tingkat keparahan ketunaan adalah bahwa konselor rehabilitasi harus memastikan pandangan klien tentang ketunaannya. Berbagai macam pertanyaan atau pernyataan oleh konselor dapat menggali informasi tersebut.

    C. Saat Terjadinya Ketunaan

    Saat terjadinya ketunaan dalam masa kehidupan seorang individu merupakan satu pertimbangan konseling yang penting. Seorang individu dengan ketunaan bawaan – yaitu individu yang lahir dengan ketunaan atau ketunaannya terjadi sebelum usia tiga tahun – biasanya mempunyai pengalaman yang berbeda dari individu dengan ketunaan dapatan – yaitu yang ketunaannya terjadi sesudah usia tiga tahun. Misalnya, seorang anak yang laahir tanpa penglihatan berasumsi bahwa semua orang tidak mempunyai penglihatan seperti dirinya, hingga anak itu cukup besar untuk memahami yang sesungguhnya. Kebalikannya, bila kehilangan penglihatan itu terjadi kemudian, individu itu akan lebih memahami keterbatasan fungsionalnya, karena pengetahuan dan pengalaman yang pernah diperolehnya melalui penglihatan. Individu itu juga akan dapat membandingkan apa yang dapat dilakukannya atau cara orang berinteraksi sebelum dan sesudah kehilangan penglihatan. Bila kita mempertimbangkan berbagai aktivitas yang dapat dilakukan orang pada usia yang berbeda, maka kita dapat melihat signifikansi saat terjadinya ketunaan. Penting diingat oleh konselor bahwa saat terjadinya ketunaan tidak secara otomatis berarti bahwa adaptasi terhadap ketunaan itu lebih sulit bila ketunaan itu terjadi lebih awal atau kemudian. Ini sekedar berarti bahwa isu yang dihadapi oleh individu itu berbeda; maka intervensi yang direkomendasikannya juga mungkin berbeda.

    D. Jenis Kejadian Ketunaan (Types of Onset)

    Jenis kejadian mencakup kejadian yang tiba-tiba (seperti ketunaan yang diakibatkan oleh kecelakaan lalu-lintas), maupun kejadian yang berproses panjang (seperti ketunaan yang diakibatkan oleh sclerosis(. Jenis kejadian juga dapat dibedakan apakah ketunaan itu akibat keteledoran sendiri, disebabkan oleh tindakan orang lain, genetic, atau tidak diketahui penyebabnya.

    Dengan ketunaan yang terjadi tiba-tiba, individu dan keluarganya tidak mempunyai kesempatan untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi ketunaan itu, sedangkan dengan ketunaan yang terjadi secara berangsur-angsur, individu dapat mempunyai lebih banyak waktu untuk mendapatkan informasi tentang ketunaan itu dan oleh karenanya dapat membuat perencanaan. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa satu jenis kejadian membuat penyesuaian diri lebih mudah. Dengan ketunaan yang terjadi secara berangsur-angsur, individu mungkin menolak implikasi ketunaan itu untuk waktu yang lebih lama sehingga tidak membuat perencanaan ataupun belajar keterampilan alternative hingga terpaksa melakukannya.

    Konselor harus menyadari adanya masalah-masalah dalam penyesuaian diri terhadap ketunaan meskipun individu sudah mengetahui bakal ketunaannya cukup lama. Pengetahuan dan perasaan individu belum tentu konsisten. Demikian pula halnya dengan anggota keluarganya. Selama masa transisi, individu atau anggota keluarganya mungkin mengalami ketegangan emosi. Penting untuk peka terhadap saat-saat berkabung menyusul awal terjadinya ketunaan, terutama yang diakibatkan oleh trauma. Akan tetapi, konselor tidak boleh terhanyut ke dalam suasana berkabung itu, dan jangan berasumsi adanya reaksi penolakan jika individu tidak menunjukkan tanda-tanda berduka.

    Individu dengan ketunaan dapatan (adventitious disabilities) sering pada awalnya memiliki stereotype tentang orang yang menyandang ketunaan, yang didasarkan atas pengalaman sosialisasinya. Individu sering membutuhkan waktu untuk mengubah sikap, nilai, dan keyakinan negative yang pernah dimilikinya tentang ketunaan untuk dapat menyesuaikan diri dengan pengalaman pribadinya menjadi penyandang ketunaan saat ini. Perasaan-perasaan yang sudah terinternalisasi ini dapat mengakibatkan timbulnya perasaan bersalah dan malu, dan mungkin sulit bagi individu itu untuk mengemukakannya.

    E. Visibilitas, Stabilitas, dan Rasa Sakit

    Visibilitas suatu ketunaan, seperti yang ditunjukkan oleh kelainan fisik individu atau oleh indicator-indikator ketunaan, seperti penggunaan kursi roda atau tongkat, dapat mempengaruhi cara orang lain bereaksi terhadap penyandang ketunaan.

    Ketunaan yang tak tampak seperti low vision atau ketunarunguan, sering mengakibatkan kesalahfahaman orang lain. Banyak ketunaan yang tak tampak dikira sebagai ketunaan kognitif atau masalah kepribadian. Visibilitas ketunaan bagi pengguna kursi roda dapat menjadi hambatan, baik dalam kaitannya dengan lingkungan fisik maupun hubungan interpersonal, karena masyarakat sering membuat asumsi-asumsi stereotipik tentang individu, didasarkan hanya atas kursi rodanya, bukan orangnya. Masyarakat cenderung lebih menghargai daya tarik fisik, yang dapat menciptakan hambatan bagi orang yang memiliki kelainan fisik, seperti noda di wajah. Dalam situasi seperti ini, individu mungkin tidak mengalami kehilangan keberfungsian fisik, namun demikian mungkin tetap diperlakukan lain karena kelainan fisiknya.

    Satu isu konseling yang sering muncul adalah sejauh mana individu dapat menyembunyikan ketunaan yang tak tampak. Stigma social yang terkait dengan ketunaan dapat menyebabkan individu memilih untuk tetap menampilkan dirinya sebagai orang yang “normal”. Meskipun individu penyandang ketunaan mempunyai kebebasan untuk menempuh pilihan seperti ini, tetapi penting bagi konselor untuk mendiskusikan implikasinya.

    Stabilitas ketunaan adalah konsistensi ketunaan itu. Secara definisi, ketunaan progresif tidak stabil selamanya. Ketunaan yang berangsur-angsur dengan lambat itu sulit bagi individu, karena berbagai adaptasi harus dimulai kembali pada saat suatu keberfungsian hilang. Jenis-jenis ketunaan lain, seperti sakit mental atau asma, mungkin tidak stabil tetapi progresif. Ada pula ketunaan yang progresif tetapi keberfungsiannya berfluktuasi untuk jangka waktu yang panjang.
    Instabilitas ketunaan seperti ini dapat berkontribusi pada isolasi social dan masalah karir, karena individu mungkin enggan membuat perencanaan karena tidak tahu apakah mereka akan mempunyai energi atau stamina emosi untuk melaksanakan rencana itu.
    Konselor yang membantu individu penyandang ketunaan yang tidak stabil harus waspada untuk membantu klien menghindari pekerjaan yang akan memperparah ketunaan, seperti pekerjaan di tempat yang berasap bagi klien pengidap asma. Konselor juga mungkin perlu membantu klien mengidentifikasi kesempatan kerja yang dapat memberikan fleksibilitas yang lebih besar dalam hal jadwal kerja, berdasarkan pengalaman pribadinya dengan ketunaannya. Pengetahuan klien tentang ketunaannya merupakan satu factor yang sangat penting dalam merencanakan program rehabilitasi.

    Rasa sakit adalah satu factor lain yang berkontribusi pada respon terhadap ketunaan. Rasa sakit menyertai ketunaan tertentu seperti amputasi atau ketunaan akibat terbakar. Rasa sakit biasanya merupakan elemen ketunaan yang paling sulit diatasi. Vash (1981) mengatakan bahwa apa pun stimulusnya, bila rasa sakit terjadi, rasa sakit itu pasti mempengaruhi perasaan dan perilaku individu. Sulit untuk gembira, kreatif, atau mungkin bahkan juga untuk bersikap sopan, bila orang merasa sakit. Rasa sakit yang kronis dapat mengontrol kehidupan individu: membartasi kegiatan bekerja, kehidupan keluarga, dan kegiatan social (Smart, 2001). Terdapat evidensi bahwa meniadakan rasa sakit dari laporan tentang pasien yang dilakukan oleh professional medis mengakibatkan perasaan terisolasi dan frustrasi pada individu.

    Konselor perlu peka terhadap isu rasa sakit. Sesi konseling dan perencanaan mungkin perlu lebih singkat, dan dalam situasi testing, klien mungkin perlu diberi jedah setiap 30 atau 45 menit. Pemahaman tentang isu rasa sakit juga dapat membantu konselor memahami mengapa perilaku atau sikap klien dapat sangat berfluktuasi dari hari ke hari. Konselor juga harus menyadari efek obat penghilang rasa sakit (atau obat-obat lain yang sedang dipergunakan oleh klien) terhadap keberfungsian klien.

    Kesimpulan

    Dalam makalah ini telah dideskripsikan pertimbangan dan intervensi konseling berdasarkan factor-faktor yang terkait dengan (a) individu, (b) lingkungan, dan (c) hakikat ketunaan. Totalitas factor-faktor dari ketiga kategori tersebut menghasilkan pengalaman ketunaan yang unik bagi masing-masing individu.

    Untuk dapat menggunakan secara efektif intervensi konseling yang disajikan dalam makalah ini, konselor pertama-tama harus “memahami dirinya sendiri”. Jika benar-benar ingin menghormati individualitas dan keunikan setiap orang penyandang ketunaan dan menghindari stereotyping atas dasar ketunaan, gender, etnisitas, atau variable-variabel lainnya, konselor harus pertama-tama memiliki pengetahuan diri mengenai nilai-nilai dan system keyakinan yang dianutnya. Tanpa pengetahuan diri (self-knowledge), orang tidak akan pernah tahu sejauh mana stereotype, mitos, sikap, atau nilai yang dianutnya masuk ke dalam hubungan konseling. Proses pemahaman diri yang berkelanjutan harus menjadi tujuan setiap konselor professional.

    Referensi

    Bonett, R. (1994). Marital Status and Sex: Impact On Career Self-Efficacy. Journal of Counseling and Development, 73, 187-190.
    Cayleff, S. (1986). Ethical Issues in Counseling Gender, Race, and Culturally Distinct Groups. Journal of Counseling and Development, 64, 345-347.
    Chubon, R. (1985). Career-Related Needs of School Children with Severe Physical Disabilities. Journal of Counseling and Development, 64, 47-51.
    Curnow, T. (1989). Vocational Development of Persons with Disability. Career Development Quarterly, 37, 269-278.
    Ferguson, P. (2001). Mapping the Family: Disability Studies and the Exploration of Parental Response to Disability. In G. L. Albrecht, K.
    Fleischer, D. Z. & Zanies, E (2001). The Disability Rights Movement: From Charity to Confrontation. Philadelphia: Temple University Press.
    Gilbride, D. (1993). Parental Attitudes toward Their Child with a Disability: Implications for Rehabilitation Counselors. Rehabilitation Counseling Bulletin, 36,129-150.
    Hecht, M., Andersen, P., & Ribeau, S. (1989). The Cultural Dimensions of Nonverbal Communication. In M. Asante & W. Gudykunst (Eds.), Handbook of International and Intercultural Communication (Pp. 163185). London: Sage.
    Livneh, H., & Sherwood-Hawes, A. (1993). Group Counseling Approaches with Persons who Have Sustained Myocardial Infarction. Journal of Counseling and Development, 72, 57-61.
    Patterson, J.B.; Delagarza, D. & Schaller, J. (2004). “Rehabilitation Counseling Practice: Considerations and Interventions”. In: Parker Et Al. (2004). Rehabilitation Counseling: Basics and Beyond. Fourth Edition. Texas: Pro.Ed Inc. International Publisher
    Patton, W, & Creed, P A. (2001). Developmental Issues in Career Maturity and Career Decision Status. The Career Development Quarterly, 49, 336-351.
    Power, P, Dell Orto, A., & Gibbons, M. (Eds.). (1988). Family Interventions throughout Chronic Illness and Disability. New York: Springer.
    Prout, H.O., & Strohmer, . (1995). Counseling with Persons with Mental Retardation: Issues And Considerations. Journal of Applied Rehabilitation Counseling, 26(3), 49-54.
    Reid, M., Landesman, S., Treder, R., & Jaccard,J. (1989). "My Family and Friends": Six to Twelve Year-Old Children's Perceptions of Social Support. Child Development, 60, 896-910.
    Seelman, & M. Bury (Eds.), Handbook of Disability Studies. Thousand Oaks, CA: Sage.
    Shapiro, J.P. (1993). No Pity. New York: Times Books.
    Sherman,J., & Fischer,J. M. (2001). Spirituality and Addiction Recovery for Rehabilitation Counseling. Journal of Applied Rehabilitation Counseling, 33(4), 27-31.
    Smart, J. (2001). Disability, Society, and the Individual. Gaithersburg, MD: Aspen.
    Sue, L.W., & Sue, D. (2003). Counseling the Culturally Diverse:Theory and Practice (4th Ed.). New York: Wiley.
    Tuttle, D., & Tuttle, N. (1996). Self-Esteem and Adjusting with Blindness. Springfield, IL: Thomas.
    Vacc, N. A., Devaney, S. B., & Brendel, J. M. (2003). Counseling Multicultural and Diverse Populations: Smudgies for Practitioners. New York: Brunner-Routledge.
    Van Hasselt, V.B., Lutzker, J., & Hersen, M. (1990). Overview. In M. Hersen & V Van Hasselt (Eds.). Psychological Aspects of Developmental and Physical Disabilities: A Casebook. Newbury Park, CA: Sage.
    Vash, C. (1981). The Psychology of Disability. New York: Springer.
    Wright, B. (1983). Physical Disability-A Psychosocial Approach (2nd Ed.). New York: Harper & Row.

    Labels:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke DAFTAR ISI