DOCTYPE html PUBLIC "-//W3C//DTD XHTML 1.0 Strict//EN" "http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-strict.dtd"> Didi Tarsidi: Counseling, Blindness and Inclusive Education: Prosedur Asesmen Kemampuan Anak Tunanetra
  • HOME


  • Guestbook -- Buku Tamu



    Anda adalah pengunjung ke

    Silakan isi Buku Tamu Saya. Terima kasih banyak.
  • Lihat Buku Tamu


  • Comment

    Jika anda ingin meninggalkan pesan atau komentar,
    atau ingin mengajukan pertanyaan yang memerlukan respon saya,
    silakan klik
  • Komentar dan Pertanyaan Anda




  • Contents

    Untuk menampilkan daftar lengkap isi blog ini, silakan klik
  • Contents -- Daftar Isi




  • Izin

    Anda boleh mengutip artikel-artikel di blog ini asalkan anda mencantumkan nama penulisnya dan alamat blog ini sebagai sumber referensi.


    06 June 2008

    Prosedur Asesmen Kemampuan Anak Tunanetra

    Tobin, M. (1999). “Assessment Procedures”. In: Mason, H. & McCall, S. (Eds.). (1999, pp.76-85). Visual Impairment: Access to Education for Children and Young People. London: David Fulton Publishers.

    Diterjemahkan oleh Didi Tarsidi
    Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

    Pendahuluan

    Bab ini membahas asesmen kemampuan yang relevan dengan kemajuan anak tunanetra selama masa sekolahnya. Tujuannya adalah untuk mendeskripsikan dan mengevaluasi berbagai prosedur yang dapat dipergunakan oleh guru dan psikolog pendidikan untuk menentukan kebutuhan dan kemampuan anak dalam setting sekolah.
    Pengorganisasian bab ini, yang bergerak dari umum ke khusus, mencerminkan keyakinan penulis bahwa terdapat sejumlah faktor yang dapat diterapkan pada semua asesmen, yang oleh karenanya harus dipertimbangkan oleh guru dan psikolog dan yang kemudian akan membimbingnya dalam pemilihan prosedur yang tepat untuk mengidentifikasi kebutuhan dan kemampuan anak. Sebelum hal-hal yang universal ini dibahas, ada hal lain yang lebih umum yang harus dikemukakan.
    Kinerja anak yang dicatat pada satu kesempatan tes tertentu yang dilakukan oleh seseorang yang tidak dikenal oleh anak mungkin menaksir terlalu rendah kemampuan anak yang sesungguhnya. Ketidaksempurnaan tes itu mungkin diperburuk oleh kegerogian anak, oleh kekurangmampuan tester dalam memahami nuansa isyarat non verbal, dan oleh masalah yang lebih umum yaitu ketidakmampuan menjalin hubungan yang dapat memfasilitasi pencapaian tertinggi dari anak, dan hal terakhir inilah yang harus merupakan tujuan utama seorang tester.

    Faktor-faktor Klasifikatoris Umum

    Karena pengaruhnya terhadap pemilihan alat-alat pengukuran dan terhadap hakikat hubungan antara asessor dan klien, maka sangat penting untuk memperoleh informasi mengenai usia siswa, usia terjadinya ketunanetraannya, tingkat sisa penglihatan yang masih dimilikinya, dan kehadiran kondisi-kondisi ketunaan lainnya jika ada.
    Umur kalender dapat memberikan petunjuk, meskipun tidak sepenuhnya reliabel, tentang keluasan dasar pengetahuan siswa dan tentang jenis bahasa yang tepat baginya. Misalnya, dalam upaya mengukur keterampilan membaca seorang anak usia enam tahun kita akan menggunakan tes yang berbeda dengan tes yang dipergunakan bagi anak usia 15 tahun. Tetapi bukan hanya tingkat kesulitan isi tesnya yang berbeda untuk siswa yang lebih tua; kita juga harus siap untuk mendiskusikan dengannya tujuan pengetesan itu, menjelaskan apakah umpan balik dapat atau tidak dapat diberikan, dan menjelaskan tentang perlunya menerapkan batas waktu. Dengan anak kecil, biasanya tidak akan ada persoalan dalam hal penerimaannya terhadap otoritas asesor, tetapi dengan siswa yang lebih tua soal pemberdayaan dan otonominya harus memperoleh pengakuan jika anda ingin menumbuhkan lingkungan kooperatif yang diperlukan.
    Usia terjadinya ketunanetraan dan sudah berapa lama ketunanetraan itu sudah disandangnya juga dapat berdampak terhadap "apa" yang harus diteskan dan "bagaimana" cara mengeteskannya. Anak usia empat tahun yang buta total sejak lahir yang perkembangan sensorimotoriknya diases dengan skala Reynell Zinkin (Reynell, 1979) mungkin masih mengalami kesulitan dalam menyortir manik-manik ke dalam dua kelompok ukuran (besar dan kecil) dan kemudian menyimpannya ke dalam gelas besar dan gelas kecil, satu tugas yang dapat dilakukan oleh banyak anak awas usia dua tahun dan oleh banyak anak low vision usia tiga tahun. Seorang siswa usia 15 tahun yang baru menjadi tunanetra mungkin akan mengalami banyak kesulitan dalam menguasai seluk-beluk tulisan Braille, dan oleh karenanya harus diases dengan cara yang sangat berbeda dari teman sebayanya yang tunanetra sejak lahir. Dalam masing-masing kasus, pemilihan tes dan cara penyajiannya akan membutuhkan pertimbangan yang seksama, termasuk pertimbangan mengenai apakah rubrik manual tes itu dapat diikuti secara ketat.
    Sebagian besar anak yang terdaftar sebagai tunanetra masih memiliki sisa penglihatan yang mungkin bermanfaat, dan wajib bagi seorang asesor untuk memahami seberapa banyak sisa penglihatan itu dan untuk keperluan apa serta dalam kondisi cahaya bagaimana penglihatan itu dapat dipergunakan. Tidak cukup bila hanya mengandalkan ketajaman penglihatan yang diukur secara obyektif yang tercatat dalam berkas-berkas medisnya. Informasi seperti itu tidak akan secara tepat menentukan ukuran yang ideal, warna, dan tingkat kekontrasan tulisan awas dalam materi pengajaran bagi anak yang bersangkutan. Asesor yang melaksanakan asesmennya di dalam kelas mungkin harus menggunakan pendekatan trial and error, mempergunakan item-item latihan dari tes yang sudah tercetak untuk memastikan apakah item-item tersebut sesuai dengan kapasitas penglihatan anak. Pada dasarnya, asesor harus merancang metode-metode observasi informal untuk mengukur berbagai kompetensi visual yang tepat, tetapi bagi anak-anak kecil, daftar cek yang lebih formal, seperti prosedur Look and Think (Chapman et al., 1989), akan menghasilkan informasi yang bermanfaat mengenai keterampilan persepsi dan kognitif, dan akan membantu dalam memberikan penilaian apakah tes prestasi yang diterbitkan secara komersial dapat dipergunakan untuk mengases keterampilan-keterampilan lain.
    Sebagaimana akan dibahas di bawah ini, sebagian besar anak tunanetra menyandang kesulitan lain. Oleh karena itu sangat penting bagi asesor untuk mengetahui keberadaan kondisi-kondisi ini, dan dia tidak hanya harus mampu memilih prosedur pengukurannya yang tepat serta memahami dampaknya, tetapi juga harus mengakui bahwa dia membutuhkan masukan dari sebuah tim multidisipliner. Tidak mungkin ada seorang individu yang cukup ahli dalam semua disiplin terkait untuk melaksanakan sebuah asesmen yang komprehensif tanpa dukungan seperti ini. Fungsi faktor-faktor klasifikasitoris ini adalah untuk menunjukkan heterogenitas populasi "target", karena mereka merupakan sumber pembeda bagi apa yang harus kita sadari bila mengases anak berpenglihatan normal. Bila kita tidak memperhatikannya, maka hasil pengetesannya tidak akan ada gunanya, atau sekurang-kurangnya cenderung menaksir terlalu rendah kemampuan anak atau salah dalam menafsirkan kebutuhannya.
    Prosedur Khusus bagi Anak Pra-sekolah

    The Reynell Zinkin Developmental Scales for Young Visually Handicapped Children [skala perkembangan bagi anak tunanetra] (Reynell, 1979) dirancang untuk anak usia 0 5 tahun dan mengases enam bidang keberfungsian yang berlainan tetapi tumpang-tindih, yaitu: adaptasi sosial, pemahaman sensorimotorik, eksplorasi lingkungan, respon terhadap bunyi dan pemahaman verbal, vokalisasi dan bahasa ekspresif (struktur), dan bahasa ekspresif (kosakata dan isi). Manual penggunaan prosedur ini menekankan bahwa penguji seyogyanya memahami bahwa dalam menggunakan prosedur ini dia melaksanakan asesmen, bukan memberikan tes (Reynell, 1979). Ini mengandung arti bahwa asesor dapat memberi skor bagi item-item dengan memberikan tugas-tugas tertentu secara langsung, atau dengan mengamati anak dalam lingkungan yang sudah dikenalnya, atau dengan memperoleh informasi dari pengasuhnya, dan bahwa asesor sering perlu menggunakan materi dan peralatan alternatif untuk menentukan apakah suatu keterampilan telah menggeneralisasi pada berbagai macam situasi.
    Skala ini memfokuskan perhatiannya pada keterampilan-keterampilan yang penting serta kemajuan perkembangannya, dan oleh karenanya memungkinkan penggunanya membandingkan anak dengan anak-anak sebayanya, termasuk mereka yang berpenglihatan normal, yang low vision, dan yang buta. Skala ini juga memunculkan beberapa permasalahan yang dialami oleh anak-anak tunanetra pada saat mereka berupaya memahami dan mengontrol "dunia" fisik dan sosialnya.
    Proyek Oregon bagi Anak Tunanetra Pra-sekolah (Brown et al., 1986) mengkaji banyak kompetensi yang sama, dan dirancang sebagai alat asesmen dan juga sebagai program pengajaran. Proyek ini didasarkan atas proyek Portage; yaitu bahwa rasional dan materinya didasarkan atas praktek para spesialis yang mengunjungi rumah anak-anak itu, di mana mereka bekerjasama dengan orang tua dalam menentukan tujuan dan latihan bagi anak-anak itu. Perangkat yang terdiri dari hampir 700 item ini mencakup bidang-bidang perkembangan seperti kognisi, bahasa, menolong diri sendiri, sosialisasi, dan keterampilan motorik halus maupun kasar.
    Prosedur Reynell Zinkin dan Proyek Oregon tersebut bermanfaat terutama bagi para guru kunjung, guru taman indria, serta para pekerja profesional lainnya yang pekerjaannya dengan anak-anak itu dilaksanakan dalam seting sehari-hari di rumah, di sekolah, atau di taman indria.

    Prosedur Khusus bagi Anak Usia Sekolah

    The Look and Think Checklist (Chapman et al., 1989) adalah alat bagi guru untuk mengases keterampilan persepsi dan kognitif anak usia 5 11 tahun. Daftar cek ini dimaksudkan untuk dilaksanakan di dalam setting kelas, dan dilukiskan sebagai "sebuah instrumen untuk pengamatan yang tertib dan terstruktur terhadap tingkat keberfungsian anak pada saat ini dalam keterampilan-keterampilan visual tertentu" (Chapman et al., 1989). Instrumen ini berisi 18 sub-skala untuk mengamati keterampilan membeda-bedakan dan mengenali secara visual obyek-obyek dua dimensi dan tiga dimensi, dengan asesmen untuk keterampilan koordinasi tangan-mata, dan dengan penyaringan awal bagi kemampuan membeda-bedakan warna. Instrumen ini bukan tes untuk ketajaman penglihatan, untuk bidang pandang, ataupun untuk aspek-aspek fisiologis dari keberfungsian visual. Rasionalnya adalah bahwa melihat yang efektif itu tergantung juga pada pengalaman yang memadai, kemauan untuk menggunakan sisa penglihatan yang masih ada, dan penggunaan bahasa dan keterampilan-keterampilan kognitif lainnya untuk membantu mengarahkan perhatian dan penafsiran. Diklaim bahwa banyak anak penyandang ketunanetraan berat tidak memperoleh kesempatan dan insentif yang memadai untuk memanfaatkan sisa penglihatannya yang sedikit itu, dan daftar cek ini merupakan koleksi berbagai metode untuk membantu guru menemukan apa yang dapat dilakukan oleh anak di dalam kelas - bukan di klinik mata - dengan maksud untuk menciptakan latihan-latihan (yang oleh siswa dipandang sebagai permainan) yang akan mendorong penggunaan keterampilan menatap, mencari, membedakan, menjodohkan, dan keterampilan-keterampilan persepsi dan kognitif lainnya. Tidak ada angka tingkatan persepsi ataupun skor yang terkait dengan usia yang diperoleh dari daftar cek Look and Think ini. Oleh karena itu, daftar cek ini merupakan instrumen acuan kriteria, dan penulisnya memandangnya sebagai alat untuk asesmen dan pengajaran.
    Pengukuran inteligensi kini didasarkan atas konsep bahwa inteligensi itu berbentuk multi-faset. Terdapat bermacam-macam inteligensi, dan oleh karenanya harus diukur dengan instrumen yang berbeda-beda. Tes Inteligensi Williams untuk anak penyandang kelainan penglihatan (Williams, 1956) didasarkan atas konseptualisasi lama, yang hasil tesnya adalah angka satuan inteligensi global. Sesungguhnya, tes Williams ini, yang merupakan satu-satunya tes yang dibakukan untuk populasi anak tunanetra di Inggris, berisi item-item yang dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kategori besar, seperti ingatan jangka pendek, kosakata, kefasihan verbal, penalaran, perbandingan jarak, dan pengungkapan serta penerapan pengetahuan. Akan tetapi, skor yang terpisah-pisah untuk masing-masing kemampuan tersebut tidak dapat diperoleh dari tes Williams itu.
    Bila guru ingin memperoleh informasi mengenai berbagai kemampuan seorang anak berdasarkan bermacam-macam proses mental tersebut, dia sebaiknya meminta seorang psikolog pendidikan untuk melakukan tes dengan beberapa sub-skala dari the British Ability Scales (BAS; Elliott et al., 1983). Di antara ke-23 sub-skala BAS tersebut, terdapat beberapa yang dapat dipergunakan dengan mudah terhadap anak tunanetra. Misalnya, item-item tes dalam sub-skala tentang persamaan, hafalan bilangan satuan dan definisi kata, semuanya disajikan secara lisan dan responnya pun dituntut lisan. Bagi anak-anak low vision, sub-skala ini juga tepat, dan bagi anak-anak low vision tertentu, informasi yang bermanfaat dapat diperoleh dari kinerjanya dalam sub-skala kecepatan pemerosesan informasi, matrik, dan desain balok.
    Sub-skala kecepatan pemerosesan informasi BAS terdiri dari item-item (masing-masing terdiri dari satu halaman penuh) yang menuntut anak menelusuri (dengan penglihatannya) baris-baris lingkaran yang mengitari berbagai kelompok kotak kecil-kecil yang jumlahnya bervariasi, dan kemudian bagi subyek yang lebih tua, angka-angka yang panjangnya semakin meningkat dari satu digit hingga lima digit. Pada setiap baris, anak harus memilih lingkaran dengan jumlah kotak terbanyak atau angka-angka dengan nilai terbesar. Tugas ini relatif mudah, dan yang harus diperhatikan adalah kecepatan keberfungsian mentalnya. Item-item ini juga menuntut keterampilan persepsi dasar tertentu, dan meskipun tes ini dirancang untuk anak-anak yang awas, perancangnya berpendapat bahwa tes ini dapat mengungkapkan informasi tentang kesulitan-kesulitan yang mungkin dialami anak-anak low vision dalam tugas-tugas yang memerlukan eksplorasi visual terhadap teks, gambar, dan tabel serta diagram yang dijumpai dalam IPA, matematika, geografi, atau mata pelajaran lain yang serupa. Skor yang tinggi akan sangat informatif, tetapi skor yang rendah mungkin diakibatkan oleh kelainan penglihatan anak itu atau mungkin juga akibat kecepatan pemerosesan mentalnya. Bagi anak tunanetra yang bersekolah di sekolah umum, skor tinggi pada tes ini akan merupakan prediktor yang baik tentang kemampuannya untuk mengikuti pelajaran yang disajikan secara visual yang merupakan karakteristik metode pengajaran saat ini. Skor yang rendah akan merupakan peringatan bagi guru bahwa dia perlu mencari metode alternatif agar anak itu dapat mencapai tujuan yang sama.
    Sebagaimana akan dibahas pada bagian tentang prosedur asesmen untuk keterampilan membaca, berkurangnya kecepatan pemerosesan itu merupakan salah satu konsekuensi negatif dari kebutaan dan low vision dalam bidang pendidikan, dan harus diperhatikan oleh guru, psikolog, dan lembaga-lembaga yang merancang naskah ujian. Untuk melengkapi versi cetak dari sub-skala tes itu, Hall dan Mason (1993) telah merancang dan membakukan versi taktual dari tes kecepatan pemerosesan informasi tersebut. Tes ini dapat dilaksanakan dengan mudah dan cepat, terdiri dari bentuk-bentuk yang dapat diraba, dan bagi subyek yang lebih tua, terdiri dari angka-angka Braille. Pada saat ini belum ada data publik mengenai daya prediksi tes tersebut dalam kaitannya dengan prestasi sekolah, tetapi tanpa dukungan data itu pun penggunanya dapat mengamati bagaimana tingkat keberhasilan dan efisiensi seorang anak dalam menyimak, memproses, dan menafsirkan pola-pola taktual tes tersebut. Signifikansi praktis yang langsung dapat diamati guru adalah temuan bahwa angka-angka Braille itu kira-kira tiga kali lebih lama untuk memprosesnya daripada angka-angka awas dalam BAS versi cetak (Hull dan Mason, 1993).
    Karena membaca merupakan landasan bagi akses ke kurikulum, maka asesmen membaca harus memperoleh perhatian khusus agar program yang tepat untuk remediasi pengajarannya dapat dipersiapkan. Dalam membedakan antara pengajaran dan remediasi, penulis bermaksud mengemukakan pentingnya pengajaran membaca karena membaca merupakan suatu kegiatan yang harus dipelihara selama masa sekolah, tidak hanya terbatas pada sekolah dasar. Hal ini terutama diperlukan untuk pengajaran membaca Braille, di mana pengajaran keterampilan membaca "tingkat tinggi" harus berlanjut setelah anak memperoleh keterampilan dasar membaca jika ingin mempelajari sistem tulisan singkat (tusing). Pemantauan kemajuan dalam belajar Braille akan dapat dilakukan secara efektif jika guru/asesor sendiri adalah pembaca Braille yang kompeten, baik dengan perabaan maupun dengan penglihatan, sehingga mampu menarik inferensi yang valid mengenai kemungkinan penyebab kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh seorang anak. Kesalahan mungkin disebabkan oleh kegagalan dalam mendeteksi kehadiran salah satu titik dalam petak Braille, oleh masalah huruf-huruf yang bentuknya berbanding terbalik, oleh salah baca antara tanda atas dan tanda bawah, atau oleh keraguan tentang arti simbol-simbol tulisan singkat. Oleh karena itu, nilai diagnostik dari sebuah tes harus dievaluasi, dan dalam hal ini masih banyak yang dapat dimanfaatkan dari instrumen-instrumen yang sudah lama terlembaga seperti Tooze Braille Speed Test (Tooze, 1962) dan Lorimer Braille Recognition Test (Lorimer, 1962) yang dapat diperoleh dari VIEW (sebelumnya bernama Association for the Education and Welfare of the Visually Handicapped).
    Kedua tes tersebut memungkinkan penggunanya menunjukkan dengan tepat apa yang digambarkan oleh Lorimer sebagai "faktor-faktor Braille" yang unik di dalam proses membacanya. Akan tetapi, tes-tes tersebut lebih berupa tes pengenalan kata daripada tes membaca prosa yang sinambung. Untuk tujuan yang kedua tersebut, direkomendasikan untuk menggunakan versi Braille dari the Neale Analysis of Reading Ability, karena tes ini sekaligus mengukur ketepatan, kecepatan dan pemahaman, dan dilengkapi dengan manual yang memungkinkan tester memperhitungkan usia baca dan peringkat umumnya bila perbandingan dengan karakteristik populasi dibutuhkan. Dengan merekam suara anak membaca, asesor dapat mendengar ulang dan menganalisis kinerjanya untuk mendiagnosis kesalahan-kesalahannya, sehingga memudahkan perencanaan program remedial. Yang ditunjukkan oleh tes Neale ini, berdasarkan ukuran norma-norma membaca tulisan biasa, adalah bahwa sistem membaca dengan perabaan itu kecepatannya jauh lebih lambat. Fenomena ini berimplikasi terhadap keseluruhan kurikulum, bagi siswa, guru, maupun mereka yang berwenang mengatur penyelenggaraan ujian umum. Siswa tunanetra membutuhkan lebih banyak waktu untuk mempelajari teks dan menyelesaikan ujian, mesin tik Braille harus disediakan bagi mereka, dan untuk kegiatan belajarnya, terutama pada tahap pencatatan dan revisi, harus dibantu dengan menggunakan tape recorder.
    Meskipun bagi siswa low vision kesulitan akibat lambatnya pemerosesan informasi itu tidak begitu besar, tetapi tetap merupakan masalah besar, dan dalam menggunakan tes dalam tulisan awas, seperti tes Neale, asesor harus siap untuk menerima hasil dalam sub-skala kecepatan yang jauh lebih rendah daripada prestasinya dalam ketepatan dan pemahaman bacaan. Kecuali bagi pembaca pemula yang masih kecil, penggunaan tes pengenalan kata itu tidak direkomendasikan karena tes tersebut cenderung menyembunyikan kesulitan yang dihadapi pembaca low vision bila dihadapkan pada kegiatan "membaca yang sesungguhnya", yaitu membaca prosa panjang secara terus-menerus.
    Sebagai tes kosa kata yang dapat disajikan secara cepat, British Picture Vocabulary Scale (BPVS; Dunn et al., 1982) dalam segi lain dapat bersifat informatif, karena tes tersebut memungkinkan asesor melakukan pengamatan yang seksama terhadap penggunaan sisa penglihatan oleh anak low vision. Pada setiap halaman BPVS terdapat empat baris gambar, dan anak harus memilih gambar yang paling mewakili kata yang diucapkan oleh tester. Selama pelaksanaan asesmen itu, asesor dapat mencatat seberapa dekat ke lembaran tes itu anak harus mendekatkan matanya, apakah dia menatap dari kiri ke kanan atau dari atas ke bawah secara sistematis, dan apakah dengan mengubah intensitas dan posisi sumber cahaya akan lebih memudahkan anak melakukan tugasnya. Tes ini tidak dirancang sebagai alat asesmen penglihatan fungsional, tetapi guru yang berpengalaman akan dapat mendeteksi tanda-tanda yang relevan dengan keberfungsian penglihatan anak di dalam kelas. Karena BPVS mengukur kosakata reseptif, tes ini juga dapat mengungkapkan apa yang pernah dipelajari anak sebelumnya di rumah maupun di sekolah. Apa yang sangat penting adalah bahwa skor hasil tes ini harus dievaluasi dalam kaitannya dengan kinerja anak dalam tes-tes lain yang tidak didasarkan atas penglihatan, sehingga dampak ketunanetraannya dapat diketahui.

    Anak Tunanetra Yang Menyandang ketunaan Lain

    Hasil survey RNIB (Walker et al., 1992) dan beberapa penelitian lainnya menunjukkan bahwa mayoritas anak tunanetra menyandang ketunaan lain yang berupa ketunaan fisik, inderia, ataupun kognitif. Beberapa alat asesmen yang telah dideskripsikan di atas, seperti Proyek Reynell Zinkin dan Oregon, menyangkut masalah ketunagandaan ini juga. Bila instrumen-instrumen ini terutama menyangkut faktor-faktor perkembangan yang operatif hingga usia lima atau enam tahun, maka akan kurang relevan bila dipergunakan untuk mengases keterampilan dan kemajuan anak usia sekolah, terutama pada masa remaja. Anak-anak tertentu yang sudah lebih besar demikian terlambat perkembangannya sehingga hampir tak dapat dihindari bahwa asesor akan memfokuskan asesmennya pada kompetensi yang normalnya diperoleh pada awal masa kanak-kanak. Dalam keadaan demikian, banyak item tes dalam prosedur Reynell Zinkin dan Oregon akan masih tepat.
    Satu sistem yang bebas usia dan yang dapat mengungkapkan lebih banyak informasi daripada yang tersirat dalam judulnya adalah Vision for Doing (Aitken & Buultjens, 1992). Keuntungan besar dari sistem ini adalah bahwa asesmen dan remediasi diperlakukan sebagai satu. Sementara penekanannya adalah pada metode asesmen penglihatan fungsional anak yang menyandang ketunaan ganda, sistem ini juga mengungkapkan tentang bagaimana anak-anak ini dapat dibantu untuk mengembangkan dan memanfaatkan penglihatannya itu untuk memperluas pemahamannya tentang obyek, peristiwa, dan fenomena lain dari lingkungan fisik dan sosialnya. Pencipta sistem ini menggambarkan sasaran utamanya adalah untuk "membantu staf yang bukan spesialis dalam bidang ketunanetraan". Tujuan tersebut tentu tercapai; dan nilainya bagi guru spesialis pun sama besarnya.
    Satu instrumen lain yang didasarkan atas keyakinan bahwa asesmen dan pengajaran itu harus sejalan adalah the Next Step on the Ladder (Simon, 1986). Instrumen ini merupakan hasil dari penelitian dan praktek yang dikembangkan selama bertahun-tahun di unit tunarungu-netra pada rumah sakit Lea di Bromsgrove, di bawah kepemimpinan Gerry Simon. Meskipun penekanan instrumen ini adalah pada pemanfaatan sisa penglihatan yang masih dimiliki anak, tetapi orientasinya secara umum adalah ke arah membekali anak agar dapat berfungsi secara lebih mandiri di dalam lingkungan rumah dan sekolahnya.
    Satu instrumen yang telah dibuat untuk kebutuhan subyek yang lebih tua adalah the Profile of Adaptive Skills (Stockley & Richardson, 1991). Instrumen tersebut dideskripsikan sebagai satu skala penilaian untuk mengukur keterampilan sosial dan personal bagi remaja akhir dan dewasa muda penyandang kesulitan belajar tingkat sedang hingga parah. Salah satu karakteristiknya yang unik adalah bahwa profil yang muncul dari catatan tentang prestasi klien dapat memberikan informasi bagi klien itu sendiri, bagi instrukturnya dan majikannya, dan kemudian dapat dipergunakan oleh pihak-pihak lain yang bertanggung jawab atas kesejahteraannya dan perkembangannya lebih lanjut. Karena dirancang untuk dilaksanakan berulang-ulang, maka instrumen ini dapat mengungkapkan bagaimana kemajuan keterampilan, kemampuan dan kemandirian klien itu. Penerapannya di lembaga pendidikan lanjutan bagi tunanetra menunjukkan bahwa instrumen ini valid dan praktis.

    Kesimpulan

    Justifikasi untuk menggunakan prosedur tes formal untuk mengases kemampuan dan kebutuhan anak penyandang ketunanetraan berat adalah bahwa tes tersebut akan didukung oleh pengetahuan dan pengalaman sesama profesional. Prosedur tes tersebut memungkinkan kita mengamati, secara terstruktur dan teruji, berbagai variabel yang diketahui dapat mengganggu kapasitas siswa untuk mengatasi permasalahan belajarnya sehari-hari serta memenuhi tuntutan kurikulum sekolahnya. Jika tes tersebut didasarkan atas evidensi teoretik dan empirik yang telah teruji oleh waktu, maka tes itu memungkinkan tester untuk memperoleh, dalam waktu yang relatif singkat, jenis informasi yang akan didapatkan oleh guru atau psikolog pendidikan yang berpengalaman melalui serangkaian observasi kelas yang memakan waktu lama jika mereka menggunakan hipotesis tes yang didasarkan atas observasi yang lebih informal. Validitasnya sejauh tertentu tergantung pada sejauh mana tes tersebut sesuai dengan pertimbangan guru yang berpengalaman. Hal lain yang dapat diperoleh dari tes ini adalah memberikan kesadaran kepada orang tentang kekuatannya yang tersembunyi, bidang-bidang kelemahannya dan kebutuhannya.
    Bilamana tersedia, seyogyanya kita menggunakan tes yang telah dirancang khusus untuk anak penyandang ketunanetraan dan dibakukan atas dasar sampel yang representatif, tetapi banyak juga yang dapat diperoleh dengan menggunakan tes-tes yang dibakukan untuk anak awas bila diseleksi secara cermat, terutama instrumen-instrumen yang dapat disajikan secara lisan dan yang menuntut respon lisan. Sebagaimana dikemukakan oleh penulis dalam buku lain, anak yang tunanetra sesungguhnya adalah anak sebagaimana anak-anak pada umumnya, yang mengikuti alur perkembangan biologis yang sama seperti anak-anak awas, dan memiliki tujuan umum pendidikan dan sosial yang sama seperti sebayanya yang awas (Tobin 1994). Karena justifikasi untuk setiap jenis asesmen pendidikan adalah bahwa asesmen ini seyogyanya membantu anak, orang tua, guru dan pihak-pihak lain dalam upayanya untuk membuat agar anak menyadari potensinya dan memungkinkannya memilih sekolah dan karir yang rasional dan sesuai dengan kemampuannya, maka seyogyanya dipergunakan jenis tes yang dapat dipertahankan secara etis, yang memberikan informasi yang tepat, dan dapat dilaksanakan oleh setiap asesor yang berkualifikasi asalkan dia sangat berhati-hati dalam pelaksanaannya dan penafsiran hasilnya.

    Labels:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke DAFTAR ISI