DOCTYPE html PUBLIC "-//W3C//DTD XHTML 1.0 Strict//EN" "http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-strict.dtd"> Didi Tarsidi: Counseling, Blindness and Inclusive Education: Persepsi dan Keyakinan Guru dan Administrator Pendidikan tentang Inklusi di Sekolah Dasar
  • HOME


  • Guestbook -- Buku Tamu



    Anda adalah pengunjung ke

    Silakan isi Buku Tamu Saya. Terima kasih banyak.
  • Lihat Buku Tamu


  • Comment

    Jika anda ingin meninggalkan pesan atau komentar,
    atau ingin mengajukan pertanyaan yang memerlukan respon saya,
    silakan klik
  • Komentar dan Pertanyaan Anda




  • Contents

    Untuk menampilkan daftar lengkap isi blog ini, silakan klik
  • Contents -- Daftar Isi




  • Izin

    Anda boleh mengutip artikel-artikel di blog ini asalkan anda mencantumkan nama penulisnya dan alamat blog ini sebagai sumber referensi.


    27 June 2009

    Persepsi dan Keyakinan Guru dan Administrator Pendidikan tentang Inklusi di Sekolah Dasar

    Persepsi dan Keyakinan Guru dan Administrator Pendidikan tentang Inklusi di
    Sekolah Dasar

    Susan Allan Galis, Commerce and Jefferson City Schools
    C. Kenneth Tanner, Department of Educational Leadership, University of Georgia

    Reviu oleh Didi Tarsidi
    Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

    Abstrak
    Penelitian ini difokuskan pada pendidikan inklusif pada tahun 1990-an di negara bagian Georgia, Amerika Serikat. Modifikasi program yang mencakup individualisasi metode pembelajaran, adaptasi lingkungan pembelajaran, dan penurunan jumlah siswa per kelas muncul sebagai isyu-isyu yang signifikan.
    Ditemukan bahwa kebijakan-kebijakan yang terkait dengan bidang-bidang ini dipersulit oleh para pendidik yang kurang berpengalaman yang belum siap menerima perubahan strategi untuk melayani siswa dengan kebutuhan yang berbeda-beda. para pendidik yang lebih muda merasa terlalu disibukkan oleh kegiatan rutin sehari-hari dan mengalami kesulitan untuk memenuhi tuntutan perubahan yang kompleks.
    Guru-guru reguler sulit memahami gagasan inklusi. Aspek-aspek hukum yang menyangkut inklusi memerlukan klarifikasi, terutama bagi guru reguler.

    Tujuan Penelitian
    Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui persepsi dan keyakinan guru dan administrator pendidikan reguler maupun pendidikan luar biasa mengenai pemberian layanan pendidikan kepada semua siswa, termasuk siswa beresiko dan siswa penyandang ketunaan.
    Variabel Penelitian

    Variabel Terikat:
    1. Strategi yang efektif untuk memenuhi kebutuhan semua siswa;
    2. Dukungan untuk melakukan perubahan dalam bidang pendidikan;
    3. Pendidikan inklusif.
    Ketiga variabel terikat tersebut dijabarkan ke dalam sebuah angket yang terdiri dari 24 pernyataan.

    Variabel Bebas:
    1) Jabatan dalam bidang pendidikan dan
    2. lamanya menjabat.
    Karena tidak dapat dimanipulasi, maka kedua variabel terikat di atas juga disebut variabel moderator.

    Asumsi:
    Peneliti berasumsi bahwa variabel terikat dipengaruhi oleh variabel moderator. Secara spesifik, peneliti berasumsi bahwa lamanya menjabat dan jabatan yang dipegang oleh responden di dalam organisasi sekolah merupakan faktor utama yang mempengaruhi penerimaan atau penolakannya terhadap isyu-isyu reformasi pendidikan yang menyangkut inklusi.

    Metode Penelitian

    Instrumentasi:
    Instrumen yang dipergunakan adalah angket yang difokuskan pada tiga masalah kajian (variabel terikat). Angket ini berisikan pertanyaan-pertanyaan untuk mengungkap informasi demografik, dan 24 pernyataan yang harus diskala oleh responden dengan menggunakan skala Likert 6 poin (yang berkisar dari 1 untuk "sangat tidak setuju" hingga 6 untuk "sangat setuju").

    Validitas:
    Angket dikaji oleh satu panel yang terdiri dari delapan orang ahli untuk menetapkan face validity dan content validity. Panel ahli tersebut mewakili pendidik tingkat negara bagian, tingkat universitas, dan tingkat lokal, yang memiliki reputasi nasional sebagai ahli dalam masalah reformasi pendidikan dan pendidikan luar biasa.
    Berdasarkan rekomendasi dari panel ahli ini, perubahan dilakukan dalam hal redaksi dan rasional untuk item-item tertentu, serta panjangnya pernyataan-pernyataan.

    Reliabilitas:
    Reliabilitas ditentukan dalam dua fase. Dalam fase I, reliabilitas instrumen diestimasi sebelum disebarkan kepada sampel acak dari 126 organisasi sekolah. Studi pendahuluan dilakukan terhadap 20 orang pendidik yang konfigurasinya sama dengan kelompok sampel. Mereka diminta merespon instrumen. Tiga minggu kemudian mereka diminta merespon lagi.
    Setiap item ditelaah dengan menggunakan repeated measure design. Uji t untuk mean sampel yang berkorelasi dipergunakan untuk menguji perbedaan yang signifikan antara respon pertama dan kedua. Item-item yang melebihi nilai t kritis 2.093 dibuang (Alpha = .05, df = 19). Dari hasil analisis ini, dua item dibuang.
    Fase II dari uji reliabilitas menggunakan Alpha Chronbach terhadap data dari setiap bagian dalam hasil penelitian akhir. Menurut de Vaus (1986), uji unidimensionalitas ini dipergunakan untuk menentukan koefisien korelasi antara satu respon dengan respon-respon lainnya terhadap item-item lain dalam satu subkelompok item yang sama. Respon dengan koefisien item terhadap skala yang kurang dari .30 dibuang dari data. Menurut de Vaus, koefisien alpha sebesar .70 pada setiap subkelompok adalah baik. Di samping itu, item yang bila dihilangkan akan meningkatkan alpha subkelompok menjadi .70 atau lebih tinggi, dibuang.
    Koefisien reliabilitas untuk ketiga subkelompok itu adalah sebagai berikut: pendidikan inklusif (.81), strategi yang efektif (.76), dan dukungan untuk melaksanakan perubahan (.74).

    Desain Penelitian:
    Sampel acak dengan error range sebesar 5% ditentukan berdasarkan formula pengambilan sampel untuk survey yang disarankan oleh Nunnery dan Kimbrough (1971). Sejumlah 126 organisasi sekolah dipilih dari populasi 187 organisasi sekolah di negara bagian Georgia. Pemilihan organisasi sekolah yang akan dijadikan sampel ditentukan dengan menggunakan tabel angka acak (table of random numbers).
    Sesudah memilih secara acak 126 organisasi sekolah, masing-masing satu angket dikirimkan kepada 126 administrator PLB, dan masing-masing lima angket kepada 126 kepala SD. Kepala SD diminta untuk mengisi angket itu, dan dia juga diminta untuk menyampaikan empat angket lainnya kepada dua orang guru reguler dan dua orang guru PLB di sekolahnya. Guru yang dipilih adalah mereka yang tercantum pada urutan 1 dan 2 dalam daftar guru (reguler dan PLB).

    Pengumpulan Data:
    Pengiriman angket kepada responden dilampiri kartu pos dan amplop yang sudah dibubuhi perangko dan alamat peneliti. Angket yang sudah diisi dikembalikan melalui pos menggunakan amplop tersebut. Kartu pos dikirimkan kembali secara terpisah sebagai tanda keikutsertaan tanpa mengganggu anonimitas responden.

    Pertanyaan Penelitian:
    Pertanyaan-Pertanyaan penelitian berikut ini difokuskan pada perbedaan-perbedaan yang secara statistik signifikan (alpha = .05) di antara variabel-variabel bebas dalam hal:
    1. strategi yang efektif untuk memenuhi kebutuhan siswa,
    2. dukungan untuk melakukan perubahan dalam bidang pendidikan, dan
    3. pendidikan inklusif.

    Temuan

    Dari total 756 angket yang disebarkan, hanya 460 (64%) yang kembali dan dapat dipergunakan.
    Persentase yang kembali berdasarkan jabatannya adalah: guru PLB 56%, guru reguler 51%, kepala sekolah 68%, dan administrator PLB 82%.
    Mean untuk total pengalaman variabel bebas di bidang pendidikan adalah 15.8 tahun.
    Total (jumlah tahun) pengalaman responden dalam bidang pendidikan dikelompokkan ke dalam empat kategori:

    Kelompok satu 1 9 tahun
    kelompok dua 10 16 tahun
    Kelompok tiga 17 21 tahun
    Kelompok empat 22-38 tahun.

    Mean untuk variabel terikat adalah:
    5.0 untuk strategi yang efektif untuk memenuhi kebutuhan siswa (n = 448, S.D. = 0.79), yang merupakan mean tertinggi.
    4.4 untuk dukungan bagi perubahan pendidikan (n =447, S.D. = 0.91).
    4.3 untuk pendidikan inklusif (n = 449, S.D. = 0.97), yang merupakan mean terendah.

    Analisis varian satu jalur dipergunakan untuk menguji perbedaan antara mean untuk masing-masing variabel terikat. Uji Scheffe dipergunakan untuk analisis post hoc (alpha = .05).

    Pertanyaan penelitian Satu. Apakah terdapat perbedaan yang secara statistik signifikan di antara variabel-variabel bebas dalam hal sikap dan keyakinan mengenai strategi yang efektif untuk memenuhi kebutuhan siswa?
    Perbedaan yang signifikan ditemukan untuk variabel "total pengalaman dalam bidang pendidikan" (F=2.98, P < .03). Analisis post hoc mengungkapkan perbedaan yang signifikan antara kelompok satu (1-9 tahun) dan kelompok tiga (17-21 tahun). Mean untuk kelompok satu adalah 4.80, sedangkan mean untuk kelompok tiga adalah 5.12. Kelompok tiga memberikan persetujuan tertinggi pada item-item mengenai strategi yang efektif, sedangkan persetujuan kelompok satu terhadap item-item ini adalah terendah.
    Juga terdapat perbedaan yang signifikan berdasarkan jabatan responden. Guru reguler cenderung memandang pernyataan-pernyataan tentang strategi efektif kurang positif dibanding ketiga kelompok responden lainnya. Urutan perolehan mean-nya adalah:

    Administrator PLB 5.14
    Kepala sekolah 5.07
    Guru PLB 5.05
    Guru reguler 4.65

    Pertanyaan penelitian Dua. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan di antara variabel-vairabel bebas dalam hal sikap dan keyakinan mereka mengenai adanya dukungan untuk melakukan perubahan dalam bidang pendidikan?
    Ditemukan bahwa total pengalaman dalam bidang pendidikan merupakan faktor yang signifikan dalam menentukan sikap dan keyakinan ini (F= 7.26, P < .01).
    Terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok satu dan kelompok empat, antara kelompok dua dengan kelompok tiga dan empat. Kelompok empat, yang memiliki total pengalaman dalam bidang pendidikan selama 22-38 tahun, adalah yang paling setuju bahwa terdapat dukungan untuk melakukan perubahan dalam bidang pendidikan, sedangkan kelompok dua, dengan total pengalaman 10-16 tahun, adalah kelompok yang paling tidak setuju.
    Urutan perolehan mean keempat kelompok itu adalah sebagai berikut:

    Kelompok empat 4.65
    Kelompok tiga 4.54
    Kelompok satu 4.24
    Kelompok dua 4.18

    Terdapat juga perbedaan yang signifikan berdasarkan jabatan responden dalam hal sikap dan keyakinan mereka tentang adanya dukungan bagi perubahan dalam bidang pendidikan (F=8.08, P <.01). Guru PLB berbeda secara signifikan dengan kepala sekolah dan administrator PLB, dan guru reguler berbeda secara signifikan dengan administrator PLB. Urutan mean-nya adalah sebagai berikut:

    Administrator PLB 4.68
    Kepala sekolah 4.61
    Guru reguler 4.331
    Guru PLB 4.17


    Pertanyaan Penelitian Tiga. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan di antara variabel-variabel bebas dalam hal sikap dan keyakinan mereka mengenai pendidikan inklusif?
    Analisis terhadap kelompok responden berdasarkan total pengalamannya mengungkapkan adanya perbedaan (F = 3.94, p < .01). Uji Scheffe menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara kelompok satu (dengan mean terendah) dan kelompok tiga (dengan mean tertinggi. Urutan mean selengkapnya adalah:

    Kelompok tiga 4.52
    Kelompok empat 4.30
    Kelompok dua 4.161
    Kelompok satu 4.111

    Perbedaan yang signifikan ditemukan di antara kelompok-kelompok jabatan dalam variabel pendidikan inklusif (F=28.54, P < .01). Analisis post hoc mengungkapkan perbedaan yang signifikan antara guru reguler dengan kepala sekolah, guru reguler dengan guru PLB, dan antara guru reguler dengan administrator PLB, serta antara kepala sekolah dan administrator PLB. Urutan mean-nya adalah sebagai berikut:

    Administrator PLB 4.75
    Guru PLB 4.48
    Kepala sekolah 4.21
    Guru reguler 3.71

    Kesimpulan dan Diskusi

    Responden yang telah berkecimpung dalam bidang pendidikan selama 17 hingga 38 tahun memberikan persetujuan yang lebih besar terhadap semua kelompok item daripada responden yang telah berkecimpung dalam bidang pendidikan selama 16 tahun atau kurang. Ini di luar perkiraan para peneliti.
    Para peneliti berpendapat bahwa mereka yang lebih kini tamatnya dari perguruan tinggi seyogyanya lebih terekspos pada gagasan-gagasan baru tentang reformasi pendidikan sehingga diasumsikan bahwa mereka akan lebih terbuka terhadap gagasan-gagasan baru seperti gagasan pendidikan inklusif. Ternyata asumsi tersebut tidak terbukti. Tampaknya pendidik yang telah lama bertugas merasa lebih yakin bahwa terdapat dukungan untuk melakukan perubahan dalam bidang pendidikan dan memandang pendidikan inklusif secara lebih positif daripada rekan-rekan sejawatnya yang kurang berpengalaman. Mungkin para pendidik mengembangkan rasa percaya diri melalui pengalaman. Karena mereka sudah menguasai isyu-isyu yang kompleks dalam manajemen kelas dan seluk-beluk sekolah, maka mereka memiliki kapasitas yang lebih besar untuk menerima tantangan-tantangan perkembangan pendidikan seperti pendidikan inklusif. Bahwa para profesional yang lebih muda tidak terbuka terhadap perubahan paradigma ini memang mengherankan dan perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui penyebabnya.

    Jabatan responden tampaknya merupakan variabel bebas yang besar signifikansinya. Perbedaan antara kelompok-kelompok responden tampak jelas bila dikaitkan dengan jabatannya. Guru reguler adalah yang paling rendah dalam tingkat positivitasnya terhadap pernyataan-pernyataan mengenai strategi yang efektif untuk memenuhi kebutuhan semua siswa. Mungkin mereka terus mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan semua siswa meskipun ada dukungan dari program-program seperti Chapter I atau program pendidikan luar biasa. Kebijakan-kebijakan mengenai strategi yang efektif mungkin memerlukan klarifikasi bagi guru-guru reguler.
    Kepala sekolah mencapai mean tertinggi untuk item-item mengenai dukungan bagi perubahan dalam bidang pendidikan. Hal ini positif dalam kaitannya dengan isyu reformasi sekolah berbasiskan manajemen. Jika kepala sekolah merasa berwenang untuk melakukan perubahan dan mengimplementasikan strategi-strategi yang kreatif, mungkin kebijakan-kebijakan reformasi sekolah dapat diintegrasikan pada tingkat sekolah. Juga penting untuk mencari cara guna lebih memberdayakan guru reguler dan guru PLB, jika kebijakan pendidikan inklusif ingin berhasil pada tingkat sekolah.
    Mean guru PLB untuk item-item yang berkaitan dengan dukungan untuk melakukan perubahan dalam bidang pendidikan adalah yang paling rendah di antara ke empat kelompok jabatan yang diteliti. Berdasarkan respon guru reguler terhadap item-item tentang pendidikan inklusif, ada kemungkinan guru PLB mendapatkan resistensi dari guru reguler ketika hendak melaksanakan strategi inklusif untuk siswa-siswa penyandang ketunaan. Kemungkinan lain adalah bahwa guru PLB merasa terisolasi dan tidak memperoleh dukungan dari administrator pendidikan reguler maupun administrator PLB.
    Mean guru reguler untuk item-item tentang pendidikan inklusif (3.71) adalah yang paling rendah dibanding kelompok-kelompok jabatan lainnya. Hasil tersebut tampaknya kontradiktif dengan hasil penelitian Diebold dan Trentham (1987), yang meneliti sikap guru terhadap inklusi di Alabama. Guru reguler dalam penelitian di Alabama tersebut bersikap positif dan bersedia mengajar siswa penyandang ketunaan, merasa memiliki cukup keterampilan dan waktu untuk melaksanakan program integrasi di kelas reguler. Jika dukungan guru-guru reguler terhadap konsep-konsep pendidikan inklusif masih ambivalen, maka mungkin akan sangat sulit untuk melaksanakan strategi pengajaran inklusif secara efektif.
    Administrator PLB sangat setuju dengan konsep-konsep pendidikan inklusif (4.75). Hal ini sesuai dengan ekspektasi peneliti karena mereka adalah pihak yang paling terkait dengan perumusan kebijakan dan advokasi serta paling memahami aspek-aspek hukum pendidikan inklusif.

    Survey nasional tentang inklusi mengungkapkan bahwa ada dua hal yang diperlukan untuk keberhasilan inklusi, yaitu kepemimpinan dan dana (Regional Center on Educational Restructuring and Inclusion, 1994). Survey tersebut mengidentifikasi tiga elemen kepemimpinan yang menentukan keberhasilan inklusi: (1) pandangan yang positif tentang nilai pendidikan bagi siswa penyandang ketunaan, (2) pandangan yang positif tentang kapabilitas guru dan sekolah untuk mengakomodasi kebutuhan semua siswanya, dan (3) keyakinan bahwa semua pihak memperoleh manfaat dari inklusi.
    Rose dan Smith (1993) mengkonfirmasi bahwa sikap terhadap inklusi juga penting bagi program prasekolah. Survey nasional yang mereka selenggarakan mengungkapkan bahwa 60% responden setuju bahwa sikap merupakan faktor penting yang berdampak terhadap efektivitas penginklusian anak-anak prasekolah penyandang ketunaan ke dalam setting sekolah reguler.
    Faktor-faktor lain yang sama pentingnya adalah: kesiapan guru, kesadaran, komunikasi, dan kolaborasi.

    Berikut ini adalah empat pernyataan dari item-item angket yang paling disetujui oleh para responden dalam penelitian ini, dengan mean > 5.2.
    1. Modifikasi sangat penting dilakukan bagi siswa yang membutuhkan adaptasi agar memperoleh manfaat dari suatu lingkungan pembelajaran tertentu (mean = 5.6).
    2. Pendidikan luar biasa memberikan layanan yang berharga bagi siswa penyandang ketunaan (mean = 5.4).
    3. Kemajuan siswa sebaiknya dinilai berdasarkan kemampuan, bukan hanya berdasarkan tes standar (mean = 5.2).
    4. Jumlah maksimal siswa per kelas sebaiknya dikurangi bila siswa penyandang ketunaan ditempatkan di kelas reguler (mean = 5.2).

    Implikasi terhadap Kebijakan

    1. Para pembuat kebijakan pendidikan harus memahami bahwa "modifikasi sangat penting dilakukan bagi siswa yang membutuhkan adaptasi agar memperoleh manfaat dari suatu lingkungan pembelajaran tertentu". Melakukan modifikasi itu bukan hanya penting, melainkan juga diamanatkan oleh undang-undang.
    2. "Individualisasi pengajaran". Guru bersedia mengindividualisasikan pengajaran, tetapi mereka biasanya perlu bantuan dalam mengembangkan strategi ini. Bantuan itu berupa penambahan alokasi waktu dan biaya program.
    3. Pernyataan "pendidikan luar biasa memberikan layanan yang berharga bagi siswa penyandang ketunaan" memperoleh mean kedua tertinggi dalam respon terhadap survey ini. Peneliti memandang ini sebagai suatu indikasi bahwa para pendidik di Georgia memandang PLB sebagai efektif. Oleh karena itu, pemberian informasi mengenai konsep-konsep seperti "least restrictive environment" dan "continuum of services" perlu terus diupayakan. Upaya ini perlu dimasukkan ke dalam kebijakan program pada tingkat pra-jabatan dalam mata kuliah seperti "pengenalan terhadap anak-anak berkelainan". Upaya tersebut perlu juga memperoleh penekanan pada tingkat sekolah dan tingkat wilayah, dan pada tingkat regional jika dipandang perlu.
    4. Respon tertinggi ketiga terhadap survey ini mengindikasikan bahwa kemajuan siswa sebaiknya dinilai berdasarkan kemampuan, bukan hanya berdasarkan tes standar. Masalah ini menjadi pelik, karena meningkatkan standar akademik merupakan prioritas negara bagian maupun nasional. Sekolah, wilayah dan negara bagian sering diukur berdasarkan skor para siswanya pada tes standar. Akan tetapi, menjamin bahwa semua siswa dipacu untuk meningkatkan kemampuan akademiknya, sementara semua siswa harus dimungkinkan untuk belajar sesuai dengan tingkat kemampuan dirinya, merupakan isyu sentral dalam reformasi kebijakan sekolah sejak tahun 1990-an. Sekolah yang "non-graded", pengelompokan heterogen, pendidikan inklusif, pengajaran kolaboratif, dsb. merupakan komponen-komponen yang mempengaruhi tujuan yang kompleks untuk memberi kesempatan belajar yang tepat kepada semua siswa.
    5. "Jumlah maksimal siswa per kelas sebaiknya dikurangi bila siswa penyandang ketunaan ditempatkan di kelas reguler". Pernyataan ini disetujui oleh mayoritas responden (mean = 5.2). Hal ini menyangkut kebijakan pendanaan dari tingkat negara bagian. Sebuah komite yang dibentuk oleh Dewan Pendidikan Negara Bagian Georgia kini sedang mengevaluasi kebutuhan dana untuk PLB. Komite ini juga sedang meneliti aspek pendanaan untuk berbagai model pengajaran termasuk model inklusi. Peneliti berharap bahwa hasil kerja komite tersebut akan menghasilkan kebijakan untuk mengurangi jumlah maksimal siswa per kelas dan meningkatkan alokasi dana untuk penambahan personel bila model-model seperti inklusi, kolaborasi atau team teaching diterapkan.

    Implikasi untuk Indonesia

    Pendidikan inklusif tampaknya telah menjadi wacana yang semakin hangat di kalangan akademisi dan birokrat di bidang PLB di Indonesia, tetapi sekolah-sekolah reguler, khususnya SD - di mana inklusi seharusnya berdomisili - tampaknya masih asing dengan konsep ini. Sejauh manakah kesiapan kalangan sekolah reguler menerima gagasan inklusi, terutama kesiapan dalam bentuk sikap yang positif terhadap pendidikan inklusif, memerlukan penelitian untuk menjawabnya, yang hasilnya dapat dipergunakan sebagai salah satu dasar perumusan kebijakan yang mengarah pada implementasi inklusi di Indonesia.


    Sumber:
    Galis, S. A. & Tanner, C. K. (1995). Inclusion in Elementary Schools: A Survey and Policy Analysis. Education Policy Analysis Archives, Volume 3 Number 15, October 12, 1995 ISSN 1068 2341. (Online). Available: http://epaa.asu.edu/epaa/v3n15.html

    Labels:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke DAFTAR ISI