DOCTYPE html PUBLIC "-//W3C//DTD XHTML 1.0 Strict//EN" "http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-strict.dtd"> Didi Tarsidi: Counseling, Blindness and Inclusive Education: Keyakinan dan Praktek Inklusi di Kalangan Kepala Sekolah dan Guru Sekolah Menengah
  • HOME


  • Guestbook -- Buku Tamu



    Anda adalah pengunjung ke

    Silakan isi Buku Tamu Saya. Terima kasih banyak.
  • Lihat Buku Tamu


  • Comment

    Jika anda ingin meninggalkan pesan atau komentar,
    atau ingin mengajukan pertanyaan yang memerlukan respon saya,
    silakan klik
  • Komentar dan Pertanyaan Anda




  • Contents

    Untuk menampilkan daftar lengkap isi blog ini, silakan klik
  • Contents -- Daftar Isi




  • Izin

    Anda boleh mengutip artikel-artikel di blog ini asalkan anda mencantumkan nama penulisnya dan alamat blog ini sebagai sumber referensi.


    29 July 2009

    Keyakinan dan Praktek Inklusi di Kalangan Kepala Sekolah dan Guru Sekolah Menengah

    Keyakinan dan Praktek Inklusi di Kalangan Kepala Sekolah dan Guru Sekolah Menengah

    C. Kenneth Tanner, The University of Georgia
    Deborah Jan Vaughn Linscott, Fulton County (GA) Schools
    Susan Allan Galis, Commerce City (GA) Schools

    Reviu oleh Didi Tarsidi
    Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)


    Abstrak

    Studi ini meneliti isyu-isyu seputar reformasi sekolah yang menyangkut pendidikan inklusif di seluruh Amerika Serikat. Sebanyak 714 guru dan kepala sekolah menengah yang dipilih secara acak telah memberikan respon terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang inklusi, "tingkat perubahan yang diperlukan" dan "pentingnya" strategi pengajaran kolaboratif, hambatan-hambatan inklusi, dan kegiatan-kegiatan serta konsep-konsep pendukung untuk pendidikan inklusif. Terdapat perbedaan persepsi di kalangan guru dan kepala sekolah mengenai beberapa aspek pendidikan inklusif dan strategi kolaboratif. Misalnya, kepala sekolah dan guru PLB lebih positif tentang pendidikan inklusif daripada guru reguler.
    Kolaborasi sebagai satu strategi pembelajaran bagi siswa "inklusi" dipandang sebagai prioritas tinggi. Para responden yang pernah mengambil dua mata kuliah atau lebih dalam bidang undang-undang persekolahan lebih tinggi rating-nya dalam identifikasinya terhadap hambatan bagi pendidikan inklusif daripada mereka yang kurang pendidikan formalnya dalam bidang ini.

    Perumusan Masalah

    Masalah yang diteliti dalam studi ini adalah kurangnya informasi tentang isyu-isyu sekputar inklusi (pendidikan inklusif) di kalangan kepala sekolah dan guru sekolah menengah. Penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan berikut: Bagaimanakah persepsi para pendidik di sekolah menengah mengenai inklusi sebagai satu kemungkinan sistem penyelenggaraan pendidikan bagi para siswa penyandang ketunaan?

    Variabel Penelitian

    Variabel terikat:
    - pendidikan inklusif
    - strategi kolaboratif
    - hambatan inklusi
    - kegiatan dan konsep pendukung pendidikan inklusif.

    Variabel bebas:
    - jabatan responden saat ini
    - jumlah tahun (lamanya) responden dalam posisinya saat ini
    - jumlah tahun (lamanya) sebagai administrator sekolah
    - jumlah tahun (lamanya) dalam bidang pendidikan dan
    - jumlah mata kuliah yang pernah diambil dalam bidang undang-undang persekolahan.
    Pertanyaan Penelitian

    Apakah terdapat perbedaan yang secara statistik signifikan di antara variabel-variabel bebas sehubungan dengan keyakinan dan praktek para personel sekolah menengah bila mempertimbangkan:
    1) pendidikan inklusif,
    2) strategi kolaboratif,
    3) faktor-faktor yang dianggap sebagai penghambat pendidikan inklusif, dan
    4) kegiatan-kegiatan dan konsep-konsep yang mendukung pendidikan inklusif?


    Prosedur Penelitian

    Desain Penelitian
    Sekolah-sekolah dipilih secara acak. Sampel adalah 574 sekolah yang ditarik dari populasi sebanyak 12.941 SMP dan SMU negeri di seluruh Amerika Serikat. Sebaran kesalahan (error range) untuk sampel itu adalah 4% (d < .04).

    Instrumen Penelitian
    Untuk mengumpulkan data dipergunakan angket yang pertanyaan-pertanyaannya sebagian diambil dengan izin tertulis dari Galis (1994), ditambah dengan pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan kondisi yang ada. Instrumen ini berfokus pada keyakinan dan praktek para personel sekolah menengah.

    Validitas
    Angket dikaji oleh panel ahli termasuk sejumlah administrator pendidikan luar biasa untuk menetapkan face validity dan content validity.

    Reliabilitas (Fase I)
    Reliabilitas instrumen ditentukan dalam dua fase. Sebelum disebarkan, dua puluh orang pendidik sesuai dengan pengelompokan sampel diminta untuk bersukarela merespon instrumen. Dua minggu kemudian mereka merespon instrumen itu lagi.
    Item-itemnya kemudian ditelaah menggunakan repeated measure design. Uji t untuk mean sampel yang berkorelasi dipergunakan untuk menguji hipotesis nol yang menunjukkan tidak perbedaan yang signifikan di antara kedua kemungkinan respon untuk setiap item. Analisis test retest menggunakan kriteria bahwa item-item yang melebihi nilai t kritis 2,093 harus dihapus dari instrumen (Alpha = .05, df = 19). Tidak ada item yang lebihi nilai tersebut, sehingga tidak ada yang dihapus atas dasar kriteria tersebut.

    Reliabilitas (Fase II)
    Data dari sampel yang lebih besar dianalisis menurut uji koefisien alpha dari Cronbach untuk menentukan reliabilitas kelompok-kelompok item. Uji tersebut menentukan koefisien korelasi antara respon terhadap satu item dengan respon terhadap item-item lain dalam satu kelompok item. De Vaus (1986) menetapkan koefisien alpha sebesar .70 sebagai koefisien terbaik. Item-item dihapus jika penghapusan item yang bersangkutan meningkatkan alpha kelompok item itu menjadi .70 atau lebih tinggi. Berdasarkan kriteria tersebut, ada satu item yang dihapus.
    Koefisien untuk kelima kategori variabel terikat dalam penelitian ini adalah:
    Pendidikan inklusif (.78),
    tingkat perubahan yang diperlukan untuk memasukkan strategi kolaboratif (.82),
    pentingnya faktor-faktor yang mendukung pengintegrasian siswa (.71),
    faktor-faktor yang dianggap sebagai penghambat lingkungan inklusif (.77),
    dan faktor-faktor yang dianggap mendukung lingkungan inklusif (.72).

    Pengumpulan Data
    Setiap sekolah diberi tiga set angket; satu untuk diisi oleh kepala sekolah, satu untuk guru reguler, dan satu untuk guru PLB. Angket dikirimkan dan dikembalikan melalui pos.

    Penyajian dan Analisis Data
    Setiap variabel dianalisis berdasarkan frekuensi responnya, dan variabel-variabel itu juga diperbandingkan. Analisis satu jalur maupun dua jalur terhadap varian (ANOVA) dilakukan (Alpha = .05).

    Temuan

    Pertanyaan Penelitian Satu
    Apakah terdapat perbedaan yang secara statistik signifikan di antara variabel-variabel bebas sehubungan dengan pendidikan inklusif?
    Terdapat perbedaan yang signifikan sehubungan dengan pendidikan inklusif menurut jabatan (F = 19.63, p = .001). Analisis Scheffe menunjukkan bahwa kepala sekolah (mean = 4.54) dan guru PLB (mean = 4.59) lebih menyetujui pernyataan-pernyataan tentang pendidikan inklusif daripada guru reguler (mean = 4.16).

    Pertanyaan Penelitian Dua
    Apakah terdapat perbedaan yang secara statistik signifikan di antara variabel-variabel bebas sehubungan dengan strategi kolaboratif?
    Terdapat perbedaan yang secara statistik signifikan antara guru reguler (4.79) dan guru PLB (5.05) mengenai trategi kolaboratif, tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan antara kepala sekolah (4.97) dan persepsi guru; tetapi terdapat perbedaan yang signifikan antara kepala sekllah dan guru PLB di satu pihak dan guru reguler di pihak lain. Guru reguler memandang pengintegrasian siswa sebagai kurang penting dibandingkan dengan kedua kelompok subyek lainnya.

    Pertanyaan Penelitian Tiga
    Apakah terdapat perbedaan yang secara statistik signifikan di antara variabel-variabel bebas mengenai faktor-faktor yang dianggap sebagai penghambat bagi pendidikan inklusif?
    Menurut analisis uji varian, jabatan responden bukan faktor yang secara statistik signifikan untuk dianggap sebagai faktor penghambat bagi inklusi. Lamanya pengalaman dalam jabatan saat ini, lamanya pendidikan, lamanya pengalaman administratif bagi kepala sekolah, dan lamanya pendidikan bagi kepala sekolah, tidak menunjukkan hasil yang signifikan sehubungan dengan faktor-faktor penghambat ini.
    Terdapat hubungan yang signifikan antara item-item tentang faktor penghambat dengan jumlah mata kuliah yang pernah diambil dalam bidang undang-undang persekolahan (F = 3.45, p = .032). Juga terdapat perbedaan yang signifikan antara kepala sekolah dan guru. Kepala sekolah menunjukkan mean respon yang lebih rendah tentang faktor penghambat.

    Pertanyaan Penelitian Empat
    Apakah terdapat perbedaan yang secara statistik signifikan di antara variabel-variabel bebas mengenai faktor-faktor yang dianggap mendukung pendidikan inklusif?
    Analisis data untuk kepala sekolah menunjukkan hubungan yang signifikan antara lamanya pengalaman administratif dan persepsinya tentang faktor-faktor pendukung inklusi (F = 3.37, p = .019). Kelompok satu (kepala sekolah dengan pengalaman sekurang-kurangnya 6 tahun) menunjukkan mean yang lebih tinggi daripada kelompok empat (17 32 tahun).

    Diskusi Temuan Penelitian

    Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan di kalangan jabatan responden tentang persepsi mereka mengenai pendidikan inklusif dan pentingnya strategi pembelajaran kolaboratif. Lamanya pengalaman dalam bidang pendidikan menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam persepsi mengenai pentingnya strategi kolaboratif. Jumlah mata kuliah yang pernah diambil dalam bidang undang-undang persekolahan secara signifikan terkait dengan persepsi tentang faktor-faktor penghambat inklusi.
    Penelitian Arrington (1992) mendukung temuan penelitian ini bahwa lamanya pengalaman dalam bidang pendidikan tidak berpengaruh secara signifikan pada dukungan responden terhadap pendidikan inklusif.

    1. Persepsi tentang Pendidikan Inklusif

    Kepala sekolah dan guru PLB masing-masing secara signifikan berbeda dengan guru reguler mengenai persepsi mereka tentang pendidikan inklusif. Guru reguler kurang mendukung pendidikan inklusif dibandingkan kedua kelompok jabatan lainnya. Arrington (1993) dan Farley (1991) menemukan bahwa kepala sekolah paling mendukung sedangkan McFerrin (1987) menemukan bahwa guru PLB lebih mendukung daripada guru reguler dalam semua bidang mainstreaming.

    2. Strategi Kolaboratif

    Bila kelompok guru PLB dan guru reguler dianalisis dalam variabel strategi kolaboratif, ditemukan perbedaan yang signifikan. Guru PLB jauh lebih setuju dengan "perlunya" dan "pentingnya" strategi kolaboratif daripada guru reguler.
    Responden dengan pengalaman mengajar 13-19 tahun sangat setuju dengan pentingnya kolaborasi, konsultasi, dan perencanaan bersama (kelompok item strategi kolaboratif). Responden-responden ini berada pada pertengahan karirnya. Mungkin pengalaman para pendidik ini telah menanamkan keyakinan dan pemahaman tentang pentingnya kerjasama. Mean mereka dalam kelompok item strategi kolaboratif lebih tinggi daripada mean kelompok-kelompok item lainnya. Guru reguler adalah yang paling kurang setuju dengan pernyataan-pernyataan tentang strategi kolaboratif. Respon guru reguler ini mungkin mencerminkan beban yang harus dipikul guru untuk memenuhi kebutuhan semua siswa, terutama dalam kaitannya dengan perubahan yang terjadi di sekolah-sekolah di Amerika.
    Kepala sekolah mungkin memiliki gambaran yang lebih menyeluruh tentang sekolah; dan guru PLB mungkin memiliki gambaran yang lebih jelas mengenai kemampuan siswa penyandang ketunaan, sehingga mereka setuju dengan strategi kolaboratif.
    Peneliti berasumsi bahwa sarjana pendidikan lulusan baru akan sangat setuju dengan strategi kolaboratif karena banyak di antara mereka mengambil mata kuliah ini dan banyak negara bagian sekarang mempersyaratkan ditempuhnya mata kuliah PLB untuk pemberian sertifikasi.




    3. Hambatan Inklusi

    Analisis terhadap jabatan yang dikaitkan dengan jumlah mata kuliah undang-undang persekolahan yang pernah diambilnya menghasilkan temuan yang signifikan dalam kelompok item tentang pandangan mengenai faktor-faktor penghambat inklusi.
    Kepala sekolah memandang kondisi bagi inklusi sebagai kurang prohibitif dibandingkan kedua kelompok responden lainnya. Responden yang pernah mengambil dua mata kuliah atau lebih dalam bidang undang-undang persekolahan mungkin memiliki lebih banyak pengetahuan tentang faktor-faktor penghambat inklusi.
    Data dari kepala sekolah menghasilkan mean terendah dalam kategori ini. Guru reguler memberikan mean respon tertinggi yang menunjukkan bahwa mereka memandang bahwa pendidikan inklusif menghadapi banyak hambatan. Tiga hambatan tertinggi adalah kurangnya jumlah staf, kurangnya waktu untuk perencanaan bersama antara guru reguler dan guru PLB, dan kurangnya waktu yang dialokasikan untuk perencanaan pendidikan secara umum. Temuan-temuan ini hampir sama dengan hambatan-hambatan yang ditemukan oleh Burello dan Wright (1992) dan West dan Cannon (1988). Iklim sekolah, negosiasi dengan organisasi guru, dan kebijakan dewan sekolah memberikan mean terendah, yang menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut bukan merupakan faktor yang paling menghambat bagi inklusi. Masalah pendanaan diidentifikasi sebagai penghambat utama oleh beberapa peneliti (Dempsey dan Fuchs, 1993; McLaughlin dan Owings, 1992; National Council on Disability, 1995), tetapi responden dalam penelitian ini tidak memandang masalah dana sebagai penghambat ataupun pendukung inklusi.

    4. Kegiatan Dan Konsep Pendukung Pendidikan Inklusif

    Lamanya kepala sekolah memegang jabatan administratif signifikan dalam kelompok item mengenai faktor-faktor pendukung integrasi siswa penyandang ketunaan. Kepala sekolah dengan pengalaman paling sedikit (1 6 tahun) lebih mendukung pendidikan inklusif daripada kedua kelompok responden lainnya. Ini mungkin disebabkan oleh karena masa pendidikan undang-undang persekolahan mereka lebih kini dan pengetahuan mereka mengenai isyu-isyu reformasi sekolah lebih mutakhir. Temuan McCaneny (1992) juga paralel, yaitu bahwa kepala sekolah yang lebih berpengalaman cenderung kurang mendukung pengintegrasian siswa penyandang ketunaan.
    Data dari guru PLB menghasilkan mean tertinggi untuk pendidikan inklusif. Guru PLB mungkin sudah lebih terekspos pada perdebatan mengenai pendidikan inklusif melalui literatur profesionalnya daripada kedua kelompok responden lainnya. Guru reguler adalah yang terendah mean-nya dalam kategori ini dan kurang mendukung pendidikan inklusif dibandingkan kedua kelompok responden lainnya. Kepala sekolah dan guru PLB hampir sama mean-nya. Urutan peringkat yang identik ditemukan juga dalam penelitian Galis terhadap personel guru sekolah dasar di Georgia (1994).
    Mean respon mengenai dukungan yang dibutuhkan untuk inklusi hampir sama untuk ketiga kelompok responden; guru PLB sedikit lebih tinggi. Tiga dukungan dengan skor mean tertinggi adalah dana untuk pelatihan staf, dana dan/atau waktu khusus yang dialokasikan untuk perencanaan staf kolaboratif, dan adanya guru senior yang terlatih dalam bidang PLB dan strategi pembelajaran. Item-item ini dipandang sebagai yang paling mendukung bagi terciptanya lihgkungan inklusif. NCERI (1994) mengidentifikasi kebutuhan yang serupa: pelatihan staf, sistem dukungan kolaboratif dan waktu untuk perencanaannya, serta perlu adanya kepemimpinan yang berwawasan luas. Wolery et al. (1995) mengidentifikasi prioritas yang sama, yaitu perlunya pelatihan, pertemuan, dan personel pendukung.
    Respon terhadap ketiga item mengenai perlunya perubahan menunjukkan adanya persetujuan yang kuat. "Pelatihan dalam cara-cara modifikasi bagi siswa penyandang ketunaan yang membutuhkan adaptasi dalam lingkungan pembelajaran" menduduki peringkat tertinggi.
    Perlunya pengembangan staf untuk pengajaran kolaboratif dan lebih banyak kesempatan untuk kolaborasi juga memperoleh dukungan kuat. Respon terhadap item-item ini menunjukkan adanya kemauan untuk mengembangkan keterampilan untuk mengajar siswa inklusi. Kolaborasi, dan dukungan bagi staf dan siswa juga diidentifikasi oleh NCERI sebagai hal-hal yang diperlukan (Lipsky, 1994).

    Implikasi untuk Indonesia

    Penempatan anak penyandang ketunaan (khususnya anak tunanetra) di sekolah menengah reguler telah dipraktekkan di beberapa tempat di Indonesia sejak tahun 1960-an bahkan sebelum istilah “integrasi” dikenal di dalam masyarakat pendidikan Indonesia. Akan tetapi, apakah ini berarti bahwa ideologi pendidikan inklusif telah diterima dengan baik di kalangan guru dan kepala sekolah menengah di Indonesia? Tampaknya jawabannya masih cenderung negatif. Sementara beberapa SMA telah menerima siswa penyandang ketunaan sebagai siswanya, sebagian besar sekolah menengah umum tampaknya masih cenderung memandang siswa penyadnang ketunaan sebagai siswa yang eksklusif, yang seharusnya ditempatkan di sekolah khusus (SLB).

    Di banyak negara maju, penempatan guru PLB di sekolah reguler telah banyak dipraktekkan guna membantu memenuhi kebutuhan khusus siswa penyandang ketunaan yang belajar bersama-sama dengan siswa-siswa non-penyandang ketunaan dalam setting inklusi. Di Indonesia, guru PLB yang ditugasi untuk memberikan dukungan (layanan khusus) kepada anak penyandang ketunaan di sekolah reguler dikenal dengan istilah “guru pembimbing khusus” (GPK). Di kalangan birokrat Dinas Pendidikan di beberapa daerah di Indonesia, gagasan tentang GPK sudah mulai berkembang meskupun prakteknya masih menghadapi beberapa kendala. Masih menjadi perdebatan apakah seharusnya GPK ini tetap terikat dengan SLB sebagai home base atau apakah seharusnya mereka diangkat sebagai guru tetap di sekolah reguler yang bersangkutan. Satu alternatif lain yang telah menjadi wacana adalah bahwa GPK ini diangkat sebagai pegawai Dinas Pendidikan sehingga mereka dapat secara lebih fleksibel ditugasi memberikan layanan pendidikan khusus ke sekolah-sekolah reguler yang membutuhkannya.

    Sumber:
    Education Policy Analysis Archives. Volume 4 Number 19December 24, 1996. Tersedia: http://epaa.asu.edu/epaa/v4n19.html

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke DAFTAR ISI