DOCTYPE html PUBLIC "-//W3C//DTD XHTML 1.0 Strict//EN" "http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-strict.dtd"> Didi Tarsidi: Counseling, Blindness and Inclusive Education: Menyambut pelaksanaan Permendiknas no 70 tahun 2009
  • HOME


  • Guestbook -- Buku Tamu



    Anda adalah pengunjung ke

    Silakan isi Buku Tamu Saya. Terima kasih banyak.
  • Lihat Buku Tamu


  • Comment

    Jika anda ingin meninggalkan pesan atau komentar,
    atau ingin mengajukan pertanyaan yang memerlukan respon saya,
    silakan klik
  • Komentar dan Pertanyaan Anda




  • Contents

    Untuk menampilkan daftar lengkap isi blog ini, silakan klik
  • Contents -- Daftar Isi




  • Izin

    Anda boleh mengutip artikel-artikel di blog ini asalkan anda mencantumkan nama penulisnya dan alamat blog ini sebagai sumber referensi.


    30 December 2009

    Menyambut pelaksanaan Permendiknas no 70 tahun 2009

    Butuh diagnosa dokter atau diagnosa orthopedagogi?
    Oleh Julia Maria van Tiel

    Di akhir jabatannya, Mendiknas Bambang Soedibyo masih sempat menandatangi sebuah Permendiknas no 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi peserta didik yang mempunyai kelainan dan potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Bagi saya sebagai pembina kelompok diskusi orang tua cerdas istimewa anakberbakat@yahoogroups.com tentu saja adalah suatu kebahagian tersendiri. Karena itu, peristiwa ini harus disambut dengan sukacita. Sebab usulan kami sudah berusia tahunan agar pendidikan anak tercerdas kita perlu dibenahi melalui suatu bentuk pendidikan yang sangat fleksibel terhadap pola tumbuh kembangnya yang seringkali didapati tidak harmonis. Seorang anak cerdas istimewa terutama yang mempunyai perkembangan potensi kognitif yang luar biasa, sering mengalami ketidak teraturan tumbuh kembang. Kondisi ini dapat menyulitkan pendidikannya. Masa kecilnya dapat disalahartikan sebagai segala macam kondisi anak bergangguan, mulai dari anak autisme (karena terlambat bicara); anak ADHD (karena banyak gerak dan terlalu eksplorasi nampak bagai anak kurang konsentrasi); gangguan emosi (karena keras kepala dan meledak-ledak), bergangguan jiwa (karena mudah frustrasi dan masuk ke dalam kondisi depresi); Schizophrenia (karena suka menghayal sampai hayalan yang bizar); gangguan belajar (karena tidak berprestasi); bahkan retardasi mental (karena saat di tes psikologi profilnya IQ anjlog sebab alat tes nya memang dari norma anak normal, sehingga alat tesnya harus khusus bagi kelompoknya). Ia tak mungkin terjaring masuk kelas akselerasi, tetapi perlu inklusi.

    Mendidik dan mengasuh anak-anak seperti ini adalah suatu perjuangan tersendiri, bukan saja kita harus memberinya layanan bagi dorongan internalnya yang besar guna mengembangkan perkembangan kognitifnya yang luar biasa, tetapi ia adalah seorang anak yang emosinya luar biasa sensitif. Bahkan kadang diikuti suatu gangguan yang memang patologis. Karena itu guru atau pun orang tua perlu meningkatkan kehati-hatian yang luar biasa, agar karakteristiknya yang rentan itu tidak salah tertangani dan memunculkan masalah baru berupa masalah sosial emosional dan masalah perilaku, yang berujung pada ia tak pernah bisa menunjukkan prestasi istimewanya. Ia membutuhkan strategi pendidikan yang khusus.

    Menyambut Permendiknas yang sudah diidam-idamkan sejak lama ini, sayangnya justru sudah membuat kebingungan pihak orang tua maupun sekolah. Sebab sejatinya, dalam kelas inklusi tidak lagi membicarakan label dokter, yang dibutuhkan adalah psiko-edukasional diagnostik yang dapat mengarahkan bagaimana penanganan anak tersebut di dalam kelas. Sementara itu diagnosa dokter dibutuhkan oleh dokter guna pengambilan keputusan rencana terapinya. Tentu saja kedua hal itu sangat berbeda kebutuhannya. Dan jelas pula diagnosa dokter tidak aplikatif di dalam kelas bagi guru untuk mengajar murid berkekhususan itu. Diagnosa dokter bukan dimaksudkan untuk menentukan strategi pendidikannya. Ia masih harus diterjemahkan oleh seorang psikolog bersama ahli pendidikan kekhususan, menjadi diagnosa psiko-edikasional yang aplikatif bagi guru kelas dan orang tua. Namun apa yang diuraikan dalam Permendiknas no 70 tahun 2009 ini? Kita simak pasal-pasal di bawah ini.

    Pasal 11 ayat (1): Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif berhak memperolah bantuan profesional sesuai dengan kebutuhan dari pemerintah kabupaten/kota.
    Ayat (4) b. bantuan profesional dalam penerimaan, identifikasi dan asesmen, prevensi,
    intervensi, kompensatoris dan layanan advokasi peserta didik.
    Ayat (5) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif dapat bekerjasama dan
    membangun jaringan dengan satuan pendidikan khusus, perguruan tinggi, organisasi
    profesi, lembaga rehabilitasi, rumahsakit dan pusat kesehatan masyarakat, klinik
    terapi, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan masyarakat.

    Pasal dan ayat di atas, nampak jelas, bahwa pihak sekolah akan menerima bantuan identifikasi dan asesmen, prevensi maupun intervensi. Tapi justru hal ini membuat pusing kepala orang tua dan pihak sekolah. Sebab anak berkebutuhan khusus dalam butir Permendiknas itu, yaitu Kesulitan Belajar saja bentuknya bisa beragam-ragam, tingkatan inteligensinya beragam, penyebabnya juga macam-macam. Penyebabnya bisa mulai dari masalah lingkungan (rumah, sekolah, teman), atau memang si anak mempunyai gangguan. Gangguannya dapat sementara, dapat kronis, atau dapat seumur hidup. Gangguannya bisa ekslusif tidak menyebabkan gangguan lain, dan bukan disebabkan gangguan lain. Bisa muncul karena adanya gangguan lain, ada juga bisa berat karena ada gangguan lain yang mengikutinya. Atau juga jika ada gangguan sesuatu maka pasti akan diikuti dengan suatu gangguan lain. Lalu profesi mana, yang mampu mengutak-atik masalah ini. Bentuknya diagnosa apa? Diagnosa dokter, diagnosa psikologi, atau diagnosa orthopedagogi?

    Diagnosa dokter arahnya jelas, kepada rencana terapi dari sudut ilmu kedokteran. Diagnosa psikologi, jelas kepada masalah emosi dan perilaku. Diagnosa orthopedagogi, jelas arahnya kepada bagaimana memberinya strategi pendidikannya. Dalam hal pendidikan di dalam kelas, jelas tidak dapat hanya diagnosa dokter saja, diagnosa psikologi saja, dan tidak dapat hanya diagnosa orthopedagoginya. Seorang anak berkekhususan memerlukan pendeteksian dan pendiagnosisan dari begitu banyak tenaga profesi secara terpadu. Mulai dari awal diperiksa-periksa oleh dokter tumbuh kembang yang membuat jaringan perujukan dengan berbagai bidang ilmu kedokteran (neurologi, THT, psikiatri, dan sebagainya); lalu ke psikolog untuk melihat bagaimana pola perkembangan inteligensi, emosi, perilaku, dan kemandiriannya; lalu ke orthopedagog untuk melihat bagaimana gaya belajarnya, dan tingkat kemampuan didaktiknya.

    Orthopedagog mempunyai tugas membimbing guru maupun tenaga konselor bagaimana strategi pengajaran dan materi yang harus diberikan kepada siswa, termasuk pengelolaan emosi dan perilaku anak. Menangani seorang anak berkekhususan memerlukan pendekatan yang komprehensip dari berbagai data tadi. Sehingga di dalam kelas inklusi bukan hanya terjadi adanya diferensiasi kurikulum tetapi juga terjadi diferensiasi tumbuh kembang anak.

    Kembali kepada pasal dan ayat di atas, Permendiknas ini tidak menjelaskan siapa profesinya yang perlu dihubungi, namun disebut-sebut rumah sakit dan pusat-pusat kesehatan. Artinya pelaksana bisa mendapatkan pemahaman bahwa mereka hanya memerlukan rumah sakit, pusat kesehatan, panti rehabilitasi, dan klinik intervensi. Apabila yang terjadi demikin, maka dengan sendirinya Permendiknas ini akan menjadi sumber pembimbingan pada pengawuran. Mengapa pengawuran? Sebab pihak sekolah dapat meminta saran dari tenaga kesehatan (dokter) bagaimana cara menangani anak tersebut di dalam kelas. Padahal tugas ini adalah tugas seorang orthopedagog (ahli pendidikan anak berkekhususan), bukan pekerjaan dokter. Dengan adanya Permendiknas ini akan menyebabkan profesi kedokteran menjadi terbuka bermain ahli-ahlian pendidikan berkekhususan, artinya menyalahi kode etik. Karena bekerja tanpa mempunyai kompetensi yang benar. Namun pada pasal akhir ada ancaman bila pelaksana/sekolah inklusi melanggar peraturan. Apakah hal tadi bukan pelanggaran?

    Pendidikan inklusi memang sudah seharusnya dilaksanakan, karena ia merupakan seruan dunia, bahwa pendidikan harus memperhatikan keanekaragaman siswa, dan setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang sebaik-baiknya. Disamping itu agar pendidikan ini dapat berjalan, maka dibutuhkan suatu lembaga bantuan psikologi-pedagogi yang posisinya paling dekat dengan sekolah. Lembaga ini akan mendampingi sekolah-sekolah inklusi, membantu guru, konselor, maupun orang tua dan siswa. Bersama-sama merancang dan mengevaluasi program pendidikan individual. Lembaga ini biasanya berada di bawah naungan kementerian pendidikan. Tetapi pilar pendidikan inklusi ini di Indonesia tidak ada. Tanpa lembaga ini saya berani sumpah pocong, kelas inklusi tidak bisa jalan.

    Julia Maria van Tiel, pembina kelompok diskusi orang tua anak cerdas istimewa,
    anakberbakat@yahoogroups.com

    Labels:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke DAFTAR ISI