DOCTYPE html PUBLIC "-//W3C//DTD XHTML 1.0 Strict//EN" "http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-strict.dtd"> Didi Tarsidi: Counseling, Blindness and Inclusive Education: Paradigma HAM dalam Pendidikan Inklusif
  • HOME


  • Guestbook -- Buku Tamu



    Anda adalah pengunjung ke

    Silakan isi Buku Tamu Saya. Terima kasih banyak.
  • Lihat Buku Tamu


  • Comment

    Jika anda ingin meninggalkan pesan atau komentar,
    atau ingin mengajukan pertanyaan yang memerlukan respon saya,
    silakan klik
  • Komentar dan Pertanyaan Anda




  • Contents

    Untuk menampilkan daftar lengkap isi blog ini, silakan klik
  • Contents -- Daftar Isi




  • Izin

    Anda boleh mengutip artikel-artikel di blog ini asalkan anda mencantumkan nama penulisnya dan alamat blog ini sebagai sumber referensi.


    01 June 2011

    Paradigma HAM dalam Pendidikan Inklusif

    Paradigma HAM dalam Pendidikan Inklusif:
    Kesempatan dan Tantangan

    Oleh Didi Tarsidi
    Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

    Abstrak

    Makalah ini mengkaji pendidikan inklusif dari sudut pandang hak asasi manusia, khususnya yang digariskan dalam Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (CRPD), dan dikaitkan dengan Pernyataan Salamanca (UNESCO, 1994) dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 70/2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Pembahasan mencakup tentang Konvensi Hak Penyandang Disabilitas, konsep pendidikan inklusif dan sekolah inklusif, tujuan pendidikan inklusif, fasilitas pendukung, pendekatan pembelajaran, jaringan kerja, dan kesempatan dan tantangan dalam implementasi pendidikan inklusif.

    Konvensi Hak Penyandang Disabilitas

    Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities /CRPD) ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 13 Desember 2006, dan pada tanggal 30 Maret 2007 CRPD terbuka untuk penandatanganan. Lebih dari 80 negara menandatangani (termasuk Indonesia) dan 1 negara (Kanada) langsung meratifikasi konvensi tersebut. Pada tanggal 3 Mei 2008, CRPD sudah diratifikasi oleh 20 negara sehingga dinyatakan mulai dapat diberlakukan. Pada bulan Mei 2010, 144 negara menandatangani dan 87 negara sudah meratifikasi CRPD. Negara ASEAN yang sudah meratifikasi CRPD adalah Thailand. Di Indonesia, ratifikasi itu masih dalam proses. Dalam lokakarya nasional tentang Konvensi Hak Penyandang Disabilitas yang diselenggarakan oleh Pertuni pada tanggal 29 April 2011 di Semarang, Direktur Pengundangan, Publikasi dan Kerjasama Peraturan Perundang-undangan Kementerian Huikum dan HAM menyatakan bahwa rancangan undang-undang ratifikasi Konvensi Hak Penyandang Disabilitas itu sudah lolos dari proses harmonisasi dan kemungkinan dapat diratifikasi sebelum akhir tahun ini.

    CRPD merupakan satu dari 9 pakta internasional utama mengenai HAM yang mempunyai mekanisme pemantauan, yang secara hukum mengikat Negara-negara anggota PBB. Konvensi ini merupakan standar “benchmark” hukum internasional yang mengatur HAM bagi penyandang disabilitas saat ini. Isi konvensi ini mengelaborasi berbagai peraturan tentang HAM yang sudah ada ke dalam konteks disabilitas, dan tidak menciptakan hak yang baru atau khusus bagi penyandang disabilitas.

    CRPD terdiri dari 50 pasal, dan salah satu di antaranya (pasal 24) mengatur tentang HAM dalam bidang pendidikan bagi penyandang disabilitas.

    Konsep Pendidikan Inklusif dan Sekolah Inklusif

    Pasal 24 CRPD secara tegas menggariskan tentang pentingnya pendidikan inklusif. Paragraf 1 pasal tersebut menyatakan: ” Pihak-pihak negara mengakui hak penyandang disabilitas atas pendidikan. Dalam rangka memenuhi hak ini tanpa diskriminasi dan berdasarkan kesempatan yang sama, Pihak-pihak negara wajib menjamin terselenggaranya sistem pendidikan inklusif pada setiap tingkatan ...”. Ini berarti bahwa CRPD secara tegas mendukung Pernyataan Salamanca (UNESCO, 1994) yang merupakan dokumen kebijakan internasional pertama yang mempromosikan pendidikan inklusif.

    Namun demikian, yang menjadi fokus perhatian Pernyataan Salamanca tidak hanya penyandang disabilitas melainkan semua anak yang mempunyai kebutuhan khusus. Istilah "kebutuhan pendidikan khusus" mengacu pada semua anak dan remaja yang kebutuhannya timbul akibat disabilitas atau kesulitan belajarnya. Pernyataan Salamanca menyatakan bahwa anak dan remaja penyandang disabilitas serta penyandang kebutuhan pendidikan khusus lainnya seyogyanya tercakup dalam perencanaan pendidikan yang dibuat untuk anak pada umumnya. Hal tersebut telah membawa kita pada konsep sekolah inklusif, yaitu sekolah yang mengimplementasikan pendidikan inklusif. Prinsip mendasar dari sekolah inklusif adalah bahwa, selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama, tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada diri mereka. Sekolah inklusif harus mengenal dan merespon terhadap kebutuhan yang berbeda-beda dari para siswanya, mengakomodasi berbagai macam gaya dan kecepatan belajarnya, dan menjamin diberikannya pendidikan yang berkualitas kepada semua siswa melalui penyusunan kurikulum yang tepat, pengorganisasian yang baik, pemilihan strategi pengajaran yang tepat, pemanfaatan sumber dengan sebaik-baiknya, dan penggalangan kemitraan dengan masyarakat sekitarnya.

    Didorong oleh semangat Pernyataan Salamanca yang telah menumbuhkan ideologi pendidikan inklusif di Indonesia sebagaimana halnya di semua bagian dunia ini, Menteri Pendidikan Nasional telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 70 tahun 2009 tentang “Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa”. Di dalam peraturan menteri tersebut, pendidikan inklusif didefinisikan sebagai “sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya”.

    Ainscow (2003) menganalisis bahwa pendidikan inklusif mempunyai empat unsur yaitu: (1) inklusi sebagai sebuah proses; (2) inklusi sebagai usaha mengidentifikasi dan menghilangkan hambatan; (3) inklusi sebagai kehadiran, partisipasi dan pencapaian semua siswa; dan (4) inklusi memberi penekanan khusus pada kelompok-kelompok siswa yang rentan marginalisasi, eksklusi atau underachievement.

    Sebagai sebuah proses, ini berarti bahwa inklusi harus dipandang sebagai pencarian yang tak kunjung berakhir untuk menemukan cara yang lebih baik untuk merespon keberagaman. Inklusi adalah tentang belajar cara hidup dengan perbedaan, dan belajar cara belajar dari perbedaan. Dengan cara ini perbedaan akan dipandang secara lebih positif sebagai suatu stimulus untuk membantu perkembangan belajar, di kalangan anak-anak dan orang-orang dewasa. Sebagai usaha mengidentifikasi dan menghilangkan hambatan, konsekuensinya adalah inklusi berusaha mengumpulkan, menyusun dan mengevaluasi informasi dari berbagai macam sumber guna merencanakan peningkatan mutu dalam kebijakan maupun praktek. Inklusi berusaha menggunakan berbagai macam bukti untuk menstimulasi kreativitas dan pemecahan masalah. Sebagai kehadiran, partisipasi dan pencapaian semua siswa, di sini “kehadiran” terkait dengan tempat anak dididik, dan seberapa besar komitmen mereka untuk hadir tepat waktu; “partisipasi” terkait dengan kualitas pengalamannya selama mereka berada di dalam lingkungan belajarnya, dan oleh karenanya terkait dengan pandangan siswa itu sendiri; dan “pencapaian” adalah tentang hasil belajar yang dibentuk oleh keseluruhan kurikulum, bukan sekedar hasil tes atau ujian. Sebagai penekanan khusus pada kelompok-kelompok siswa yang rentan marginalisasi, eksklusi atau underachievement, ini mengindikasikan tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa kelompok-kelompok yang secara statistik paling rentan itu dimonitor secara teliti, dan agar bila diperlukan, diambil langkah-langkah untuk memastikan kehadirannya, partisipasinya dan pencapaiannya dalam sistem pendidikan.

    Tujuan Pendidikan Inklusif

    Permendiknas 70/2009 menyatakan bahwa pendidikan inklusif bertujuan:
    (1) memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya;
    (2) mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik.

    Lebih luas dari itu, CRPD menggariskan bahwa pendidikan inklusif bagi penyandang disabilitas itu diarahkan untuk:
    (a) pengembangan seutuhnya potensi diri dan rasa martabat dan harga diri, serta penguatan penghormatan atas hak asasi manusia, kebebasan fundamental dan keanekaragaman manusia;
    (b) pengembangan kepribadian, bakat dan kreatifitas, serta kemampuan mental dan fisik dari penyandang disabilitas hingga mencapai potensi sepenuhnya;
    (c) memungkinkan penyandang disabilitas untuk berpartisipasi secara efektif di dalam masyarakat umum.

    Fasilitas Pendukung

    Pendidikan inklusif hanya akan mencapai tujuannya apabila mendapatkan dukungan yang diperlukan. CRPD menggariskan bahwa di dalam mengikuti pendidikan inklusif, bagi penyandang disabilitas seyogyanya tersedia akomodasi yang layak sesuai dengan kebutuhan individu yang bersangkutan; di dalam sistem pendidikan umum, penyandang disabilitas seyogyanya memperoleh dukungan yang dibutuhkan guna memfasilitasi pendidikan yang efektif baginya; sarana pendukung individu yang efektif seyogyanya tersedia di lingkungan yang dapat memaksimalkan pengembangan akademis dan sosialnya, konsisten dengan tujuan untuk inklusi penuh.
    Paragraf 3 Pasal 24 CRPD mewajibkan negara memfasilitasi penyandang disabilitas untuk belajar keterampilan kehidupan dan perkembangan sosial untuk memfasilitasi partisipasi penuh dan setara dalam pendidikan dan sebagai anggota masyarakat. Untuk mencapai tujuan ini, Pihak-pihak negara wajib mengambil langkah-langkah yang tepat, termasuk:
    (a) memfasilitasi pelajaran Braille, tulisan alternatif, bentuk, sarana dan format komunikasi augmentatif dan alternatif serta keterampilan orientasi dan mobilitas, dan memfasilitasi sistem dukungan dan mentoring sesama penyandang disabilitas;
    (b) memfasilitasi pelajaran bahasa isyarat dan pemajuan identitas linguistik dari komunitas tunarungu;
    (c) menjamin bahwa pendidikan bagi orang yang tunanetra, tunarungu atau tunanetra-rungu, terutama anak-anak, disampaikan dalam bahasa, bentuk dan sarana komunikasi yang paling cocok bagi individu dan di dalam lingkungan yang memaksimalkan pengembangan akademis maupun sosial.

    Dalam rangka menjamin pemenuhan hak tersebut, paragraf 4 pasal 24 CRPD mewajibkan negara mengambil langkah yang tepat untuk mempekerjakan guru-guru, termasuk guru dengan disabilitas, yang memiliki kualifikasi dalam bahasa isyarat dan/atau Braille, dan untuk melatih para profesional dan staf yang bekerja dalam berbagai tingkatan pendidikan. Pelatihan tersebut harus mencakup kesadaran tentang disabilitas dan penggunaan bentuk, media dan format komunikasi augmentatif dan alternatif, teknik dan materi pendidikan yang tepat untuk mendukung penyandang disabilitas.


    Pendekatan Pembelajaran

    Setiap anak mempunyai karakteristik, minat, kemampuan dan kebutuhan belajar yang berbeda-beda, oleh karenanya sistem pendidikan seyogyanya dirancang dan program pendidikan dilaksanakan dengan memperhatikan keanekaragaman karakteristik dan kebutuhan tersebut. Mereka yang menyandang kebutuhan pendidikan khusus harus memperoleh akses ke sekolah reguler yang harus mengakomodasi mereka dalam rangka pedagogi yang berpusat pada diri anak yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Pendidikan kebutuhan khusus (yaitu pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan khusus setiap siswa) berasumsi bahwa perbedaan-perbedaan manusia itu normal adanya dan bahwa oleh karenanya pembelajaran itu harus disesuaikan dengan kebutuhan anak bukannya anak yang disesuaikan dengan kecepatan dan hakikat proses belajar. Pedagogi yang berpusat pada diri anak itu menguntungkan bagi semua siswa dan pada gilirannya menguntungkan bagi masyarakat secara keseluruhan. Pengalaman telah menunjukkan bahwa hal tersebut dapat sangat mengurangi angka drop out dan tinggal kelas yang sering merupakan bagian dari banyak sistem pendidikan, dan sekaligus juga menjamin tercapainya tingkat prestasi rata-rata yang lebih tinggi. Suatu pedagogi yang berpusat pada diri anak dapat membantu menghindarkan penghamburan sumber-sumber dan mencegah pudarnya harapan-harapan yang sangat sering merupakan konsekuensi dari kualitas pengajaran yang buruk dan mentalitas pendidikan "satu ukuran pas untuk semua". Lebih jauh, sekolah yang berpusat pada diri anak merupakan tempat berlatih yang baik bagi masyarakat yang berorientasi pada orang, yang menghargai adanya perbedaan-perbedaan serta menjunjung harga diri semua umat manusia (UNESCO, 1994).

    Pada pelaksanaannya, pedagogi yang berpusat pada diri anak itu harus menggunakan pendekatan pembelajaran kolaboratif/kooperatif. Guru kelas harus berkolaborasi dengan guru pembbimbing khusus dan guru-guru lain, termasuk guru spesialis dan guru bantu, misalnya dalam bentuk pengajaran bersama, pengajaran tim, atau tim guru bantu. Kolaborasi juga harus terjadi pada fase perencanaan maupun asesmen, pengelolaan kelas dan manajemen perilaku siswa (Ripley, 1997). Untuk itu, semua guru seyogyanya memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk memilih dan mengadaptasikan kurikulum dan metode mengajar sesuai dengan kebutuhan individual siswa. Di samping itu, guru juga harus mampu menciptakan lingkungan belajar yang kooperatif dan membina sosialisasi di kalangan semua siswa, sehingga dengan mudah guru akan dapat menggunakan strategi pembelajaran kooperatif, tutor teman sebaya, maupun pengelompokan siswa lintas kelas.

    Jaringan Kerja (Networking)

    Agar sebuah sekolah inklusif mampu melayani semua siswanya (terutama siswa berkebutuhan khusus), sekolah itu harus menjalin kerjasama dengan berbagai pihak. Jaringan kerja ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan sekolah akan sumber-sumber yang dibutuhkan termasuk materi pembelajaran khusus, alat bantu belajar khusus, dan keahlian khusus, baik untuk keperluan pelayanan siswa di dalam kelas maupun untuk pengembangan profesional staf pengajar. Permendiknas 70/2009 menyebutkan pihak-pihak yang dapat diajak kerjasama itu termasuk satuan pendidikan khusus, perguruan tinggi, organisasi profesi, lembaga rehabilitasi, rumahsakit dan pusat kesehatan masyarakat, klinik terapi, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan masyarakat.

    Pendidikan Inklusif sebagai Kesempatan dan Tantangan

    Bagi penyandang disabilitas, pendidikan inklusif bukan sekedar satu alternatif melainkan satu hak asasi. Hak asasi ini akan semakin dipertegas terutama setelah Konvensi Hak Penyandang Disabilitas diratifikasi. Sebagaimana dapat kita lihat pada keseluruhan paparan di atas, sebagai hak asasi, pendidikan inklusif menawarkan begitu banyak kesempatan bagi para penyandang disabilitas untuk mengembangkan diri sehingga dapat berpartisipasi penuh dalam kehidupan di masyarakat atas dasar kesetaraan. Di samping itu, pendidikan inklusif juga memunculkan berbagai macam tantangan jika kita ingin mengimplementasikannya secara benar. Pendidikan inklusif menuntut perubahan dalam sistem pendidikan, dalam cara kita berperilaku, berpikir dan bersikap. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa perubahan sikap dapat merupakan katalisator utama untuk perubahan dalam berbagai bidang. Oleh karena itu, sangat penting dilakukan berbagai upaya untuk mengubah sikap berbagai komponen masyarakat ke arah yang lebih positif terhadap pendidikan inklusif.

    Sekolah reguler dengan orientasi inklusi merupakan alat yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun masyarakat yang inklusif dan mencapai Pendidikan bagi Semua. Lebih jauh, sekolah semacam ini akan memberikan pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak dan meningkatkan efisiensi dan pada akhirnya akan menurunkan ongkos bagi seluruh sistem pendidikan (UNESCO, 1994).

    Daftar Referensi

    Ainscow, M. (2003). Developing inclusive education systems: what are the levers for change? Paper presented at the Conference “Inclusive Education: A Framework for Reform” in Hong Kong, December 2003.
    Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.
    Ripley, S. (1997). Collaboration between General and Special Education Teachers. ERIC Digest. Washington DC.: ERIC Clearinghouse on Teaching and Teacher Education.
    The Council for Exceptional Children (1998). Including Students with Disabilities in General Education Classrooms. ERIC EC Digest #E521.
    UNESCO (1994). The Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education. World Conference on Special Needs Education: Access and Quality. Salamanca, Spain, 7-10 June 1994.
    United Nations (2006). Convention on the Rights of Persons with Disabilities.

    Labels:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke DAFTAR ISI