DOCTYPE html PUBLIC "-//W3C//DTD XHTML 1.0 Strict//EN" "http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-strict.dtd"> Didi Tarsidi: Counseling, Blindness and Inclusive Education: Pendidikan Inklusif Bagi Penyandang Disabilitas di Perguruan Tinggi
  • HOME


  • Guestbook -- Buku Tamu



    Anda adalah pengunjung ke

    Silakan isi Buku Tamu Saya. Terima kasih banyak.
  • Lihat Buku Tamu


  • Comment

    Jika anda ingin meninggalkan pesan atau komentar,
    atau ingin mengajukan pertanyaan yang memerlukan respon saya,
    silakan klik
  • Komentar dan Pertanyaan Anda




  • Contents

    Untuk menampilkan daftar lengkap isi blog ini, silakan klik
  • Contents -- Daftar Isi




  • Izin

    Anda boleh mengutip artikel-artikel di blog ini asalkan anda mencantumkan nama penulisnya dan alamat blog ini sebagai sumber referensi.


    05 November 2016

    Pendidikan Inklusif Bagi Penyandang Disabilitas di Perguruan Tinggi


    Didi Tarsidi
    Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
    Disajikan pada Workshop Pendidikan Inklusif
    Universitas Brawijaya, Malang, 27 Oktober 2016

    Pendidikan Inklusif

    Dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah pendidikan yang memberikan kesamaan kesempatan kepada penyandang disabilitas untuk belajar bersama-sama dengan peserta didik non-disabilitas di lingkungan belajar yang sama, dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan khusus mereka agar mereka dapat berpartisipasi penuh dalam semua kegiatan belajar atas dasar kesetaraan, sehingga mereka memiliki peluang yang sama untuk mencapai keberhasilan.
    Pendidikan inklusif dilandaskan atas asas kesamaan hak, non-diskriminatif, menerima perbedaan, saling menghargai, semangat kooperatif dan toleransi.

    Disabilitas

    Konvensi Hak Penyandang Disabilitas – CRPD (Resolusi PBB 13 Desember 2006, lampiran UU 19/2011 tentang Ratifikasi CRPD) menyatakan bahwa “disabilitas adalah hasil interaksi antara penyandang ketunaan dengan hambatan sikap dan hambatan lingkungan yang menghambat partisipasi mereka secara penuh dan efektif dengan orang-orang lain di dalam masyarakat atas dasar kesetaraan”.
    Jadi, secara umum ada dua jenis hambatan untuk kesetaraan partisipasi para penyandang ketunaan di masyarakat, yaitu hambatan sikap dan hambatan lingkungan (yang mencakup lingkungan fisik dan lingkungan sosial). Semakin positif interaksi antara hambatan dan ketunaan itu (artinya semakin rendah derajat hambatannya) maka akan semakin rendah pula derajat disabilitas seseorang. Sebagai contoh, jika lingkungan merespon terhadap pengguna kursi roda dengan membangun ramp (lerengan) atau lift untuk menggantikan tangga, maka hambatan mobilitas yang dihadapi para pengguna kursi roda itu akan menjadi sangat berkurang. Sementara ketunaan mungkin tidak dapat diubah, tetapi sikap dan lingkungan itu pasti dapat diubah ke arah yang lebih berpihak pada pemenuhan kebutuhan penyandang disabilitas.

    Permendikbud nomor 46 tahun 2014 tentang Pendidikan Khusus, Pendidikan Layanan Khusus dan/atau Pembelajaran Layanan Khusus pada Pendidikan Tinggi mendefinisikan disabilitas sebagai kondisi ketunaan yang mengakibatkan seseorang membutuhkan alat bantu khusus, modifikasi lingkungan atau teknikteknik alternatif untuk dapat berpartisipasi secara penuh dan efektif dalam kegiatan di masyarakat atas dasar kesetaraan.
    Permendikbud 46/2014 menyatakan bahwa mahasiswa penyandang disabilitas di Pendidikan Tinggi antara lain mencakup mahasiswa tunanetra, tunarungu, tunadaksa, dan penyandang gangguan spektrum autistik (autistic spectrum disorders).
    Tunanetra adalah mereka yang kehilangan penglihatan atau yang mengalami hambatan penglihatan yang signifikan sehingga memerlukan alat bantu khusus, modifikasi lingkungan atau teknik-teknik alternatif untuk menggantikan atau meningkatkan fungsi penglihatannya agar dapat berpartisipasi penuh dalam kegiatan pembelajaran dan kegiatan-kegiatan lain di masyarakat yang memerlukan fungsi penglihatan.
    Tunarungu adalah mereka yang kehilangan pendengarannya atau mengalami hambatan pendengaran dan bicara sehingga membutuhkan alat bantu khusus, modifikasi lingkungan atau teknik-teknik alternatif untuk dapat berpartisipasi penuh dalam kegiatan pembelajaran dan kegiatan-kegiatan lain di masyarakat yang memerlukan fungsi pendengaran.
    Tunadaksa adalah mereka yang mengalami gangguan secara fisik dan/atau motorik sehingga mereka membutuhkan alat bantu khusus, modifikasi lingkungan atau teknik-teknik alternatif untuk dapat berpartisipasi penuh dalam kegiatan pembelajaran dan kegiatan-kegiatan lain di masyarakat yang memelukan fungsi motorik.
    Gangguan autistik merupakan masalah perkembangan anak yang amat kompleks yang ditandai oleh tiga ciri utama, yaitu: (1) masalah pada interaksi sosial timbal balik, (2) masalah pada komunikasi, dan (3) pola tingkah laku repetitif (berulang) serta minat yang sempit. Sekitar 20% dari penyandang gangguan autistik memiliki tingkat intelegensi rata-rata atau di atas rata-rata sehingga mampu mengikuti pendidikan tinggi.

    Agar penyandang disabilitas dapat memperoleh haknya untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan orang-orang lain di dalam masyarakat kampus atas dasar kesetaraan, dan mereka dimungkinkan untuk mencapai keberhasilan yang optimal, maka mereka harus dimungkinkan untuk mengakses lingkungan fisik kampus, mengakses lingkungan sosial dan mengakses kegiatan kurikuler sebagaimana mahasiswa pada umumnya.

    Aksesibilitas Lingkungan Fisik Kampus

    Hambatan aksesibilitas lingkungan kampus pada umumnya disebabkan oleh desain arsitektural yang tidak berpihak kepada kebutuhan “semua orang”. (Penyandang disabilitas adalah bagian dari “semua orang” itu).

    Hambatan Arsitektural bagi Pengguna Kursi Roda

    Berikut ini adalah beberapa aspek arsitektural yang dapat mengakibatkan hambatan mobilitas bagi para pengguna kursi roda.
    • Perubahan tingkat ketinggian permukaan yang mendadak seperti pada tangga atau parit;
    • Tidak ada pertautan landai (ramp) antara jalan dan trotoar;
    • Tidak cukup ruang untuk lutut di bawah meja atau wastapel;
    • Tidak cukup ruang untuk berbelok atau melintas;
    • Permukaan jalan yang renjul/bergelombang);
    • Pintu yang terlalu berat dan sulit dibuka;
    • Tombol-tombol yang terlalu tinggi letaknya.

    Koreksi terhadap aspek-aspek arsitektural di atas dapat sangat meningkatkan kemampuan mobilitas para pengguna kursi roda. Selain itu, masyarakat perguruan tinggi juga sebaiknya belajar cara mendorong kursi roda untuk dapat membantu pengguna kursi roda melakukan mobilitas di tempat-tempat yang belum aksesibel.

    Hambatan Arsitektural bagi Penyandang Semi-ambulant

    Semi-ambulant adalah tunadaksa yang mengalami kesulitan berjalan tetapi tidak memerlukan kursi roda. Hambatan arsitektural yang mereka hadapi antara lain mencakup:
    • Anak tangga yang terlalu tinggi;
    • Lantai yang terlalu licin;
    • Gerakan yang terlalu cepat pada pintu putar atau pintu yang menutup secara otomatis;
    • Pintu lift yang menutup terlalu cepat;
    • Tangga berjalan tanpa pegangan yang bergerak terlalu cepat.

    Hambatan Arsitektural bagi Penyandang Tunanetra

    Kesulitan-kesulitan yang dihadapi para tunanetra sebagai akibat dari desain arsitektural antara lain:
    • Tidak tersedia petunjuk arah atau ciri-ciri yang dapat didengar atau dilihat dengan
    penglihatan terbatas yang menunjukkan nomor lantai pada gedung-gedung bertingkat; • Rintangan-rintangan kecil seperti jendela yang membuka ke luar atau papan reklame yang
    dipasang di tempat pejalan kaki; • Cahaya yang menyilaukan atau terlalu redup;
    • Lift tanpa petunjuk taktual/Braille atau audio untuk membedakan bermacam-macam tombol
    atau untuk menunjukkan nomor lantai tujuan.
    Cara Menuntun Tunanetra

    Selain itu, masyarakat perguruan tinggi juga sebaiknya belajar cara menuntun mahasiswa tunanetra jika mereka melakukan mobilitas di tempat-tempat yang belum aksesibel.
    Dalam hal menuntun tunanetra, beberapa hal yang penting untuk dilakukan secara benar adalah:
    • Biarkanlah orang tunanetra yang memegang lengan anda, bukan sebaliknya. Dengan demikian, orang tunanetra yang anda tuntun itu akan merasakan pergerakan anda (apakah belok, turun atau naik).
    • Untuk mempersilakannya duduk, rabakanlah tangannya ke sandaran atau tangan kursi, maka selanjutnya dia dapat mencari sendiri tempat duduknya. Jangan berusaha memposisikan pantatnya ke tempat duduk itu.

    Hambatan Arsitektural bagi Penyandang Tunarungu

    Para tunarungu tidak mungkin dapat memahami pengumuman melalui pengeras suara. Mereka juga mengalami kesulitan membaca bibir di auditorium dengan pencahayaan yang buruk, dan mereka mungkin tidak dapat mendengar bunyi tanda bahaya.

    Ketentuan tentang Aksesibilitas Lingkungan Fisik Kampus menurut Permendikbud 46/2014

    Untuk aksesibilitas lingkungan fisik kampus ini, Permendikbud 46/2014 menganjurkan agar perguruan tinggi menyediakan sarana dan prasarana yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa penyandang disabilitas yang antara lain mencakup:
    • lift pada gedung berlantai dua atau lebih;
    • lerengan (ramp) untuk pengguna kursi roda;
    • toilet atau kamar mandi untuk pengguna kursi roda;
    • pelabelan dengan tulisan Braille dan informasi dalam bentuk suara;
    • jalur pemandu (guiding block) di jalan atau koridor di lingkungan kampus;
    • peta/denah kampus atau gedung dalam bentuk peta/denah timbul.

    Aksesibilitas Lingkungan Sosial

    Hambatan akses ke lingkungan sosial ini terutama disebabkan oleh kurangnya informasi tentang cara berinteraksi yang sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas tertentu.

    Interaksi Sosial dengan Penyandang Tunanetra

    Orang tunanetra (terutama tunanetra berat) sangat bergantung pada indera pendengaran untuk dapat mengenali orang dan menilai situasi lingkungan. Perlu diingat bahwa mengenali orang melalui suara tidak semudah melalui penglihatan.
    Ada tiga faktor yang mempermudah orang tunanetra mengenali orang melalui suranya:
    1) Kekhasan suara. Orang yang memiliki suara yang khas, yang secara signifikan berbeda dari kebanyakan orang akan lebih mudah untuk dikenali.
    2) Frekuensi komunikasi. Semakin sering berkomunikasi dengan seseorang akan semakin mudah pula mengenali suaranya.
    3) Konteks tempat pertemuan. Bertemu dan mendengar suara rektor UB di kampus UB akan lebih mudah mengenalinya sebagai rektor UB daripada kalau pertemuan itu terjadi di luar kampus UB.
    Gabungan ketiga faktor di atas akan sangat mempermudah pengenalan. Jika faktor-faktor tersebut tidak ada, cara yang paling efektif untuk membantu orang tunanetra mengenali anda adalah dengan menyebutkan nama anda pada saat bertemu.
    Anda mungkin punya kesan bahwa agak sulit untuk memulai interaksi sosial dengan orang tunanetra; itu karena interaksi sosial pada umumnya diawali dengan kontak mata dan itu tidak mungkin dilakukan dengannya. Untuk memastikan bahwa anda “tersambung” dengannya, anda dapat memulai interaksi itu dengan menyebut namanya atau menyentuhnya.
    Sering kali orang tunanetra juga merasa ragu untuk memulai interaksi karena tidak yakin apakah dia sudah “tersambung” dengan anda.

    Interaksi Sosial dengan Penyandang Tunarungu

    Bahasa pertama orang tunarungu adalah bahasa isyarat. Oleh karena itu, interaksi sosial dengan mereka tidak bermasalah apabila anda terampil menggunakan bahasa isyarat yang mereka pahami. Kebanyakan orang tunarungu juga terampil membaca gerakan bibir untuk memahami ujaran orang yang tidak terampil menggunakan bahasa isyarat. Untuk membantu mereka memahami anda dengan lebih mudah, pastikan anda berbicara dengan gerakan bibir yang jelas sambil berhadapan wajah dengan mereka.

    Aksesibilitas Kegiatan Kurikuler

    Agar mahasiswa penyandang disabilitas memiliki akses ke kegiatan kurikuler sehingga dapat berpartisipasi penuh dalam kegiatan pembelajaran di kelas inklusif, diperlukan beberapa modifikasi cara dan/atau alat ketika dosen melaksanakan proses pembelajaran. Bentuk Modifikasi bervariasi tergantung pada jenis disabilitas yang dialami oleh mahasiswa.

    Akses Kurikuler bagi Mahasiswa Tunanetra

    Media baca/tulis yang dapat digunakan oleh mahasiswa tunanetra adalah Braille, rekaman audio, dan “komputer bicara” (yaitu komputer dengan program pembaca layar bersuara. Program pembaca layar yang paling populer di kalangan para tunanetra adalah JAWS). Di samping itu, mereka yang masih memiliki sisa penglihatan yang fungsional (low vision) juga dapat menggunakan tulisan biasa berukuran 18 poin atau lebih besar (large print).
    Yang terbaik bagi mahasiswa tunanetra adalah apabila dosen bersedia menyediakan berbagai perangkat pembelajaran yang dibuat oleh dosen (seperti silabus, SAP, handout dll.) dalam salah satu format yang aksesibel tersebut. Apabila karena alasan tertentu dosen tidak dapat melakukannya, dosen tidak perlu merasa rikuh untuk memberikan perangkat pembelajaran non-aksesibel kepada mahasiswa tunanetra; mereka akan dapat mengusahakannya sendiri untuk membuatnya aksesible, misalnya dengan mencari bantuan tenaga pembaca atau dengan mengubahnya menjadi soft copy dengan menggunakan scanner sehingga dapat dibacanya menggunakan komputer bicara. Namun dengan demikian mereka akan perlu upaya dan waktu ekstra untuk mengakses perangkat pembelajaran tersebut.
    Dalam memberi penjelasan kepada kelas, dosen perlu memperbanyak informasi verbal untuk mengkonpensasi keterbatasan penerimaan informasi visual pada mahasiswa tunanetra. Sebagai contoh, ketika dosen menulis atau menggambar di papan tulis, atau menayangkan slide Powerpoint, hendaklah sambil mengucapkan, membacakan atau mendeskripsikannya secara verbal.
    Dosen juga perlu menyebutkan secara spesifik tentang hal yang sedang dibicarakannya. Misalnya, dosen tidak sekedar mengatakan “ini” tambah “ini” sama dengan “ini”, tetapi langsung menyebutkan nama objek yang dimaksud.
    Ketika memberi giliran berpendapat kepada mahasiswa tunanetra, dosen disarankan untuk tidak sekedar berkata, “Silakan anda,” sambil menunjuk kepadanya. Melainkan, sambil berkata demikian, dosen perlu menyebut namanya atau menyentuhnya.
    Untuk pengerjaan tugas-tugas kuliah seperti pembuatan makalah, laporan buku dsb., mahasiswa tunanetra dapat dituntut untuk menyerahkannya dalam printout tulisan biasa seperti mahasiswa pada umumnya.
    Untuk pengerjaan soal evaluasi di dalam kelas, apabila soal tersebut tidak dapat disediakan dalam format yang aksesibel, mahasiswa tunanetra hendaknya diizinkan untuk mendapat bantuan pembaca untuk membacakan soal.

    Akses Kurikuler bagi Mahasiswa Tunarungu

    Berikut ini adalah beberapa saran bagi dosen agar mahasiswa tunarungu dapat mengakses kegiatan kurikuler.
    • Dosen perlu memperbanyak bahan atau informasi yang bersifat visual, misalnya gambar, foto, video, tulisan dll.
    • Dosen hendaknya tidak memalingkan wajah dari mahasiswa tunarungu ketika sedang berbicara, karena tunarungu akan menangkap informasi dengan cara membaca gerakan bibir dosen.
    • Mahasiswa tunarungu hendaklah ditempatkan duduk paling depan agar bisa membaca bibir, bahasa tubuh, dan ekspresi dosen dengan lebih jelas.
    • Hindari ucapan yang terlalu cepat dan kalimat yang komplek, hal ini akan sulit ditangkap oleh mahasiswa tunarungu.
    • Dosen dianjurkan untuk banyak menggunakan metode demonstrasi, peragaan, praktik langsung dan lebih sering menggunakan multimedia.
    • Tes listening (misalnya dalam TOEFL) bagi mahasiswa tunarungu dipertimbangkan untuk ditiadakan dan diganti (dikompensasi) dengan tes tulis (reading test).
    • Jika mahasiswa tunarungu harus menjalani tes lisan (wawancara) maka pewawancara harus bicara dengan gerakan bibir yang jelas dan berhadapan secara langsung, supaya tunarungu dapat memperhatikan gerakan bibir pembicara. Jika dengan cara ini, komunikasi tidak bisa dipahami, maka gunakan penerjemah bahasa isyarat atau ubah menjadi bahasa tulis (disajikan secara tertulis).

    Akses Kurikuler bagi Mahasiswa Tunadaksa

    Berikut ini adalah beberapa hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam memberikan layanan pembelajaran yang melibatkan mahasiswa tunadaksa agar mereka dapat berpartisipasi penuh.
    • Jika gedung tempat perkuliahan tidak memiliki lift, penting bahwa kuliah yang melibatkan mahasiswa tunadaksa dilaksanakan di lantai bawah (ground floor).
    • Mahasiswa tunadaksa hendaklah ditempatkan pada posisi yang memudahkan mobilitas dalam kelas, sehingga mudah keluar masuk, mudah bergerak dalam ruangan, dan mudah mengadakan penyesuaian.
    • Tempat duduk mahasiswa tunadaksa harus memiliki jarak yang cukup lebar dengan objek lainnya agar dapat bergerak dengan leluasa.
    • Bagi mahasiswa tunadaksa yang mengalami hambatan motorik yang tidak memungkinkannya menulis, hendaknya mereka diperbolehkan menggunakan laptop untuk menuliskan jawaban tes (khususnya tes esei).
    • Bagi mahasiswa tunadaksa yang mengalami hambatan motorik yang tidak memungkinkannya mengikuti tes kinerja, misalnya pada perkuliahan olahraga atau seni gerak, maka pelaksanaan tes hendaknya dimodifikasi atau disubstitusi dengan tes bentuk lain yang setara tetapi masih mungkin dilakukannya. Perlakuan seperti ini hanya berlaku pada mata kuliah yang bukan merupakan bidang kajian utama pada jurusannya, misalnya mata kuliah olahraga untuk mahasiswa tunadaksa yang mengambil jurusan teknologi informasi.
    • Apabila dosen penguji tidak yakin tentang format tes yang cocok bagi mahasiswanya yang penyandang disabilitas, hendaknya mereka mendiskusikannya dengan mahasiswa yang bersangkutan.

    Ketentuan tentang Aksesibilitas Kurikuler dalam Permendikbud 46/2014

    Untuk akses kurikuler bagi mahasiswa penyandang disabilitas ini, Permendikbud 46/2014 menganjurkan agar perguruan tinggi menyediakan media dan sumber belajar khusus, antara lain:
    • buku-buku Braille;
    • buku bicara (rekaman audio);
    • komputer bicara(komputer dengan software pembaca layar), scanner dan mesin cetak
    Braille; • berbagai materi perkuliahan atau bahan bacaan dalam format elektronik (soft copy);
    • perpustakaan yang mudah diakses; atau
    • informasi visual dan layanan informasi berbasis web yang memenuhi standar
    aksesibilitas web.
      Akomodasi yang Layak (Reasonable Accommodation)

    Modifikasi dan penyesuaian yang disarankan dalam tulisan ini didasarkan atas ketentuan Undang-undang nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas bahwa para penyandang disabilitas berhak untuk mendapatkan Akomodasi yang Layak sebagai peserta didik (Pasal 10).
    Akomodasi yang Layak adalah modifikasi dan penyesuaian yang tepat dan diperlukan untuk menjamin penikmatan atau pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental untuk Penyandang Disabilitas berdasarkan kesetaraan (Pasal 1).

    Labels:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke DAFTAR ISI