Kenangan tentang Norwegia
Negara Norwegia terletak di wilayah Skandinavia, Eropa Utara. Saya sudah tiga kali ke sana.
Pertama, tahun 2002, ketika saya mendapat tugas sebagai interpreter (penerjemah lisan) untuk rombongan Kepala Dinas Pendidikan seluruh Indonesia mengadakan studi banding tentang implementasi pendidikan inklusif di Norwegia.
Kedua, tahun 2003, ketika empat orang dosen pendidikan khusus UPI (termasuk saya) ditugasi sebagai peneliti tamu di Universitas Oslo tentang penyelenggaraan perkuliahan pendidikan inklusif di universitas Oslo dan implementasi pendidikan inklusif di sekolah-sekolah di Norwegia.
Dan ketiga, ketika saya diminta berbicara dalam Congress on Including Children with Disabilities in the Community, Stavanger, Norway, 15-17 Juni 2004.
Di antara ketiga kesempatan tersebut, yang kedualah yang paling berkesan; dan saya akan menceritakannya di artikel ini. Saya akan menceritakan hal-hal yang ringan yang kami alami selama di sana, tetapi diharapkan akan sangat menarik.
Sebagaimana disebutkan di atas, kami berangkat ke Norwegia empat serangkai, Pak Zaenal Alimin, Pak Djadja Rahardja, Pak Juang Sunanto dan saya.
Kami akan tinggal di sana dalam musim dingin, tanggal 8 Januari hingga 15 Maret 2003.
Di bawah bimbingan Prof. Miriam Sjerten dari Universitas Oslo (menejer pendidikan proyek), kami diterima sebagai peneliti tamu pada Universitas Oslo.
Perjalanan dari Jakarta ke Oslo sekitar 16 jam, dengan transit di Kuala lumpur Malaysia, dan Kopenhagen, Denmark. Ketika hendak melanjutkan penerbangan dari Kopenhagen ke Oslo, ibu kota Norwegia, ground crew terlebih dahulu harus membersihkan salju yang telah menyelimuti pesawat.
Selama di Oslo, kami tinggal di Guest House Huseby, rumah tamu yang merupakan bagian dari pusat sumber bagi pelayanan pendidikan inklusif, yaitu pendidikan siswa-siswa tunanetra yang dilaksanakan di sekolah-sekolah umum bersama dengan siswa-siswa pada umumnya.
Di Guest house itu kami masing-masing disediakan satu kamar dan sebuah dapur lengkap dengan kompor listrik, kulkas, mesin cuci piring, dan piano. Untuk sarapan, selalu tersedia beberapa gepok roti tawar, sereal, jus jeruk, memntega dan keju. .
Di ruangan lain di lantai atas tersedia mesin cuci lengkap dengan pengeringnya.
Pada musim dingin, semua ruangan di sini selalu berpenghangat.
Pada hari kedua kami tinggal di Oslo, setelah cukup beristirahat di hari pertama, kami pergi ke kota untuk mengobservasi toko makanan untuk mengetahui apa yang tersedia di sana untuk memenuhi kebutuhan makan kami sehari-hari.
Kami berpakaian lengkap musim dingin yang telah kami persiapkan sebelum keberangkatan. Pakaian itu berlapis-lapis. Setelah singlet dan celana dalam, ada “long Johns”, yaitu pakaian panjang yang menutupi mata kaki hingga leher, cukup melar, menempel ke kulit, agar terasa hangat. Di atasnya ada kemeja dan celana, lalu sweater dan jaket panjang. Kami juga harus mengenakan kupluk hingga ke telinga, syal, sarung tangan, kaos kaki dan sepatu yang cocok untuk berjalan di atas es.
Tetapi semua persiapan itu ternyata agak sia-sia, karena pada hari itu, hari Minggu, hamper semua toko tutup.
Pada hari Senin keesokan harinya, kami mulai dengan hari pertama program kami di Universitas Oslo. Kami berangkat pukul 7 pagi. Hari masih gelap dan sangat dingin, mungkin beberapa derajat di bawah 0, tapi tidak bersalju. Tapi jalan licin berlapis es. Sebuah truk pasir menaburkan pasir di jalan untuk mengurangi kelicinan jalan. Kami naik kereta api sekitar 20 menit menuju Universitas Oslo.
Pada hari ini kami mengikuti kuliah dari Prof. Miriam Skjarten tentang landasan pendidikan inklusif. Kuliah ini adalah bagian dari program pendidikan bagi mahasiswa Program Internasional Master Filosofi Pendidikan Kebutuhan Khusus di Universitas Oslo. Ini adalah kelas untuk mahasiswa internasional dari beberapa Negara Afrika dan Eropa Timur yang berjumlah sekitar 15 orang.
Pada sore harinya, atas saran Prof Miriam, kami pergi ke Grunland di mana tersedia bahan makanan Asia.
Di sini terdapat penjual asal Thailand, Vietnam, Sri Langka dan beberapa Negara lain.
Ternyata bahan makanan di situ cukup lengkap, dari beras hingga cengek, dari tahu sampai terasi.
Padahal dari tanah air kami membawa bekal beras masing-masing lima kila untuk persediaan beberapa hari pertama sebelum kami menemukan tempat membeli beras di sana.
Untuk bekal hidup, setiap hari jumat kami diberi uang saku masing-masing 500 Krone (sekitar Rp 800 ribu). Untuk belanja bahan makanan, kami cukup mengeluarkan 100 krone per orang per minggu. (Perlu diingat, ini adalah nilai uang lebih dari 20 tahun lalu).
Masing-masing kami membawa tas gendong yang sudah kami kosongkan pada pagi harinya untuk disi dengan belanjaan untuk kebutuhan satu minggu.
Kami mulai masak untuk makan malam sekitar pukul enam sore. Pak Zaenal masak nasi, Pak Djadja masak lawuhnya. Hari ini dia masak steak domba muda dan sambal lado terong. Ternyata Pak Djadja adalah seorang juru masak yang handal. Pak Juang membersihkan dapur sesudah makan malam, sedangkan saya “memainkan piano” untuk menghibur mereka. Bila saya bilang “memainkan piano”, itu benar-benar memainkannya, bukan main piano yang sesungguhnya, karena saya tidak bisa dikatakan dapat main piano.
Pada pagi keesokan harinya, saya menugaskan diri sendiri mengeluarkan peralatan makan dari mesin cuci dan menyimpannya kembali ke tempatnya semula.
Untuk makan siang di kampus, kami cukup membawa bekal roti yang terseddia di dapur. Kami numpang makan siang di kantin kampus sambil membeli kopi atau teh di situ. Menarik untuk dicatat bahwa para pengunjung kantin itu pada dasarnya melayani diri sendiri (self-service). Kami membuang sampah sendiri, menyimpan barang kotor ke tempat cucian sendiri.
Pada hari Sabtu dan Minggu kami biasanya pergi ke tempat-tempat wisata. Untuk berkendara, kami membeli tiket untuk sebulan. Ini berlaku untuk perjalanan dalam kota dan sekitarnya, berlaku untuk kereta api, bus, trem, dan kapal feri.
Pada suatu hari kami pergi ke taman patung. Vigeland Sculpture Park (Vigelandsanlegget) terletak di Frogner Park, Oslo. Taman patung ini menampilkan lebih dari 200 patung karya Gustav Vigeland, termasuk patung terkenal "Monolit" yang menggambarkan manusia dalam berbagai bentuk dan pose. Patung-patung ini terbuat dari granit dan perunggu. Granit digunakan untuk patung-patung besar dan monumen, sedangkan perunggu digunakan untuk patung-patung yang lebih kecil dan detail.
Yang lebih menarik bagi kami adalah patung “anak marah”, yang menggambarkan seorang anak telanjang berumur sekitar empat tahun. Wajahnya sangat marah, kaki kanannya menendang, tangannya meniju, tititnya mengacung.
Pulangnya turun saljlu. Hujan salju terasa seperti dikerubungi laron, ringan dan langsung menghilang.
Pada suatu hari lain, saya dan Pak Djadja pergi ke arena main ski. Malam sebelumnya turun salju lebat, sehingga jalan raya ditutupi salju semata kaki. Rasa dingin membuat sakit telinga dan perih mata. Untuk menghangatkan diri, kami masuk ke dalam toko, dan tinggal di situ beberapa saat.
Lalu kami melanjutkan perjalanan dengan naik kereta api. Kebetulan ada seorang ibu dan anaknya membawa papan ski. Mungkin mereka mau pergi ke tempat ski juga, maka kami membuntuti mereka. Ketika mereka turun, kami ikut turun juga. Eeeh, ternyata mereka sedang pulang ke rumahnya. Maka kami naik kereta api lagi kea rah sebaliknya. Dasar sial, ternyata arena ski itu sudah kosong. Permainan ski sudah berakhir.
Tapi masih ada beberapa penjaja makanan panas di sana.
Kami jajan kebab Lebanon. Kebab di sini bebeda dari yang biasa saya beli di Bandung. Ini seperti gulai kambbing dalam jagung, disajikan panas dalam contong roti tawar besar. Karena makannya harus pelan-pelan sebab panas, maka kebab itu sudah dingin ketika hamper habis, dan kenikmatannya pun sudah berkurang.
Pada hari lain kami jajan tahu goring segede sandal jepit; disajikan dengan kecap dan cabe rawit. Enaaan!
Setiap hari Jumat, kami (kecuali Pak Juang yang Katolik) sholat Jumat di masjid komunitas Pakistan. Itu adalah sebuah rumah yang direkaulang untuk berfungsi sebagai masjid.
Imamnya adalah seorang tunanetra.
Disediakan beberapa kursi untuk mereka yang tak mampu berdiri untuk mendirikan sholat.
Uang kencleng dipungut oleh dua orang petugas yang menghampiri setiap jamaah dengan menggotong sehelai sorban.
“Waladhdhoolliin!”
“Aa…” Saya segera mengerem diri ketika akan menyerukan “aamiin” di akhir Alfatihah karena tidak ada jamaah lain yang menyerukannya. Rupanya mereka mengatakannya dalam hati saja.
Mungkin umum di negeri ini toilet di tempat umum tanpa tersedia keran air untuk cebok. Sebagai gantinya, tersedia kertas tisu. Pada suatu hari, di tengah-tengah acara di kampus, saya kebelet. Terpaksa saya menggunakan kertas tisu untuk membersihkan sebagian darinya, sedangkan sisanya saya bawa pulang untuk dituntaskan di guest house.
Pengalaman lain yang tak menyenangkan adalah sakit gigi. Saya terbangun
Pada suatu malam yang sangat dingin; bukan hanya karena kedinginan, tapi juga karena sangat sakit gigi. Pada pagi harinya pipi kiri saya menjadi sangat bengkak. Pak Djadja mengantar saya menemui pengurus guest house untuk mendapatkan pertolongan. Dia menunjukkan jalan menuju dokter gigi. “Ongkos berobatnya akan ditanggung oleh proyek,” katanya seraya menyerahkan surat pengantar untuk dokter gigi.
Kami berjalan kaki ke klinik dokter gigi itu sekitar 15 menit.
“Saya harus mencabut dua gigi ini,” ujar sang dokter gigi.
“Sekarang, Dok?”
“Tentu.”
“Oh, di negeri saya dokter gigi akan menunggu sampai rasa sakitnya hilang sebelum dia bersedia mencabutnya.”
“Oh? Justru mencabut itu adalah terapi terbaik,” ujar dokter sambil segera menyuntikkan obat anastesis ke gusi saya.
Dengan tenaga penuh dia berhasil mencabut gigi yang bermasalah itu.
“Sekedar ingin tahu, Dok, how much do you charge for this service?”
“1500 Krone.”
Hm, hampir dua juta rupiah di tahun 2003 sekedar mencabut dua gigi? Terasa sangat sakit; tapi siangnya terasa lega terbebas dari rasa nyeri.
Akhirnya bulan Maret itu pun tiba. Ini adalah awal musim Semi. Cuaca terasa agak hangat miskipun suhu masih sekitar sepuluh derajat Celcius. Pohon-pohon sudah mulai berdaun; bahkan bunganya sudah mulai menampakkan diri. Begitu pun hati kami sudah mulai berbunga-bunga karena saat kepulangan ke Indonesia sudah dekat.
Sementara itu tugas-tugas kami sebagai peneliti tamu di Universitas Oslo pun sudah tuntas.
Secara umum, tanggung jawab team ini adalah mempelajari bagaimana Program Internasional Master Filosofi Pendidikan Kebutuhan Khusus di Universitas Oslo diselenggarakan dan bagaimana layanan pendidikan kebutuhan khusus untuk anak berkebutuhan khusus di Norwegia dilaksanakan. Temuan-temuannya akan dipergunakan sebagai dasar untuk mengembangkan Program Magister Inklusi dan Pendidikan Kebutuhan Khusus di UPI, dan pada gilirannya diharapkan akan berpengaruh terhadap cara pelaksanaan pemberian layanan pendidikan khusus bagi ABK di Indonesia.
Kini lebih dari 20 tahun telah berlalu. Program studi Pendidikan Khusus jenjang S2 Dan S3 di UPI sudah terlembaga dengan baik, melengkapi jenjang S1 yang sudah terbentuk sejak tahun 196—an.
Tim ini yakin bahwa upaya kami untuk melewatkan musim dingin yang ekstrem di Oslo itu akan berdampak baik bagi kemajuan pendidikan khusus di tanah air. Yang kami tidak tahu adalah bahwa kebersamaan yang begitu intensif selama lebih dari tiga bulan itu merupakan kesempatan terakhir bagi kami berempat. Tiga orang dari kami telah berpulang ke Rahmatullah lebih dahulu. Pak Juang meninggal pada tahun 2016, Pak Djaja pada tahun 2017, dan Pak Zaenal pada tahun 2018. Innalillaahi wa innailaihi rojiun. Semoga kita jumpa lagi di alam keabadian, sahabat-sahabat terbaikku.
(Didi Tarsidi)
Labels: Disability, Pendidikan Inklusif
<< Home