Aksesibilitas Masjid bagi Muslim Penyandang Disabilitas
DR. Didi Tarsidi, M.Pd.
April 2023
Pendahuluan
Islam tidak mengecualikan para penyandang disabilitas dari kewajiban ibadah dan hak untuk mendapat pahala dari Allah Swt. Namun untuk dapat melaksanakan sebagian amal ibadahnya itu, penyandang disabilitas perlu aksesibilitas.
Tulisan ini akan membahas secara sekilas,
• Pengertian tentang penyandang disabilitas,
• Pandangan Islam terhadap penyandang disabilitas, dan
• Aksesibilitas masjid bagi penyandang disabilitas.
Pembahasan materi ini diharapkan dapat menumbuhkan pengertian tentang pentingnya partisipasi semua pihak dalam memberikan kesamaan kesempatan bagi para penyandang disabilitas untuk beribadah, dan oleh karenanya semua pihak juga diharapkan mau berpartisipasi dalam menciptakan aksesibilitas pada rumah peribadatan.
I. Siapakah Penyandang Disabilitas Itu?
Menurut estimasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 10 hingga 15 persen populasi dunia menyandang disabilitas dalam bermacam-macam kategori dan bermacam-macam tingkat keparahan.
1.1. Definisi
PENYANDANG DISABILITAS adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak (UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas, Pasal 1 Ayat 1)
1.2. Ragam PENYANDANG DISABILITAS
Menurut UU 8/2016 tentang PENYANDANG DISABILITAS , ragam PENYANDANG DISABILITAS meliputi:
1) PENYANDANG DISABILITAS fisik (terganggunya fungsi gerak, antara lain meliputi: amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, celebral palsy (CP), akibat stroke, akibat kusta;
2) PENYANDANG DISABILITAS intelektual (terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain: lambat belajar, tunagrahita, learning disability, down syndrom);
3) PENYANDANG DISABILITAS mental (terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku yang meliputi: psikososial, autis, hiperaktivitas);
4) PENYANDANG DISABILITAS sensorik (terganggunya salah satu fungsi panca indera: tunanetra, tunarungu).
Mengingat luasnya persoalan disabilitas, maka dalam waktu yang singkat ini saya akan membatasi pembahasannya pada masalah aksesibilitas bagi penyandang disabilitas fisik dan sensorik saja.
II. Pandangan Islam Terhadap Penyandang Disabilitas
2.1. Istilah Disabilitas dalam Perspektif Islam
Mengutip tulisan Ahmad Muntaha AM (Wakil Sekretaris LBM PWNU Jawa Timur), dalam perspektif Islam, penyandang disabilitas identik dengan istilah dzawil âhât, dzawil ihtiyaj al-khashah atau dzawil a’dzâr (orang-orang yang mempunyai keterbatasan, berkebutuhan khusus, atau mempunyai uzur).
2.2. Ajaran Islam tentang Perlakuan terhadap Penyandang Disabilitas
Nilai-nilai universalitas Islam seperti al-musawa (kesetaraan/equality) - Surat Al-Hujurat ayat 13, al-‘adalah (keadilan/justice) - Surat An-Nisa ayat 135 dan Al-Maidah ayat 8, al-hurriyyah (kebebasan/freedom) - Surat At-Taubah ayat 105) merupakan nilai-nilai yang harus diterapkan dalam memperlakukan penyandang disabilitas.
Berikut ini adalah narasi dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan pendapat ulama terkemuka Islam tentang bagaimana sebaiknya kita memperlakukan penyandang disabilitas.
(1) Surah An-Nur ayat 61:
لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَى حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَنْ تَأْكُلُوا مِنْ بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ آبَائِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ ... (النور: 61)
Artinya: Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak pula bagi orang pincang, tidak pula bagi orang sakit dan tidak pula bagi dirimu, untuk makan bersama-sama di rumahmu atau di rumah orangtuamu, di rumah saudara-saudaramu, atau di rumah kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka ataupun sendiri-sendiri. dr
Ayat ini secara eksplisit menegaskan kesetaraan sosial antara penyandang disabilitas dan mereka yang bukan penyandang disabilitas. Mereka harus diperlakukan secara sama dan diterima secara tulus tanpa diskriminasi dalam kehidupan sosial.
(2) Surah Abasa ayat 1-11:
عَبَسَ وَتَوَلَّى (1) أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى (2) وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى (3) أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى (4) أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَى (5) فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّى (6) وَمَا عَلَيْكَ أَلَّا يَزَّكَّى (7) وَأَمَّا مَنْ جَاءَكَ يَسْعَى (8) وَهُوَ يَخْشَى (9) فَأَنْتَ عَنْهُ تَلَهَّى (10) كَلَّا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ (11) ... (عبس/1-11)
Artinya, “Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpalingc karena seorang buta telah datang kepadanya. Dan tahukah engkau barangkali ia ingin menyucikan dirinya dari dosa, atau ia ingin mendapatkan pengajaran yang memberi manfaat kepadanya. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (para pembesar Quraisy), maka engkau memperhatikan mereka. Padahal tidak ada cela atasmu kalau mereka tidak menyucikan diri (beriman). Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera untuk mendapatkan pengajaran, sedang ia takut kepada Allah, engkau malah mengabaikannya. Sekali-kali jangan begitu. Sungguh ajaran-ajaran Allah itu adalah suatu peringatan. (QS 80:1-11).
Firman tersebut menunjukkan bahwa hak untuk mendapat hidayah Allah tidak ditentukan oleh status sosial ataupun kondisi fisik seseorang, melainkan oleh niatnya untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.
(3) Berkaitan dengan perintah shalat dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 43, pemuka ulama ahli tafsir asal Cordova Spanyol, Imam Al-Qurthubi (wafat 1273 M), menyatakan:
وَلَا بَأْسَ بِإِمَامَةِ الْأَعْمَى وَالْأَعْرَجِ وَالْأَشَلِّ وَالْأَقْطَعِ وَالْخَصِيِّ وَالْعَبْدِ إِذَا كَانَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَ عَالِمًا بِالصَّلَاةِ.
Artinya, “Orang buta, orang pincang, orang lumpuh, orang yang terputus tangannya, orang yang dikebiri, dan hamba sahaya tidak mengapa menjadi imam shalat bila masing-masing dari mereka mengetahui tatacara shalat.” Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa orang-orang yang mengalami keterbatasan fisik memiliki hak yang sama untuk memimpin peribadatan bila mereka memiliki pengetahuan yang cukup untuk itu.
III. Aksesibilitas
Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi semua orang termasuk penyandang disabilitas dan lansia guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan (Permen PU nomor 30/PRT/M/2006).
Aksesibilitas mencakup aksesibilitas lingkungan fisik, aksesibilitas lingkungan sosial, dan aksesibilitas media komunikasi (tertulis maupun lisan).
Penyediaan aksesibilitas dapat berupa: • Penyediaan teknologi asistif, yaitu teknologi khusus untuk membantu penyandang disabilitas; misalnya teknologi pembaca layar untuk membantu tunanetra mengakses layar komputer atau smartphone.
• Memodifikasi lingkungan, misalnya mengganti atau melengkapi tangga dengan ramp untuk kepentingan pengguna kursi roda.
• Mengubah kebijakan atau membuat kebijakan khusus, misalnya Peraturan Menteri Pekerjaan Umum tentang Fasilitas Aksesibilitas yang akan dibahas di bawah ini.
• Memberikan dukungan personal, misalnya menerjemahkan pidato lisan ke dalam bahasa isyarat untuk kepentingan pemahaman teman yang tunarungu.
Pembahasan kita kali ini akan dibatasi pada aksesibilitas lingkungan fisik saja, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan dimaksudkan sebagai acuan dalam penyediaan fasilitas dan aksesibilitas pada bangunan gedung dan lingkungan, bertujuan untuk mewujudkan kemandirian dan menciptakan lingkungan yang ramah bagi semua orang, termasuk penyandang disabilitas dan lansia.
Ruang lingkup persyaratan teknis fasilitas dan aksesibilitas pada bangunan gedung dan lingkungan meliputi:
a. Ukuran dasar ruang;
b. Jalur pedestrian;
c. Jalur pemandu;
d. Area parkir;
e. Pintu;
f. Ramp;
g. Tangga;
h. Lif;
i. Lif tangga (stairway lift);
j. Toilet;
k. Pancuran;
l. Wastafel;
m. Telepon;
n. Perlengkapan dan Peralatan Kontrol;
o. Perabot;
p. Rambu dan Marka.
IV. Aksesibilitas Masjid bagi Penyandang Disabilitas di Indonesia
Untuk memperoleh sekilas gambaran tentang implementasi peraturan tentang aksesibilitas dalam Permen PU 2006 di atas dalam pembangunan masjid, berikut ini adalah hasil beberapa penelitian tentang aksesibilitas masjid bagi penyandang disabilitas di Indonesia.
4.1. Aksesibilitas Masjid di Yogyakarta
Aksesibilitas Ibadah Bagi Difabel: Studi atas Empat Masjid di Yogyakarta, oleh Arif Maftuhin, UIN Sunan Kalijaga, dipublikasikan dalam INKLUSI, Vol.1, No. 2 Juli - Desember 2014.
Penelitian ini dilakukan terhadap empat masjid penting di Yogyakarta, yaitu Masjid Agung Kauman, Masjid Syuhada Kotabaru, Masjid Kampus UGM dan Masjid UIN Sunan Kalijaga.
Dalam kaitannya dengan aksesibilitas lingkungan fisik masjid, penelitian ini dibimbing oleh 14 pertanyaan penelitian sbb.
1) Apakah masjid berlokasi di tempat yang mudah dijangkau dengan berbagai moda transportasi: jalan kaki, kursi roda, sepeda, sepeda motor, mobil, dan bus
2) Apakah tempat parkir ramah bagi penyandang disabilitas dengan kursi roda?
3) Adakah slot khusus disediakan untuk parkir kendaraan penyandang disabilitas?
4) Dari tempat parkir, apakah mudah bagi penyandang disabilitas untuk menjangkau area masjid?
5) Adakah rute khusus yang bisa membantu kemandirian tunanetra dan pengguna kursi roda?
6) Apakah tersedia ramp dan handrail di jalur masuk ke masjid?
7) Apakah gerbang utama masuk masjid bisa dengan mudah diakses oleh kursi roda?
8) Apakah ada akses yang mudah dari area parkir ke tempat wudu dan masuk ke dalam masjid bagi tunanetra dan pengguna kursi roda?
9) Apakah kamar kecil bisa diakses kursi roda?
10) Apakah ada tempat wudu yang bisa diakses kursi roda?
11) Adakah kursi di tempat wudu untuk membantu mereka yang tidak dapat berdiri saat wudu?
12) Apakah ruang utama masjid bisa diakses pengguna kursi roda?
13) Adakah shaf khusus kursi untuk duduk jamaah yang tidak mampu berdiri?
14) Apakah mimbar khutbah bisa diakses oleh khatib yang menggunakan kursi roda?
Penelitian ini menunjukkan bahwa tiga masjid penting di DIY, yaitu Masjid Agung Kauman, Masjid Syuhada Kotabaru, dan Masjid Kampus UGM, belum memenuhi kriteria aksesibilitas. Ide ‘aksesibilitas ibadah’ tampaknya masih jauh dariketiganya. Ada ‘keseragaman’ arsitektural yang tampaknya dipengaruhi oleh pandangan bahwa Tuhan itu Maha Tinggi sehingga arsitektur masjid cenderung ‘meninggi’ tetapi tidak dilengkapi dengan akses lift atau ramp sehingga tidak aksesibel bagi pengguna kursi roda ataupun kruk, dan juga sangat menyulitkan bagi lansia yang sudah tidak memiliki cukup tenaga untuk menaiki tangga-tangga.
Dari keempat masjid yang diteliti, hanya Masjid UIN Sunan Kalijaga yang sudah mendekati kriteria aksesibilitas. Sudah terdapat ramp yang sangat membantu bagi pengguna kruk dan kursi roda, dan jalur pemandu yang membantu kemandirian mobilitas jemaah tunanetra. Namun masih terdapat beberapa aspek lingkungan yang tidak begitu aksesibel.
4.2. Aksesibilitas Masjid Kampus Universitas Diponegoro
Aksesibilitas bagi Difabel pada Masjid Kampus Universitas Diponegoro (Studi Evaluasi Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30 Tahun 2006 tentang Pedoman Teknis dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan), oleh Salsabila Ryanandita dan Suzanna Ratih Sari, dipublikasikan dalam IMAJI Vol. 9 No.1 JULI 2020.
Fasilitas Masjid Kampus Undip yang diobservasi dan dinilai dalam studi ini adalah area parkir, ram, tangga, toilet, serta jalur pemandu.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa:
• Area parkir belum memenuhi spesifikasi Permen PU 2006;
• Sudah terdapat ram untuk mendampingi atau menggantikan tangga pada area-area tertentu, tetapi ramp di tempat tertentu kelebaran dan kemiringannya belum sepenuhnya sesuai dengan spesifikasi Permen PU 2006;
• Tida terdapat toilet yang aksesibel bagi pengguna kursi roda;
• Tidak tersedia jalur pemandu bagi pejalan kaki tunanetra.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Masjid Kampus Universitas Diponegoro belum memenuhi kriteria aksesibel bagi penyandang disabilitas.
4.3. Aksesibilitas Masjid Agung Al Aqsa Klaten
Aksesibilitas bagi Difabel pada Bangunan Masjid, oleh Afudaniati dan Himawanto, Universitas Sebelas Maret, dipublikasikan dalam Jurnal Arsitektur, Bangunan, & Lingkungan Vol.7 No.3 Juli 2018.
Penelitian ini dilakukan terhadap Masjid Agung Al Aqsa Klaten, yang terletak di Kab. Klaten, Jawa Tengah.
Kajian ini difokuskan pada aksesibilitas bagi penyandang disabilitas fisik dan lansia yang memiliki keterbatasan gerak untuk mobilitasnya, terutama pengguna kursi roda dan kruk.
Fasilitas dalam kajian ini dikhususkan pada area luar yang terdiri dari area pedestrian dan area parker, dan area dalam yang terdiri dari pintu masuk, ramp, tangga, lif, toilet, wastafel,dan
tempat wudhu. Dari kajian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat upaya untuk melengkapi sarana aksesibilitas pada bangunan masjid Agung Al Aqsa Klaten bagi penyandang disabilitas fisik dan lansia berdasarkan Permen PU 30/ PRT/M/2006. Meskipun prinsip aksesibilitas itu belum seluruhnya diterapkan, tetapi masjid ini sudah cukup aksesibel bagi PENYANDANG DISABILITAS fisik dan lansia. Namun demikian, masjid ini belum cukup aksesibel bagi penyandang tunanetra yang hendak datang secara mandiri karena belum tersedia jalur pemandu dan rambu-rambu braille untuk keperluan orientasi lingkungan bagi mereka.
V. Kesimpulan
Penyandang disabilitas memiliki hak dan kewajiban untuk beribadah sama seperti orang pada umumnya, tetapi kebanyakan masjid masih belum aksesibel bagi mereka untuk beribadah di masjid. Negara telah memfasilitasi aksesibilitas peribadatan bagi penyandang disabilitas dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang diperlukan. Pedoman teknis fasilitas dan aksesibilitas pada bangunan gedung dan lingkungan telah diundangkan oleh Menteri Pekerjaan Umum sejak tahun 2006, tetapi implementasinya di lapangan masih sangat terbatas.
Dari enam masjid yang dikaji dalam tiga penelitian kualitatif yang disorot dalam tulisan ini, dua masjid sudah menyediakan fasilitas aksesibilitas meskipun belum sepenuhnya memenuhi standar aksesibilitas, sedangkan empat masjid lainnya belum menunjukkan perhatiannya terhadap penyediaan fasilitas aksesibilitas. Tentu saja angka-angka tersebut tidak merepresentasikan gambaran tentang penyediaan fasilitas aksesibilitas di masjid-masjid secara umum, karena penelitian tersebut bukanlah penelitian kuantitatif.
Dari pengamatan saya secara tidak formal, kebanyakan masjid masih belum dibangun berdasarkan standar aksesibilitas sebagaimana diatur dalam Permen PU 2006.
Namun demikian, kesadaran masyarakat umum tentang pentingnya penyediaan fasilitas aksesibilitas di rumah-rumah peribadatan tampaknya sudah semakin tumbuh; terbukti dengan semakin banyaknya peneliti yang mengangkat persoalan aksesibilitas sebagai fokus penelitiannya.
Oleh karena itu, kita dapat optimistik bahwa masjid-masjid akan semakin aksesibel bagi muslim penyandang disabilitas di kemudian hari. Untuk mempercepat pertumbuhan aksesibilitas itu, diperlukan lebih banyak partisipasi dari semua pihak untuk mensosialisasikannya agar kesadaran tentang pentingnya aksesibilitas ini semakin tumbuh, terutama di kalangan masyarakat industri konstruksi.
Labels: Accessibility