DOCTYPE html PUBLIC "-//W3C//DTD XHTML 1.0 Strict//EN" "http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-strict.dtd"> Didi Tarsidi: Counseling, Blindness and Inclusive Education: Peranan Hubungan Teman Sebaya dalam Perkembangan Kompetensi Sosial Anak Tunanetra
  • HOME


  • Guestbook -- Buku Tamu



    Anda adalah pengunjung ke

    Silakan isi Buku Tamu Saya. Terima kasih banyak.
  • Lihat Buku Tamu


  • Comment

    Jika anda ingin meninggalkan pesan atau komentar,
    atau ingin mengajukan pertanyaan yang memerlukan respon saya,
    silakan klik
  • Komentar dan Pertanyaan Anda




  • Contents

    Untuk menampilkan daftar lengkap isi blog ini, silakan klik
  • Contents -- Daftar Isi




  • Izin

    Anda boleh mengutip artikel-artikel di blog ini asalkan anda mencantumkan nama penulisnya dan alamat blog ini sebagai sumber referensi.


    02 August 2007

    Peranan Hubungan Teman Sebaya dalam Perkembangan Kompetensi Sosial Anak Tunanetra

    (Studi Kasus tentang Hubungan Sosial Anak Tunanetra dengan Sebayanya yang Awas di Lingkungan Sekitar Rumahnya)

    Oleh Didi Tarsidi
    Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

    Abstrak
    Hubungan teman sebaya (peer relationships) - khususnya dalam kegiatan bermain - memainkan peranan penting dalam perkembangan kompetensi sosial anak, dan perkembangan kompetensi sosial pada masa kanak-kanak itu sangat menentukan kualitas individu pada masa-masa kehidupan selanjutnya. Penelitian ini mengkaji anak tunanetra yang tinggal bersama orang tuanya di dalam lingkungan anak-anak awas, yang dimaksudkan untuk mengungkap masalah-masalah yang dihadapinya dalam hubungan sosialnya dengan sebayanya yang awas di lingkungan sekitar rumahnya - yang difokuskan pada kegiatan bermainnya - yang mungkin berdampak pada perkembangan kompetensi sosialnya. Daftar Cek Atribut Sosial yang diadministrasikan kepada anak-anak tunanetra ini menunjukkan bahwa mereka yang berhasil dalam hubungan sosialnya dengan teman sebayanya menampilkan profil kompetensi sosial yang jauh lebih baik daripada mereka yang sebaliknya.

    Kata Kunci: Hubungan teman sebaya; kompetensi sosial; anak tunanetra

    Pendahuluan
    Selama dua dekade terakhir ini, telah terakumulasi evidensi yang meyakinkan bahwa jika anak tidak mencapai kompetensi sosial minimum hingga sekitar usia enam tahun, besar kemungkinan mereka akan menghadapi masalah pada masa dewasanya dalam hal-hal tertentu (Ladd, 2000; Parker & Asher, 1987 – dalam McClellan & Katz, 2001). Sejumlah penelitian akhir-akhir ini (Hartup & Moore, 1990; Kinsey, 2000; Ladd & Profilet, 1996; McClellan & Kinsey, 1999; Parker & Asher, 1987; Rogoff, 1990 - dalam McClellan & Katz, 2001) menunjukkan bahwa adaptasi sosial dan emosional anak jangka panjang, perkembangan akademik dan kognitifnya, dan kehidupannya sebagai seorang warga negara diperkuat oleh seringnya dia memiliki kesempatan untuk memperkuat kompetensi sosialnya selama masa kanak-kanaknya. Di dalam penelitian ini, kompetensi sosial (social competence) pada anak didefinisikan sebagai kemampuannya untuk beradaptasi dengan lingkungannya, yang ditunjukkan dengan kemampuannya untuk mempersepsi orang lain secara tepat, asertif, responsif, berempati, memiliki rasa humor, ramah kepada teman sebaya dan santun kepada orang dewasa (Pellegrini & Glickman, 1991; Budd, 1985; Benard, 1995).
    Hubungan antarteman sebaya (peer relationships), sebagai satu aspek penting dari perwujudan kompetensi sosial, sangat besar kontribusinya terhadap perkembangan sosial maupun kognitif anak (Piaget, 1932 dalam Oden, 1987; Hartup, 1992). Lebih jauh Hartup berpendapat bahwa hubungan antarteman sebaya juga berkontribusi terhadap keefektifan fungsi individu sebagai orang dewasa. Dia berpendapat bahwa prediktor terbaik bagi kemampuan adaptasi seorang anak pada masa dewasanya bukan nilai pelajaran sekolahnya, dan bukan perilakunya di dalam kelasnya saat ini, melainkan kualitas hubungan sosialnya dengan anak-anak lain. Anak yang tidak disukai oleh banyak anak lain, yang agresif dan mengganggu, yang tidak dapat memelihara hubungan baik dengan anak-anak lain, dan yang tidak dapat menempatkan dirinya di dalam budaya teman sebaya (peer culture) sangat beresiko untuk menghadapi masalah. Masalah yang mungkin dihadapinya banyak, termasuk kesehatan mental yang buruk, putus sekolah, prestasi belajar yang rendah,dan masalah-masalah sekolah lainnya, serta riwayat pekerjaan yang buruk (Katz & McClellan, 2001). Dengan membina dan mempertahankan berbagai jenis hubungan teman sebaya dan pengalaman sosial, terutama melalui konflik teman sebaya (peer conflict), anak memperoleh pengetahuan tentang dirinya sendiri versus orang lain, serta belajar berbagai keterampilan interaksi sosial (Oden, 1987).
    Kegiatan bermain merupakan salah satu bentuk interaksi utama antarteman sebaya di kalangan anak-anak. Baik kegiatan bermain fantasi maupun permainan terstruktur memperkuat perkembangan kompetensi sosial pada anak (McClellan & Katz, 2001).
    Melalui serangkaian interaksi sosial, anak dapat mengembangkan hubungan pertemanan menjadi persahabatan. Esensi persahabatan itu adalah hubungan timbal-balik dan komitmen antara dua individu atau lebih yang memandang satu dengan lainnya sebagai setara atau hampir setara.
    Bagaimanakah dengan anak penyandang ketunanetraan yang hidup di dalam lingkungan komunitas anak awas? Apakah mereka mengalami kesulitan dalam mendapatkan teman sebaya? Apakah mereka dapat membina persahabatan dengan sebayanya yang awas atas dasar kesetaraan?
    Orang yang tunanetra sering sekali digambarkan sebagai tak berdaya, tidak mandiri dan menyedihkan, sehingga terbentuk persepsi purbasangka (prejudice) di kalangan masyarakat awas bahwa orang tunanetra itu patut dikasihani, selalu butuh perlindungan dan bantuan. Dodds (1993) mengemukakan bahwa persepsi negatif tentang ketunanetraan tersebut sering sengaja dipertahankan dan diperkuat oleh badan-badan amal demi menggugah hati banyak orang untuk berderma. Hal yang serupa sangat sering kita jumpai di dalam masyarakat kita, di mana pencari derma berkeliling dari rumah ke rumah dengan mengatasnamakan tunanetra. Citra tunanetra yang digambarkan oleh para pencari derma tersebut bahkan diperkuat oleh pemandangan yang sering dijumpai di banyak pusat keramaian di mana orang tunanetra yang tidak berkesempatan memperoleh pendidikan, rehabilitasi atau latihan yang sesuai dengan kebutuhannya terpaksa harus menggantungkan dirinya pada belas kasihan orang lain. Sangat jarang orang awas bertemu dengan model peran tunanetra yang positif dalam wujud orang tunanetra yang kompeten dan mandiri. Di samping itu, media, seni rupa, literatur dan drama lebih sering menampilkan citra ketunanetraan yang negatif, yang cenderung menonjolkan stigma daripada menawarkan aspirasi positif kepada mereka yang pada suatu saat berkemungkinan untuk kehilangan penglihatannya (Lee & Loverage, 1987), menimbulkan rasa sedih pada pemirsanya atau pembacanya, serta membuat orang awas merasa superior dan beruntung bahwa mereka tidak seperti yang digambarkan itu (Dodds, 1993). Dodds juga mengamati bahwa banyak media menggambarkan kebutaan sebagai hukuman yang patut diterima oleh penyandangnya atas kejahatan yang dilakukannya. Gambaran seperti ini mengundang pemirsanya untuk memposisikan diri pada pandangan moral tertentu terhadap sang korban; satu pandangan di mana rasa kasihan merupakan satu-satunya respon yang tepat bagi mereka yang mempunyai rasa belas kasihan, dan perasaan kebenaran dan keadilan bagi mereka yang tidak mampu menunjukkan rasa belas kasihan.
    Sama merusaknya dengan gambaran negatif mengenai ketunanetraan adalah gambaran positif yang tidak realistis di mana orang tunanetra dilukiskan sebagai "super‑hero", yang dipandang sebagai orang yang memiliki daya yang mengagumkan, baik fisik maupun mental (ingat misalnya "Si Buta dari Gua Hantu").
    Akhir-akhir ini sering juga muncul pemberitaan tentang orang tunanetra dengan prestasi tinggi, misalnya mereka yang dapat mengoperasikan komputer dengan baik, atau berhasil meraih gelar akademik yang prestisius, atau berhasil dalam karir profesionalnya. Masyarakat sering memandang pencapaian seperti ini sebagai "langka tetapi nyata", sesuatu yang mengagumkan. Dodds berpendapat bahwa pemberitaan seperti ini tidak berhasil mengubah stereotipe negatif tentang ketunanetraan, karena di balik kekaguman itu tersirat pikiran bahwa orang tunanetra pada umumnya tidak dapat atau tidak seharusnya demikian, sehingga bila masyarakat melihat contoh orang tunanetra melanggar ekspektasi negatif tersebut, itu hanya dipandang sebagai kasus kekecualian. Dengan kata lain, ekspektasi masyarakat terhadap orang tunanetra tetap rendah.
    Sikap negatif terhadap orang tunanetra tersebut sangat mungkin juga dimiliki oleh anak-anak. Skjerten (1999) bahkan mengamati bahwa anak‑anak generasi baru memperoleh persepsi dari keluarganya bahwa anak tunanetra tidak dapat diperlakukan sebagai teman bermain ataupun sahabat.
    Di pihak lain, kesulitan hubungan sosial antara anak tunanetra dan anak awas itu juga mungkin disebabkan oleh kesulitan akibat ketunanetraannya sendiri. Lowenfeld (Kingsley, 1999) menyatakan bahwa ketunanetraan mengakibatkan tiga keterbatasan yang serius pada perkembangan fungsi kognitif anak, yaitu: (1) dalam sebaran dan jenis pengalamannya; (2) dalam kemampuannya untuk bergerak di dalam lingkungannya; dan (3) dalam interaksinya dengan lingkungan sosialnya.
    Anak tunanetra bawaan (congenitally blind) tidak dapat memperoleh pola prilaku atas dasar peniruan secara visual. Bagi anak awas, peniruan visual memberikan banyak kesempatan belajar secara sosial - seperti postur tubuh yang normal pada saat berjalan, cara bermain, berbagai gerakan ekspresi serta cara melaksanakan berbagai keterampilan kehidupan sehari‑hari.
    Namun demikian, dengan intervensi yang tepat dari orang dewasa, keterbatasan-keterbatasan tersebut dapat diminimalkan, dan temannya yang awas dapat belajar untuk mengakomodasi keterbatasan-keterbatasan tersebut sehingga interaksi sosial yang positif dapat terjalin di antara anak-anak yang bebeda status penglihatannya itu (Beadles et al., 2000; Jindal‑Snape et al., 1998).
    Penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan penelitian: Bagaimanakah peranan hubungan teman sebaya terhadap perkembangan kompetensi sosial anak tunanetra yang tinggal di dalam komunitas anak awas?
    Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dua subpertanyaan penelitian berikut ini akan dicoba dijawab:
    , Bagaimanakah hubungan sosial antara anak tunanetra dengan sebayanya yang awas di lingkungan sekitar rumahnya?
    , Bagaimanakah profil kompetensi sosial anak tunanetra itu saat ini?
    Hasil penelitian tersebut akan dipergunakan sebagai dasar untuk merumuskan program bimbingan dan konseling yang operasional dan sesuai untuk membantu perkembangan kompetensi sosial anak tunanetra yang tinggal di dalam komunitas anak awas.

    Metode Penelitian
    Penelitian ini dilaksanakan menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Menurut Van Maanen (1983), penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan berbagai macam teknik interpretatif yang berupaya mendeskripsikan, mengungkap, menerjemahkan, atau menafsirkan fenomena sosial tertentu yang terjadi secara alami, dari segi maknanya, bukan dari frekuensinya. Patton (1990) mendeskripsikan penelitian kualitatif sebagai penyelidikan ilmiah yang menggunakan pendekatan pemahaman yang didasarkan atas pemikiran kritis mengenai fenomena sosial tanpa bergantung pada abstraksi simbol-simbol numerik.
    Di dalam penelitian ini, peneliti mengeksplorasi apakah hubungan dengan teman sebaya yang awas benar-benar merupakan masalah menurut perspektif anak tunanetra itu sendiri.
    Untuk memahami fenomena sosial yang berupa masalah hubungan teman sebaya antara anak tunanetra dan anak awas dari perspektif anak tunanetra tersebut, peneliti menggunakan metode studi kasus yang dilakukan terhadap empat orang anak tunanetra. Feagin, Orum, and Sjoberg (1991) mendefinisikan studi kasus sebagai "an in-depth, multi-faceted investigation, using qualitative research methods, of a single social phenomenon" (hal. 2). Snow dan Anderson (1991) mengemukakan bahwa studi kasus cenderung bersifat terbuka, yang memudahkan diperolehnya temuan-temuan dan sumber data yang tidak diantisipasi, dan salah satu dari tujuan utama studi kasus tersebut adalah untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif tentang kelompok yang diteliti.
    Oleh karena itu, di dalam penelitian ini, metode studi kasus dipilih untuk mengungkapkan pengalaman anak tunanetra dalam melakukan interaksi sosialnya dengan sebayanya yang awas guna memperoleh pemahaman yang komprehensif tentang perkembangan kompetensi sosialnya.
    Merriam (1988) mengemukakan bahwa sebuah kasus dalam studi kualitatif merupakan satu contoh dari satu fenomena, bukan sampel yang mewakili populasi tertentu seperti dalam paradigma kuantitatif. Ini berarti bahwa penentuan subyek sebagai sampel dalam penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk mewakili satu populasi tertentu, dan oleh karenanya hasilnya pun tidak dimaksudkan untuk digeneralisasikan pada populasi tertentu. Frechtling & Sharp (1997) mengemukakan bahwa penggeneralisasian yang valid secara statistik jarang menjadi dasar keputusan dalam pengambilan sampel untuk penelitian kualitatif; melainkan, penelitian kualitatif lebih mengutamakan kasus yang kaya dengan informasi untuk diteliti secara mendalam. Praktek seperti ini disebut "purposive sampling" (Lincoln and Guba, 1985). Lincoln and Guba mengemukakan bahwa purposive sampling didasarkan atas pertimbangan informasi, bukan pertimbangan statistik. Tujuannya adalah untuk memaksimalkan informasi, bukan untuk memudahkan penggeneralisasian.
    Fetterman (1989) mengemukakan bahwa peneliti dapat mempergunakan pertimbangannya (judgment) untuk memilih sampel yang paling tepat berdasarkan pertanyaan penelitian yang hendak dicarikan jawabannya. Pemilihan kasus itu didasarkan atas signifikansi atau relevansinya dengan pertanyaan penelitian, bukan karena dipandang representatif.
    Oleh karena itu, pemilihan kasus untuk penelitian ini lebih didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan berdasarkan kriteria sebagai berikut:
    , Subyek berusia tidak lebih dari 12 tahun.
    , Subyek adalah tunanetra, dengan kisaran tingkat penglihatan dari kebutaan total hingga kurang awas (low vision) - atau ketunanetraan berat hingga ketunanetraan ringan.
    , Ketunanetraan subyek terjadi sebelum subyek dapat berjalan.
    , Subyek tidak memiliki kecacatan lain.
    , Subyek sudah memiliki kemampuan berbahasa secara cukup baik untuk dapat diwawancarai.
    , Subyek tinggal di dalam komunitas anak awas (tidak di asrama khusus bagi anak tunanetra).
    Berdasarkan kriteria di atas, peneliti menemukan empat orang anak yang dapat dipergunakan sebagai subyek penelitian, yaitu siswa kelas tiga sekolah dasar di SLB/A Negeri Bandung.
    Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam (in-depth/qualitative interview). Patton (1990) mengemukakan bahwa wawancara kualitatif merupakan strategi yang paling efektif untuk mengetahui dengan pasti perspektif orang lain. Keuntungan utama dari wawancara tersebut adalah fleksibilitasnya, yang memungkinkan peneliti mengarahkan pembicaraan ke hal-hal yang bermanfaat, untuk mendorong elaborasi hal-hal yang belum cukup dijelaskan atau yang dicoba dihindari oleh responden dan untuk menjelaskan pertanyaan-pertanyaan yang kurang dimengerti oleh responden (Mouly, 1978).
    Untuk mengumpulkan data, peneliti menggunakan wawancara tak terstruktur. Wawancara yang tidak terstruktur ini memungkinkan peneliti menelusuri gagasan-gagasan yang dapat terbukti sangat signifikan (Patton, 1990). Dengan pendekatan ini, peneliti menyiapkan pedoman wawancara yang berisi garis-garis besar tentang hal-hal yang akan dieksplorasi pada masing-masing responden.
    Di samping itu, untuk menampilkan profil kompetensi sosial subyek saat ini, peneliti menggunakan “Daftar Cek Atribut Sosial”, yang diterjemahkan oleh peneliti dari The Social Attribute Checklist dari McClellan & Katz (2001 – lihat Tarsidi, 2002). Pengisian daftar cek tersebut sebagian didasarkan atas hasil wawancara dengan anak dan orang tuanya tersebut di atas, dan sebagian lainnya didasarkan atas wawancara khusus dengan orang tua dan guru kelas yang difokuskan untuk pengisian daftar cek tersebut.
    Data hasil penelitian ini dianalisis secara kualitatif dalam dua bentuk, yaitu intra-case analysis (yaitu analisis terhadap item-item dalam satu kasus yang sama) dan cross-case analysis (yaitu analisis terhadap item-item yang sama untuk kasus yang berbeda). Proses analisis dalam penelitian ini menggunakan kerangka yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (Frechtling & Sharp, 1997; Bloland, 1992), yang terdiri dari tiga fase, yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan penarikan konklusi dan verifikasi.
    Validitas hasil penelitian ini diperoleh dengan menggunakan teknik triangulasi, yang melibatkan anak tunanetra (subyek penelitian), orang tuanya (dalam hal ini ibunya), dan guru kelasnya.

    Temuan dan Pembahasan

    A. Data Hasil Penelitian
    Sebagaimana dikemukakan di atas, subyek dalam penelitian ini terdiri dari empat anak tunanetra siswa kelas tiga SLB/A Negeri Bandung yang pulang hari dan tinggal bersama orang tuanya. Tempat tinggal mereka berada pada wilayah radius lima kilometer dari sekolahnya. Subyek terdiri dari dua orang perempuan (kasus 1 dan Kasus 2) dan dua orang laki-laki (Kasus 3 dan Kasus 4). Pada tanggal 1 Juli 2002, umur subyek berkisar dari 8 tahun 11 bulan 11 hari (Kasus 1) hingga 9 tahun 11 bulan 29 hari (Kasus 3). Keempatnya menjadi tunanetra sejak lahir. Dua orang subyek adalah anak tunanetra dengan tingkat ketunanetraan berat (Kasus 1 dan Kasus 3) dan dua orang dengan tingkat ketunanetraan ringan (Kasus 2 dan Kasus 4). Tiga orang subyek berasal dari keluarga dengan dua anak (Kasus 1, Kasus 3 dan Kasus 4), dan satu dari keluarga dengan anak tunggal (Kasus 2). Dari tiga subyek yang berasal dari keluarga dengan dua anak tersebut, dua di antaranya adalah anak pertama (Kasus 1 dan Kasus 4). Satu dari keempat subyek ini tinggal dengan ibu saja sejak usia satu tahun (Kasus 2), dan satu tinggal dengan ibu kandung dan ayah tiri – yang dipersepsinya sebagai ayah kandung (Kasus 1). Latar belakang pendidikan ayah subyek adalah: satu orang sarjana (Kasus 1), satu orang berdiploma D3 (Kasus 4), satu orang lulusan sekolah menengah (Kasus 3), dan satu orang tidak signifikan untuk dikemukakan (Kasus 2 – tidak berhubungan dengan ayah kandungnya sejak usia satu tahun). Mengenai latar belakang pendidikan ibunya, satu orang berdiploma D1 (Kasus 1), satu orang sarjana (Kasus 2), dan dua orang lulusan sekolah menengah (Kasus 3 dan Kasus 4). Satu orang tua subyek mengaku memiliki tingkat penghasilan cukup (Kasus 2), satu mengaku berpenghasilan sedang hingga cukup (Kasus 1), dan dua lainnya mengaku memiliki tingkat penghasilan sedang (Kasus 3 dan Kasus 4).
    Berdasarkan data di atas, untuk keperluan analisis komparatif, keempat subyek ini dapat dikelompokkan berdasarkan jenis kelaminnya: anak perempuan (AP) dan anak laki-laki (AL), yang masing-masing berjumlah dua orang. Subyek juga dapat dikelompokkan berdasarkan tingkat ketunanetraannya: tunanetra ringan (TR)dan tunanetra berat (TB), yang masing-masing juga berjumlah dua orang.
    Secara lebih rinci, data setiap kasus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

    Kasus 1
    Kasus 1 adalah anak perempuan dengan ketunanetraan berat, anak pertama dari dua bersaudara. Mereka tinggal di dalam kelompok perumahan keluarga yang bebas dari lalu-lintas umum. Pada saat diwawancarai, Kasus 1 tampil ceria dan senang bercerita.
    Ketika ditanya apakah lebih suka bermain di sekolah atau di lingkungan rumahnya, dia mengatakan, “Lebih suka di rumah karena di rumah ada banyak teman dan banyak mainan”. Dia mengaku mempunyai banyak teman bergaul di lingkungan sekitar rumahnya, dan ada enam nama yang berulang-ulang disebutkannya sebagai teman bergaul, dengan kisaran usia antara delapan hingga sepuluh tahun (Kasus 1 sendiri berumur menjelang sembilan tahun), dan tiga orang di antaranya sama-sama duduk di kelas tiga SD. Ini tampaknya menunjukkan bahwa dia mampu bergaul dan dapat diterima dengan baik di kalangan teman-teman sebayanya yang awas, dan hal ini dikonfirmasi oleh ibunya. Ketika ibunya ditanya faktor-faktor apa yang menurutnya mungkin mempengaruhi penerimaan sosial yang baik itu, dia menyebutkan sifat Kasus 1 yang periang, memiliki rasa percaya diri yang tinggi untuk berinisiatif dalam interaksi sosial, pandai menyanyi, dan memiliki keterampilan akademik (terutama dalam bahasa dan berhitung) yang lebih baik daripada teman-teman bermainnya. Di samping itu, ibunya juga mengatakan bahwa Kasus 1 mempunyai sifat tenggang rasa yang tinggi, “Mungkin karena dia takut kehilangan teman bermain”.
    Tentang persahabatan, Kasus 1 menceritakan bahwa dia bersahabat karib dengan Siti, anak tetangga yang seusia dan sama-sama duduk di kelas tiga SD. Ibunya mengkonfirmasi bahwa Kasus 1 dan Siti selalu bersama-sama dalam hampir semua kegiatan sosial sehari-hari.
    Ketika ditanya apakah dia lebih banyak bergaul di dalam rumah atau di luar rumah, Kasus 1 mengatakan, “Sama saja”. Kasus 1 mengatakan bahwa dia sudah terorientasi dengan baik di dalam rumah dan sekitarnya sehingga mampu bergerak mandiri secara leluasa – hal ini juga dikonfirmasi oleh ibunya. Kasus 1 bahkan menceritakan bahwa dia sering disuruh ibunya pergi ke warung di dekat rumahnya “untuk membeli pecin”.
    Tentang permainan yang biasa dilakukannya bersama teman-temannya, Kasus 1 menyebutkan “main kelereng, main karet, main congklak, main bola, main layangan, main beklen, main kartu, kucing-kucingan”. Ketika ditanyakan kepada ibunya bagaimana Kasus 1 dapat berpartisipasi penuh dalam permainan-permainan itu, dia menjelaskan bahwa permainan yang benar-benar dapat diikuti olehnya hanya permainan congklak, sedangkan dalam permainan lainnya Kasus 1 lebih banyak berfungsi sebagai “penggembira”. Sang ibu mengatakan bahwa dia belum mengetahui jenis permainan terstruktur di mana anak tunanetra dan anak awas dapat sama-sama berpartisipasi secara penuh. Tetapi hal yang sangat baik dari teman-teman Kasus 1 adalah bahwa mereka selalu memberi kesempatan kepada Kasus 1 untuk sejauh tertentu turut terlibat dalam permainan-permainan itu. Jenis interaksi di mana Kasus 1 dapat berperan secara penuh adalah kegiatan bermain fantasi. Dia sering bermain “anjang-anjangan”, di mana dia sering berperan sebagai ibu atau sebagai guru, atau sebagai murid bila anak lebih besar berpartisipasi. Kegiatan bersama lainnya yang dikemukakan oleh Kasus 1 adalah bermain sepeda di halaman rumahnya dan pergi mengaji ke mesjid.
    Ketika Kasus 1 ditanya apakah pernah diganggu oleh anak lain, dia mengatakan, “Tidak pernah”. Ibu Kasus 1 menceritakan bahwa satu hal yang agak mengganggu perasaan anaknya itu adalah pertanyaan yang kadang-kadang diajukan oleh anak-anak lain tentang mengapa dia tidak dapat melihat. Untuk itu dia datang kepada orang tuanya guna meminta penjelasan. Ibunya menjelaskan kepadanya bahwa itu merupakan takdir Tuhan. Dia sering menjelaskan, “Tuhan menciptakan bermacam-macam orang, ada yang dapat melihat, ada yang tidak, tetapi Tuhan juga memberikan kelebihan dalam hal lain untuk mengatasinya.” Kini Kasus 1 selalu mengutip perkataan ibunya itu untuk menjawab pertanyaan tersebut.



    Kasus 2
    Kasus 2 adalah anak tunggal, anak perempuan dengan ketunanetraan ringan. Dia tinggal dengan ibunya dan seorang pembantu di daerah pusat kota Bandung. Ketika diwawancarai dia tampil pendiam dan menjawab pertanyaan seperlunya.
    Ketika ditanya apakah dia punya teman bergaul atau bermain di lingkungan sekitar rumahnya, dia mengatakan bahwa tidak pernah bermain dan tidak berkeinginan bermain. Ketika ditanya mengapa, dia mengatakan lebih senang bermain sendiri. Ketika hal ini ditanyakan kepada ibunya, sang ibu menjawab dengan menjelaskan watak anaknya itu sebagai sangat tergantung kepada orang dewasa, sangat membutuhkan perhatian dan perlindungan, tak acuh terhadap lingkungan sosialnya, sulit beradaptasi dengan lingkungan sosial baru, tetapi semangat bersekolahnya sangat tinggi “karena dunianya hanya rumah dan sekolah”. Di samping itu, sang ibu juga mempersalahkan kekurangan interaksi sosial anaknya itu pada masyarakat kota tempat tinggalnya yang cenderung lebih individualistik.
    Keterlekatan Kasus 2 kepada ibunya tampak sangat erat. Ketika dia ditanya apakah mempunyai sahabat, dia menjawab, “Sahabat saya Mama”. Ibunya pun mengatakan hal yang sama, bahwa satu-satunya orang yang dipandang sebagai sahabat oleh anaknya itu adalah ibunya sendiri.
    Kasus 2 menghabiskan sebagian besar waktu luar sekolahnya di dalam rumah bersama seorang pembantu plus ibunya bila sudah pulang kerja. Dia adalah seorang pelajar yang tekun dengan prestasi akademik yang baik (selalu peringkat pertama di kelasnya). Di luar kegiatan belajar akademiknya, dia suka bermain dengan boneka-bonekanya. Ibunya menceritakan betapa Kasus 2 pandai menciptakan skenario sendiri untuk diperankan oleh tokoh-tokoh bonekanya itu, termasuk skenario “Ada Tamu”, “Membantu Mama Masak”, “Mama Sakit”, dan lain-lain. Dia berperan sebagai “dalang” untuk tokoh-tokoh bonekanya itu, dan dia sangat tidak suka kalau pagelaran fantasinya itu diganggu orang – termasuk ibunya - dia asyik bermain dengan dirinya sendiri.

    Kasus 3
    Kasus 3 adalah seorang anak laki-laki dengan ketunanetraan berat, anak kedua dari dua bersaudara. Dia sekeluarga tinggal serumah dengan neneknya dan keluarga bibiknya yang mempunyai dua orang anak (satu sebaya dengan Kasus 3 dan satu lainnya dua tahun lebih muda). Mereka tinggal di daerah hunian padat di daerah Linggawastu. Jalan di depan rumahnya adalah gang sempit yang hanya dapat dilalui kendaraan roda dua. Sebagian besar tetangganya adalah mahasiswa yang kos.
    Kasus 3 menyatakan tidak berminat untuk bermain di luar rumah karena sering ada anak yang mengatainya buta, dan tidak ada anak lain di lingkungan tempat tinggalnya yang dikenalnya dengan baik meskipun dia sudah tinggal di sini selama tiga tahun. Dia menghabiskan sebagian besar waktu luar sekolahnya di dalam rumah, dan teman bergaulnya sehari-hari adalah kakaknya dan kedua orang saudara sepupunya – teman serumahnya. Dengan merekalah dia belajar, bermain, dan kadang-kadang bertengkar. Sesekali teman-teman saudara sepupunya datang bermain ke rumah itu, tetapi Kasus 3 lebih memilih mengucilkan diri di dalam kamarnya daripada bergabung dengan mereka.
    Mainan kesukaannya adalah Nitendo gelut. Ibunya menjelaskan bahwa Kasus 3 tidak benar-benar dapat mempersepsi gerakan-gerakan tokoh gelutnya itu, dia hanya menekan tombol-tombol Nitendo itu secara acak dan mendengarkan respon suara yang ditimbulkannya. Dari nada suaranya, dia dapat mempersepsi apakah tokoh gelutnya itu berada dalam posisi menang atau kalah. Dengan demikian, baginya permainan Nitendo itu lebih berfungsi sebagai permainan fantasi daripada gim. Memainkan pistol atau kapal mainan adalah kegiatan bermain fantasi lainnya yang kadang-kadang dilakukannya bersama saudara sepupunya. Kegiatan bermain lain bersama saudara sepupunya adalah bermain bola. Akan tetapi, karena bola yang dipergunakan bukan bola yang dimodifikasi khusus bagi tunanetra, maka saudara sepupunya itu lebih berperan sebagai “pemandu” daripada sebagai pasangan bermain, sehingga permainan ini lebih merupakan kegiatan bersama daripada permainan terstruktur.

    Kasus 4
    Kasus 4 adalah anak laki-laki dengan ketunanetraan ringan, anak pertama dari dua bersaudara. Dia tinggal di daerah hunian padat di Sukajadi, dan jalan di depan rumahnya adalah sebuah gang sempit yang biasanya dijadikan arena bermain oleh anak-anak di sekitarnya. Ibu Kasus 4 menggambarkan anak ini sebagai bersifat periang dan memiliki kemampuan adaptasi sosial yang tinggi.
    Minat Kasus 4 untuk melakukan interaksi sosial dengan anak-anak lain di lingkungan sekitar rumahnya sangat tinggi. Ibunya bahkan mengatakan bahwa Kasus 4 cenderung terlalu banyak bermain di luar rumah sehingga sering kali harus diperingatkan untuk pulang dan mengerjakan pekerjaan rumahnya. Ketika ditanya dengan siapa biasanya dia bergaul, dia menyebutkan banyak nama, tetapi ada delapan nama yang berulang-ulang disebutkan oleh Kasus 4, enam di antaranya lebih muda, satu lebih tua dan satu lainnya sebaya.
    Ketika ditanya siapa sahabatnya, dia menyebut nama Eles, anak laki-laki tetangganya yang seusia dan sama-sama duduk di kelas tiga SD. Ibunya mengkonfirmasinya dengan mengatakan bahwa Eles merupakan satu-satunya teman sebaya Kasus 3 yang selalu bersama-sama dalam hampir semua kegiatan luar sekolahnya.
    Bentuk interaksi yang dilakukannya mencakup main bola, petak umpet, bersepeda bersama, dan main mobil-mobilan. Tempat interaksi mencakup di dalam rumah, di halaman rumah dan sekitarnya, dan bahkan kadang-kadang di tanah lapang yang agak jauh dari rumah, dan interaksi di luar rumah lebih sering dilakukannya daripada di dalam rumah.
    Ketika ditanya mengapa dia cenderung bergaul dengan anak yang lebih muda, Kasus 4 mengatakan bahwa anak sebaya sering mengganggunya. Apakah dia suka melawan jika diganggu? Dia menjawab, “ya, kalau sudah terlalu kesal”. Tampaknya perlawanan tersebut luput dari pengamatan ibunya karena ibunya mengatakan bahwa Kasus 4 tidak pernah melawan bila diganggu. Menurut ibunya, Kasus 4 cenderung mengucilkan diri di dalam rumah bila merasa bahwa anak-anak lain tidak menghendaki kehadirannya. Ini terjadi terutama dalam permainan bola di mana teman-teman sebayanya memandang Kasus 4 kurang dapat mengimbangi permainan mereka karena keterbatasan penglihatannya. Dalam hal demikian, ibunya mengintervensi untuk mengembalikan Kasus 4 ke dalam kelompok bermainnya. Hal lain yang dikhawatirkan oleh orang tuanya adalah bahwa Kasus 4 cenderung selalu menuruti suruhan teman-teman sebayanya. “Mungkin dia takut tidak ditemani,” ujar ibunya. Sang ibu khawatir kalau-kalau anaknya itu bersedia disuruh mencuri.

    B. Analisis
    Untuk memudahkan analisis, intisari data penelitian di atas disajikan dalam bentuk matrix pada tabel berikut ini.

    Matrix Hubungan Teman Sebaya
    Fokus Kajian
    Kasus 1 (AP-TB)
    Kasus 2 (AP-TR)
    Kasus 3 (AL-TB)
    Kasus 4 (AL-TR)
    Minat interaksi
    Tinggi.
    Sangat rendah.
    Rendah.
    Sangat tinggi.
    Penerimaan oleh kelompok teman sebaya
    Baik.
    Tidak terekspos ke dalam kelompok teman sebaya.
    Hanya bergaul dengan saudara- nya, teman seru- mah.
    Diterima lebih baik oleh anak yang lebih muda.
    Diganggu teman sebaya.
    Persahabatan
    Berhasil.
    Tidak terjalin.
    Tidak terjalin.
    Berhasil.
    Bentuk interaksi
    Berpartisipasi secara terbatas dalam permainan terstruktur dengan bantuan teman;
    Bermain fantasi secara berhasil;
    Terlibat dalam kegiatan bersama lainnya.
    Asyik bermain fantasi seorang diri.
    Dengan teman serumahnya: Bermain fantasi;
    Melakukan kegiatan bersama lain.
    Berpartisipasi dalam permainan terstruktur dengan keterbatasan;
    Bermain fantasi baik;
    Terlibat dalam kegiatan bersama lainnya.
    Tempat interaksi
    Di dalam dan luar rumah.
    Hanya berinteraksi dengan orang dewasa di dalam rumah.
    Di dalam rumah dengan saudaranya.
    Di dalam dan luar rumah.
    Keterangan:
    AL = anak laki-laki
    AP = anak perempuan
    TB = tunanetra berat
    TR = tunanetra ringan

    Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa tinggi atau rendahnya minat kasus untuk berinteraksi dengan anak lain di lingkungan sekitar rumahnya tidak dapat diatribusikan pada tingkat ketunanetraannya ataupun jenis kelaminnya tetapi tampaknya ditentukan oleh peranan orang tuanya dalam mengekspos mereka ke lingkungan sosialnya serta mendorongnya untuk masuk ke dalam kelompok teman sebayanya (Tarsidi, 2002). Kasus 1 (AP-TB) dan Kasus 4 (AL-TR) memiliki minat interaksi yang tinggi karena tingkat eksposur sosial dan dorongan berkelompok yang dilakukan oleh orang tuanya pun tinggi (Tarsidi, 2002). Sebaliknya, minat interaksi Kasus 2 (AP-TR) dan Kasus 3 (AL-TB) rendah mungkin karena eksposur sosial dan dorongan berkelompok dari orang tuanya juga kurang.
    Dalam hal penerimaan oleh kelompok anak lain di lingkungan sekitar rumahnya, Kasus 1 dan Kasus 4 dapat diterima dengan baik, dan hal ini relevan dengan tingkat minat interaksinya serta tingkat eksposur sosial dan dorongan berkelompok dari orang tuanya yang juga baik. Akan tetapi terdapat perbedaan di antara kedua kasus ini: Kasus 1 (AP-TB) diterima baik oleh kelompok teman sebayanya, sedangkan Kasus 4 (AL-TR) diterima lebih baik oleh kelompok anak yang lebih muda dan dia sering mengalami konflik dengan teman sebayanya. Perbedaan ini mungkin terkait dengan hakikat lingkungan tempat tinggalnya. Kasus 1 tinggal dalam lingkungan yang eksklusif, yang semua tetangganya adalah para penyewa rumah-rumah milik keluarganya, sedangkan lingkungan tempat tinggal Kasus 4 lebih inklusif dengan jumlah tetangga yang lebih besar. Perbedaan jenis kelamin dan tingkat ketunanetraan mungkin juga turut menentukan. Faktor lain yang turut menentukan mungkin adalah kepribadian, baik kepribadian kasus maupun kepribadian teman-temannya.
    Di pihak lain, Kasus 2 dan Kasus 3 tidak terekspos ke kelompok anak lain di lingkungan sekitar rumahnya, yang juga tampaknya relevan dengan rendahnya tingkat eksposur sosial dan dorongan berkelompok yang dilakukan orang tuanya, sehingga mereka kurang termotivasi untuk melibatkan diri ke dalam kelompok anak lain. Yang membedakan antara Kasus 2 dengan Kasus 3 adalah keadaan demografik rumah tangganya. Karena Kasus 3 serumah dengan dua orang saudara sepupunya maka dia memiliki kesempatan untuk bergaul dengan anak lain, sedangkan Kasus 2 tidak (dia hanya tinggal dengan ibunya dan seorang pembantu).
    Penjelasan di atas menunjukkan bahwa tingkat ketunanetraan ataupun jenis kelamin tidak terkait dengan tingkat penerimaan kelompok. Penerimaan kelompok tampaknya terkait dengan minat interaksi, yang pada gilirannya ditentukan oleh peranan orang tuanya dengan mengekspos anak itu ke lingkungan sosialnya dan oleh besarnya dorongan dan dukungannya untuk masuk ke dalam kelompok anak lain. Eksposur sosial ini juga sangat membantu anak lain untuk bersikap lebih positif terhadap anak tunanetra. Terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa anak-anak awas yang bersekolah bersama-sama dengan anak tunanetra dan berinteraksi dengannya memiliki sikap yang lebih positif terhadapnya daripada mereka yang tidak pernah terekspos pada kehidupan individu tunanetra (Zabel, 1982).
    Tentang persahabatan, tampaknya merupakan konsekuensi logis dari gambaran di atas bahwa hanya Kasus 1 (AP-TB) dan Kasus 4 (AL-TR) yang berhasil menjalin persahabatan dengan sebayanya yang awas di lingkungan sekitar rumahnya.
    Item bentuk interaksi dimaksudkan untuk memperoleh data tentang keterlibatan kasus dalam permainan terstruktur (yaitu permainan yang dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan baku dan bersifat kompetitif), kegiatan bermain fantasi, dan kegiatan bersama lainnya yang tidak tergolong ke dalam permainan terstruktur ataupun bermain fantasi. Dari ketiga jenis interaksi tersebut, hanya Kasus 1 (AP-TB) dan Kasus 4 (AL-TR) yang melibatkan diri ke dalam ketiganya, sedangkan Kasus 3 (AL-TB) hanya melibatkan diri dalam kegiatan bermain fantasi dan kegiatan bersama lainya, dan Kasus 2 (AP-TR) hanya bermain fantasi seorang diri - dengan catatan bahwa Kasus 3 hanya berinteraksi dengan teman serumahnya, dan Kasus 2 hanya bermain seorang diri karena dia tidak mempunyai teman bermain. Perbedaan tingkat interaksi antara Kasus 1 dan Kasus 4 di satu pihak, dan Kasus 2 dan Kasus 3 di pihak lain, tampaknya sejalan dengan perbedaan dalam tingkat minat interaksinya dan tingkat penerimaan mereka oleh kelompok teman sebayanya, dan sejalan pula dengan tingkat eksposur sosial serta tingkat dorongan berkelompok dari orang tuanya. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, dalam keempat item tersebut Kasus 1 dan Kasus 4 lebih baik daripada kedua kasus lainnya. Di samping itu, fakta bahwa kasus mengalami kesulitan dalam kegiatan permainan terstruktur bersama teman sebayanya yang awas itu sejalan pula dengan kesulitan yang dikemukakan oleh para orang tua dalam menyediakan akses bagi anaknya ke bentuk interaksi ini.
    Tempat interaksi kasus dengan anak-anak lain pun tampaknya tidak terkait dengan tingkat ketunanetraan ataupun jenis kelaminnya. Kasus 1 (AP-TB) dan Kasus 4 (AL-TR) melakukan interaksi di dalam maupun luar rumah, sedangkan Kasus 2 (AP-TR) dan Kasus 3 (AL-TB) melewatkan sebagian besar waktu luar sekolahnya di dalam rumah dan hanya berinteraksi dengan teman serumahnya. Hal ini tampaknya terkait dengan minat anak-anak ini untuk berinteraksi dengan sebayanya yang awas di lingkungan sekitar rumahnya, tingkat penerimaannya oleh kelompok anak lain, eksposur sosial yang dilakukan oleh orarng tuanya, dorongan dan dukungan yang diberikan oleh orang tuanya untuk masuk ke dalam kelompok anak lain, serta terkait dengan tingkat bimbingan orientasi dan mobilitas yang mereka terima (Tarsidi, 2002).

    Dapat disimpulkan bahwa temuan-temuan di atas menunjukkan bahwa dua dari empat kasus (Kasus 1 dan Kasus 4) memiliki hubungan sosial yang baik atau cukup baik dengan teman sebayanya yang awas, sedangkan dua kasus lainnya tidak berhasil menjalin hubungan sosial yang bermakna dengan teman sebayanya yang awas. Daftar Cek Atribut Sosial yang diadministrasikan kepada mereka pun menunjukkan profil kompetensi sosial yang relevan dengan tingkat keberhasilan hubungan sosial dengan teman sebayanya. Profil tersebut menunjukkan bahwa Kasus 1 (AP-TB) dan Kasus 4 (AL-TR) memiliki profil kompetensi sosial yang jauh lebih baik daripada Kasus 2 (AP-TR) dan Kasus 3 (AL-TB). Dari ke-24 item atribut sosial pada daftar cek itu, Kasus 1 tampak baik dalam 23 item dan Kasus 4 tampak baik dalam 21 item, sedangkan Kasus 2 hanya tampak baik dalam 6 atau 11 item dan Kasus 3 hanya tampak baik dalam 5 atau 10 item. Menurut McClellan dan Katz (2001), jika seorang anak tampil baik dalam sebagian besar atribut pada daftar cek ini, maka dapat diasumsikan bahwa kesulitan sosial temporer yang dialaminya akan teratasi tanpa intervensi orang dewasa, dan dia akan memperkuat keterampilan sosialnya, rasa percaya dirinya dan kemandiriannya bila dia dipercaya untuk memecahkan kesulitan sosialnya itu tanpa bantuan orang dewasa. Akan tetapi, jika seorang anak tampil buruk dalam banyak dari item-item pada daftar cek ini, maka menjadi tanggung jawab orang dewasa untuk mengimplementasikan strategi yang dapat membantu anak mengatasi kesulitan sosialnya.
    Perbedaan antara tampilan Kasus 1 dan Kasus 4 di satu pihak dengan Kasus 2 dan Kasus 3 di lain pihak jelas tidak terkait dengan perbedaan tingkat ketunanetraan ataupun perbedaan jenis kelaminnya, tetapi tampaknya terkait dengan keberhasilan versus kegagalan mereka dalam hubungan sosialnya dengan teman sebayanya. Sebagaimana telah dibahas pada bagian 4.2, kinerja Kasus 1 dan Kasus 4 dalam hubungan sosialnya dengan teman sebayanya yang awas di lingkungan sekitar rumahnya pun lebih baik daripada Kasus 2 dan Kasus 3.

    Kesimpulan dan Rekomendasi
    Penelitian ini menemukan bahwa anak tunanetra membutuhkan bantuan untuk dapat menjalin hubungan sosial yang lebih baik dengan sebayanya yang awas di lingkungan sekitar rumahnya.
    Dua dari keempat kasus yang diteliti memiliki minat yang sangat rendah untuk berinteraksi dengan teman sebayanya yang awas di lingkungan sekitar rumahnya dan tidak berhasil menjalin persahabatan dengan sebayanya yang awas. Tinggi atau rendahnya minat interaksi tersebut tidak dapat diatribusikan pada tingkat ketunanetraannya ataupun jenis kelaminnya, tetapi tampaknya ditentukan oleh peranan orang tuanya dalam mengekspos mereka ke lingkungan sosialnya serta mendorongnya untuk masuk ke dalam kelompok teman sebayanya, dan juga terkait dengan karakteristik lingkungannya. Faktor-faktor tersebut juga tampaknya mengakibatkan mereka tidak dapat diterima dengan baik oleh kelompok teman sebayanya yang awas.
    Mengenai jenis interaksi yang dilakukan anak tunanetra dengan sebayanya yang awas, anak tunanetra tampaknya tidak mengalami kesulitan dalam kegiatan bermain fantasi, tetapi mereka menemui kesulitan dalam mengakses permainan terstruktur.
    Tempat interaksi (di dalam atau di luar rumah) tampaknya tidak terkait dengan tingkat ketunanetraan ataupun jenis kelaminnya, tetapi tampaknya terkait dengan minat anak-anak ini untuk berinteraksi dengan sebayanya yang awas di lingkungan sekitar rumahnya, tingkat penerimaannya oleh kelompok anak lain, eksposur sosial yang dilakukan oleh orarng tuanya, dorongan dan dukungan yang diberikan oleh orang tuanya untuk masuk ke dalam kelompok anak lain, serta ditentukan oleh tingkat bimbingan orientasi dan mobilitas yang mereka terima serta motivasinya untuk bergerak.
    Temuan lainnya adalah bahwa sebagian anak tunanetra menampilkan profil kompetensi sosial yang rendah sehingga membutuhkan bantuan yang serius untuk mengembangkan kompetensi sosialnya. Daftar Cek Atribut Sosial yang diadministrasikan kepada subyek penelitian ini menunjukkan bahwa anak tunanetra yang lebih berhasil dalam menjalin hubungan sosial dengan teman sebayanya yang awas itu menampilkan profil kompetensi sosial yang baik – jauh lebih baik daripada mereka yang tidak berhasil dalam kegiatan sosialisasinya.

    Berdasarkan hal tersebut, peneliti telah merumuskan dan merekomendasikan “Program Bimbingan Perkembangan Kompetensi Sosial bagi Anak Tunanetra”, satu program hipotetik yang menggunakan model bimbingan perkembangan dengan pendekatan ekologi, yang dirancang khusus untuk membantu siswa-siswa SLB/A yang pulang hari dan tinggal bersama orang tuanya agar dapat mengembangkan kompetensi sosialnya secara optimal. Program ini seyogyanya merupakan bagian yang integral dari program bimbingan dalam kurikulum SLB/A. Tujuan akhir program ini adalah perkembangan kompetensi sosial anak tunanetra secara optimal, yaitu perkembangan kemampuannya untuk beradaptasi dengan lingkungannya, yang ditunjukkan dengan kemampuannya untuk mempersepsi orang lain secara tepat, asertif, responsif, berempati, memiliki rasa humor, ramah kepada teman sebaya dan santun kepada orang dewasa. Untuk dapat mencapai kompetensi sosial tersebut, anak harus belajar berbagai keterampilan sosial, yaitu perilaku spesifik dalam tugas-tugas tertentu yang dipandang tepat oleh orang lain dalam konteks hubungan interpersonal. Program ini dimaksudkan untuk memberikan bimbingan keterampilan sosial pada anak dengan menciptakan lingkungan belajar yang efektif dan suportif, sehingga dia akan mencapai kompetensi sosial tersebut. Secara umum, materi program ini mencakup tiga kelompok materi dasar, yaitu (1) pengembangan psikologis dan kognitif yang terkait dengan ketunanetraan (kekuatan psikologis dan pemahaman tentang ketunanetraan), (2) kemandirian (aksesibilitas lingkungan fisik, keterampilan orientasi dan mobilitas, keterampilan merawat diri dan keterampilan makan), dan (3) keterampilan interaksi sosial (eksposur sosial, bermain fantasi, permainan terstruktur, keterlibatan dalam kegiatan kelompok, dan bahasa nonverbal). Pemilihan materi bimbingan untuk program ini didasarkan atas kebutuhan khusus anak tunanetra di dalam lingkungan belajarnya – sebagaimana terungkap dalam hasil-hasil penelitian ini, tetapi daftar materi tersebut dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan di lapangan, dan urutan implementasinya pun tidak dimaksudkan untuk bersifat kaku. Sasaran program adalah anak tunanetra beserta lingkungan sosialnya (orang tua dan kerabatnya, teman-teman sebayanya serta anggota masyarakat lainnya yang terkait dengan kehidupan anak tunanetra itu) serta lingkungan fisiknya (rumah dan sekitarnya) sebagai satu sistem – sesuai dengan prinsip model bimbingan perkembangan dengan pendekatan ekologi – dan dilaksanakan di dalam konteks lingkungan itu. Program ini sebaiknya diimplementasikan sedini mungkin atau selambat-lambatnya ketika anak berusia sembilan tahun. Karena sasaran program adalah anak tunanetra beserta lingkungan tempat tinggalnya, maka bimbingan dilaksanakan di luar sekolah dan kemungkinan di luar jam sekolah. Jumlah pertemuan yang dialokasikan untuk setiap materi bimbingan yang tertera pada matrix program ini adalah jumlah minimal, yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Di dalam mengimplementasikan program ini, untuk materi-materi tertentu (misalnya untuk keterampilan orientasi dan mobilitas atau penciptaan aksesibilitas lingkungan fisik), guru pembimbing atau konselor sekolah disarankan untuk berkolaborasi dengan profesional terkait lainnya (misalnya instruktur orientasi dan mobilitas atau guru pendidikan luar biasa) atau dengan otoritas lokal di daerah tempat tinggal klien.
    Program bimbingan tersebut dapat dilihat dalam Tarsidi (2002).

    Referensi
    Beadles, R. J., Jr., McDaniel, R. S. & Waters, S. (2000). "Vocational Outcomes of Sensory Impaired Graduates of an Adult Vocational Training Program". Journal of Visual Impairment and Blindness. May 2000, 275‑280
    Benard, B. (1995). Fostering Resilience in Children. ERIC Digest. Urbana IL: ERIC Clearinghouse on Elementary and Early Childhood Education. (Online). Tersedia: http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed386327.html
    Budd, K. S. (1985). “Parents as Mediators in the Social Skills Training of Children”, dalam L'Abate, Luciano & Milan, Michael A. (Eds.) (1985). Handbook of Social Skills Training and Research. New York: John Wiley & Sons.
    Dodds, A. (1993). Rehabilitating Blind and Visually Impaired People: A psychological approach. London: Chapman& Hall.
    Feagin, J.R., Orum, A.M., & Sjoberg, G. (1991). “Introduction: The Nature Of The Case Study”. In J.R. Feagin, A.M. Orum, & G. Sjoberg, (Eds.). (1991). A Case For The Case Study. Chapel Hill, NC: University Of North Carolina Press.
    Fetterman, D.M. (1989). Ethnography: Step by step. Newbury Park, CA: Sage.
    Frechtling, j. & Sharp, l. (Eds.). (1997). User-Friendly Handbook for Mixed Method Evaluations. (Online). Tersedia: http://www.ehr.nsf.gov/EHR/REC/pubs/NSF97-153/
    Hartup, W. W. (1992). Having Friends, Making Friends, and Keeping Friends. ERIC Digest. Urbana IL: ERIC Clearinghouse on Elementary and Early Childhood Education. (Online). Tersedia: http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed345854.html.
    Jindal‑Snape, D.; Kato, M.; Maekawa, H. (1998). "Using Self‑Evaluation Procedures to Maintain Social Skills in a Child Who Is Blind". Journal of Visual Impairment and Blindness, May 1998, 362‑366.
    Kingsley, M. (1999). “The Effects of a Visual Loss”, dalam Mason, H. & McCall, S. (Eds.). (1999). Visual Impairment: Access to Education for Children and Young People. London: David Fulton Publishers
    Lincoln, Y.S. & Guba, E.G. (1985). Naturalistic Inquiry. Newbury Park, CA: Sage.
    McClellan, D. E. & Katz, L. G. (1993). Young Children's Social Development: A Checklist. ERIC Digest. (Online). Tersedia: http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed356100.html.
    McClellan, D. E. & Katz, L. G. (2001). Assessing Young Children's Social Competence. ERIC Digest. (Online). Tersedia: http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed450953.html.
    McGaha, C. G. & Farran, D. C. (2001). “Interactions in any Inclusive Classroom: The Effects of Visual Status and Setting”. Journal of Visual Impairments and Blindness. February 2001, 80-94.
    Merriam, S.B. (1988). Case Study Research In Education: A Qualitative Approach. San Francisco: Jossey-Bass.
    Mouly, G.J. (1978). Educational research: The art and science of investigation. Boston, MA: Allyn and Bacon, Inc.
    Oden, S. (1987). The Development of Social Competence in Children. ERIC Digest. (Online). Tersedia: http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed281610.html.
    Patton, M.Q. (1990). Qualitative Evaluation And Research Methods (2nd Ed.). Newbury Park, CA: Sage.
    Pellegrini, A. D. & Glickman, Carl D. (1991). Measuring Kindergartners' Social Competence. ERIC Digest. (Online). Tersedia: http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed327314.html.
    Skjerten, Miriam D. (1999). Introduction to visual impairment. Jakarta: Quality Improvement of Schools for Children with Visual Impairment ‑ P‑177
    Strauss, A. & Corbin, J. (1990). Basics of qualitative research. Newbury Park: Sage.
    Tarsidi, D. (2002). Perkembangan Kompetensi Sosial Anak Tunanetra – Studi Kasus tentang Hubungan Sosial Anak Tunanetra dengan Sebayanya yang Awas di Lingkungan Sekitar Rumahnya. Tesis pada Program S2, Program Studi Bimbingan dan Penyuluhan, Konsentrasi Bimbingan Anak Khusus, Program Pasca-Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
    Van Maanen, J. (Ed.) (1983). Qualitative Methodology. Beverly Hills, CA: Sage.
    Zabel, M. K. (1982). “Characteristics of Handicapping Conditions”. Dalam Neely, M. A. (1982). Counseling and Guidance Practices with Special Education Students. Homewood, Illinois: The Dorsey Press.

    Labels: ,

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke DAFTAR ISI