DOCTYPE html PUBLIC "-//W3C//DTD XHTML 1.0 Strict//EN" "http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-strict.dtd"> Didi Tarsidi: Counseling, Blindness and Inclusive Education: Intervensi Konseling terhadap Keluarga dengan Anak Tunanetra
  • HOME


  • Guestbook -- Buku Tamu



    Anda adalah pengunjung ke

    Silakan isi Buku Tamu Saya. Terima kasih banyak.
  • Lihat Buku Tamu


  • Comment

    Jika anda ingin meninggalkan pesan atau komentar,
    atau ingin mengajukan pertanyaan yang memerlukan respon saya,
    silakan klik
  • Komentar dan Pertanyaan Anda




  • Contents

    Untuk menampilkan daftar lengkap isi blog ini, silakan klik
  • Contents -- Daftar Isi




  • Izin

    Anda boleh mengutip artikel-artikel di blog ini asalkan anda mencantumkan nama penulisnya dan alamat blog ini sebagai sumber referensi.


    06 October 2007

    Intervensi Konseling terhadap Keluarga dengan Anak Tunanetra

    (Analisis Kasus)
    Oleh Didi Tarsidi
    Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

    I. Pendahuluan

    Kecacatan yang terjadi pada anak selalu menimbulkan permasalahan psikososial pada orang tuanya. Mereka akan melewati masa-masa duka yang panjang. Tahap-tahap kedukaan itu dapat mencakup penolakan, rasa marah, dan akhirnya penerimaan; meskipun bagi orang tua tertentu penerimaan itu mungkin perlu waktu bertahun-tahun untuk dapat terwujud. Kedukaan ini merupakan proses yang umum di kalangan orang tua yang mempunyai anak penyandang kecacatan jenis apa pun. Perasaan orang tua itu akan berdampak pada hubungan di antara mereka sendiri maupun pada hubungan mereka dengan anak itu, dan hal ini pada gilirannya akan berdampak pada perkembangan emosi dan sosial anak (Kingsley, 1999).

    Makalah ini akan membahas dampak kecacatan anak (dalam hal ini ketunanetraan) pada kehidupan keluarga berdasarkan kasus sebuah keluarga dan bagaimana cara mengatasinya berdasarkan teori konseling keluarga. (Perlu diketahui bahwa nama-nama yang disebutkan dalam kasus tersebut adalah nama-nama yang disamarkan).

    II. Deskripsi Kasus

    Ani adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Setamat dari program S-1 fakultas Ekonomi, dia bekerja pada bagian administrasi keuangan di sebuah perusahaan tekstil. Adik pertamanya, seorang laki-laki, bekerja sebagai montir di sebuah bengkel mobil, sedangkan adik bungsunya, seorang perempuan, masih bersekolah di SMA. Ayahnya seorang pegawai administrasi di sebuah lembaga pemerintah, sedangkan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga.

    Pada usia 27 tahun, Ani menikah dengan Adi, seorang asisten menejer pemasaran pada sebuah perusahaan asuransi. Mereka tinggal bersama keluarga Ani. Hampir dua bulan setelah pernikahanya, Ani mulai mengandung. Seiring pertumbuhan janin dalam kandungan, Ani dan Adi mulai berkhayal tentang anak mereka. “Anak kita akan menjadi pemain bola professional yang bermain dengan klub-klub dunia,” Adi sering berkata. “Dia akan menjadi aktris terkenal,” Ani menimpali.

    Anak mereka lahir sebagai seorang bayi laki-laki yang sehat dan tampan, disambut dengan kebahagiaan seluruh keluarga dari kedua belah pihak.

    Tetapi seminggu kemudian Ani mencurigai ada sesuatu yang salah dengan mata bayinya itu. Bayi itu tidak pernah bereaksi jika Ani menggerak-gerakkan benda di hadapan wajahnya. Dia menyampaikan kecurigaannya itu kepada ibunya. “Jangan takut, dia masih terlalu bayi,” ibunya merespon; tetapi sesungguhnya dalam hatinya dia khawatir juga. Dan tidak lama kemudian kekhawatiran itu sudah menular ke seluruh keluarga.

    Ketika bayi itu sudah berumur enam minggu, Ani mendapat kepastian dari dokter; anaknya itu didiagnosis mengalami kebutaan. Tak elak lagi, kenyataan ini merupakan pukulan yang sangat berat bagi Ani dan seluruh keluarganya. Mereka dilanda kesedihan, kekecewaan, kebingungan, kekhawatiran, kemarahan yang tak jelas sasarannya, dan perasaan-perasaan lain semacamnya.

    Dan yang paling terpengaruh oleh kenyataan ini tentu saja adalah Ani dan Adi selaku orang tua bayi itu. Khayalan indah tentang anak mereka kini telah berubah menjadi mimpi buruk. Mereka mulai saling menyalahkan dan hal ini sering diikuti dengan pertengkaran. Kemudian Adi menjadi sering pulang terlambat dan bahkan kadang-kadang tidak pulang sama sekali. Tampaknya kehidupan pernikahan mereka berada pada titik krisis. Mereka perlu bantuan seorang konselor. Apa yang dapat dilakukan oleh seorang konselor untuk membantu keluarga muda ini? Bagian IV dari makalah ini akan membahas bantuan konseling untuk mereka berdasarkan model terapi keluarga behavioral yang akan dipaparkan pada bagian III.

    II. Kajian Teori

    Terapi keluarga merupakan sebuah istilah payung untuk sejumlah praktek klinis yang didasarkan atas pemikiran bahwa psikopatologi berada di dalam system keluarga, bukan pada diri individu anggota keluarga (Sholevar, 2003). Intervensi dirancang untuk mempengaruhi perubahan dalam system hubungan keluarga itu. Sholevar mengemukakan bahwa terapi keluarga sebagai sebuah modalitas psikoterapi mempunyai tujuan sebagai berikut:
    Mengeksplorasi dinamika interaksi keluarga beserta kaitannya dengan psikopatologi
    Memobilisasi kekuatan internal keluarga beserta sumber dayanya yang fungsional
    Merestrukturisasi gaya interaksi keluarga yang maladaptive
    Memperkuat perilaku pemecahan masalah pada keluarga.

    Satu model terapi keluarga yang tampaknya dapat dipergunakan untuk membantu keluarga kasus di atas adalah terapi keluarga behavioral (behavioral family therapy - BFT) dari Falloon (2003).

    Strategi intervensi utama yang dipergunakan dalam BFT adalah:

    1) Pendidikan tentang gangguan tertentu beserta pengelolaannya secara klinis
    2) Pelatihan keterampilan komunikasi
    3) Pelatihan pemecahan masalah
    4) Strategi kognitif-behavioral
    5) Intervensi krisis
    6) Mengelola keprihatinan terapis

    Pendidikan tentang Gangguan beserta Pengelolaannya secara Klinis

    Terapi pada sesi-sesi pertama biasanya difokuskan pada pemberian penjelasan kepada pasien dan keluarganya tentang hakikat gangguan dan treatment-nya. Pasien yang sudah sembuh diundang untuk menceritakan ganguan dan treatment yang pernah dialaminya. Garis besar teori tentang kerentanan akan stress disajikan sebagai framework untuk mengintegrasikan keuntungan pengkombinasian intervensi biomedis dan psikososial untuk mengurangi gangguan. Selama treatment, isi pendidikan ini direvisi bila kebutuhan untuk itu terindikasikan; misalnya, bila pasien menunjukkan keengganan untuk melanjutkan diet yang direkomendasikan atau untuk menerapkan program reinforcement dengan cara yang tepat, atau bila keluarga menunjukkan stress yang tinggi. Tanda-tanda awal gangguan pada pasien digambarkan dengan jelas agar anggota keluarga dapat mengambil tindakan segera untuk menghindarinya.

    Pelatihan Keterampilan Komunikasi


    Tujuan pelatihan keterampilan komunikasi dalam BFT adalah untuk memfasilitasi diskusi tentang pemecahan masalah keluarga. Kemampuan untuk mendefinisikan masalah yang dihadapi atau tujuan yang ingin dicapai secara spesifik, kemampuan untuk merumuskan langkah-langkah menuju tujuan itu, melakukan perubahan perilaku tanpa paksaan, dan mendengarkan dengan empati, kesemuanya ini memungkinkan diatasinya berbagai masalah dan dicapainya tujuan secara optimal. Keterampilan ini dilatihkan melalui latihan yang berulang-ulang di kalangan anggota keluarga, dengan pengarahan dan bimbingan, dan reinforcement untuk kemajuan dengan cara seperti pada pelatihan keterampilan social. Tugas untuk berlatih di rumah merupakan komponen kunci untuk menjamin bahwa keterampilan ini tidak terbatas pada praktek dalam sesi terapi saja melainkan dapat digeneralisasikan pada interaksi sehari-hari.

    Pelatihan Pemecahan Masalah


    Meningkatkan efisiensi pemecahan masalah pada unit keluarga merupakan tujuan utama pendekatan BFT. Dalam BFT, tujuan terapis adalah mengajari keluarga untuk menyelenggarakan sendiri sesi pemecahan masalah yang terstruktur, bukan untuk membantu mereka memecahkan masalah dalam sesi yang dipimpin oleh terapis. Sesi terapi menyerupai lokakarya pelatihan di mana keluarga belajar keterampilan yang mereka terapkan kemudian dalam diskusi pemecahan masalah yang mereka selenggarakan sendiri. Terapis akan menjadi peserta aktif dalam diskusi keluarga itu hanya apabila stress mengancam kapasitas keluarga dalam pemecahan masalah, atau bila terapis mendeteksi adanya tanda-tanda awal gangguan mental. Langkah-langkah dalam pelatihan pemecahan masalah itu mencakup:
    Perumusan masalah atau tujuan. Menunjukkan isu yang harus diatasi.
    Mendaftar alternative solusi. Melakukan brainstorming untuk menghasilkan daftar lima atau enam kemungkinan cara pemecahan.
    Mengevaluasi konsekuensi solusi yang diusulkan. Melakukan kajian singkat untuk menyoroti kelebihan dan kelemahan setiap alternative solusi.
    Memilih solusi yang optimal. Meminta peserta untuk memilih solusi yang paling sesuai dengan sumber daya dan keterampilan keluarga saat ini.
    Membuat perencanaan. Membuat perencanaan yang rinci untuk merumuskan langkah-langkah spesifik guna menjamin efisiensi implementasi solusi yang optimal.
    Mereviu Implementasi. Mereviu upaya-upaya partisipan dalam mengimplementasikan rencana yang sudah disepakati secara konstruktif guna memfasilitasi keberlanjutan upaya tersebut hingga solusi yang ditetapkan sudah tercapai.

    Keluarga menunjuk anggotanya untuk menjadi ketua dan sekretaris kelompok untuk membantu penyelenggaraan pertemuan keluarga berkala sekurang-kurangnya satu kali seminggu, dalam memimpin pertemuan, dan melaporkan upaya mereka itu dalam sesi terapi. Lembar pedoman yang menggariskan metode enam langkah itu dipergunakan untuk mencatat hasil diskusi keluarga dan membantu terapis melakukan reviu. Pelatihan keterampilan social diberikan jika ada anggota keluarga yang kurang mampu melaksanakan satu langkah atau lebih dalam metode tersebut. Terapis menghindari keterlibatan pribadinya dalam menyarankan atau memilih solusi, menyerahkannya kepada keluarga.

    Strategi Kognitif-behavior

    Bila partisipan sudah belajar menggunakan pendekatan pemecahan masalah, relatif jarang mereka tidak mampu merancang strategi yang efektif untuk memecahkan permasalahan atau mencapai tujuannya. Akan tetapi, bila keluarga tampak mengalami kesulitan merumuskan strategi yang efektif dan sudah ada prosedur yang tervalidasi untuk mengatasi isu tertentu, terapis dapat menawarkan prosedur tersebut kepada keluarga sebagai satu kemungkinan solusi. Contoh-contoh prosedur semacam ini adalah:
    Penggunaan operant reinforcement procedures guna meningkatkan motivasi untuk melaksanakan tugas-tugas yang mungkin tidak menyenangkan, seperti pekerjaan rumah tangga atau kegiatan bekerja.
    Desensitization procedures untuk situasi tertentu yang dapat menimbulkan kecemasan.
    Cognitive strategies untuk mengatasi pemikiran negative atau tidak dikehendaki yang selalu muncul.
    Social skills training untuk mengatasi situasi interpersonal yang sulit.
    Coping strategies untuk mengatasi halusinasi atau delusi; strategi untuk disfungsi sexual.
    Relaxation strategies untuk mengatasi ketegangan otot dan insomnia.

    Intervensi Krisis

    Keadaan lainnya di mana terapis dapat terlibat langsung dalam pemecahan masalah adalah bila ada krisis besar yang menghambat kemampuan keluarga untuk melaksanakan pemecahan masalahnya sendiri secara tenang dan konstruktif. Dalam keadaan ini terapis dapat memutuskan untuk mengetuai diskusi pemecahan masalah demi memfasilitasi penurunan stress sehingga mencegah terjadinya keletihan yang menimbulkan kemarahan.

    Mengelola Keprihatinan Terapis

    Bila para anggota keluarga tidak mematuhi program treatment yang direkomendasikan, sehingga mengakibatkan perasaan negative yang kuat pada diri terapis, maka terapis dapat mengekspresikan perasaanya itu langsung kepada keluarga dan mengetuai diskusi pemecahan masalah yang dimaksudkan untuk melegakan perasaan pribadinya. Isu-isu seperti kegagalan menyelesaikan tugas pekerjaan rumah, absent dalam sesi terapi, dan tidak mematuhi minum obat yang diresepkan adalah contoh isu yang dapat membangkitkan perasaan tidak senang pada terapis.

    Dapat disimpulkan bahwa terapi keluarga behavioral memberikan struktur untuk membantu orang-orang yang hidup bersama dalam kelompok kecil guna meningkatkan kualitas upaya mereka untuk saling membantu dalam mengatasi stress yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari, maupun dalam krisis besar yang kadang-kadang menimpa kehidupannya. Hal ini dicapai terutama melalui peningkatan efisiensi fungsi pemecahan masalah kelompok tersebut melalui peningkatan keterampilan komunikasi interpersonal yang dikombinasikan dengan diskusi berkala yang lebih terstruktur tentang cara-cara pemecahan masalah. Tujuan umumnya adalah untuk meminimalkan masa-masa stress berat yang mengancam kapasitas keluarga untuk mengatasi persoalan yang mereka hadapi, terutama pada anggota keluarga yang sangat rentan terhadap masalah kesehatan yang terkait dengan stress atau masalah-masalah psikososial. Strategi-strategi lain, termasuk berbagai strategi kognitif dan behavioral, psikoedukasi, dan farmakoterapi yang terarah, dapat dikombinasikan dengan pendekatan ini guna memberikan program perawatan yang komprehensif untuk mengatasi masalah-masalah psikososial dan kesehatan yang serius.

    IV. Pembahasan dan Rekomendasi

    Masalah psikososial yang terjadi pada keluarga kasus di atas pada intinya disebabkan oleh hal-hal berikut:
    - Kesenjangan antara harapan dan kenyataan (kehendak dan takdir)
    - Ketidaktahuan tentang hal-hal yang terkait dengan ketunanetraan
    - Kurangnya keterampilan komunikasi di antara para anggota keluarga
    - Kurangnya pengetahuan tentang cara-cara pemecahan masalah, khususnya masalah yang terkait dengan ketunanetraan
    - Mereka memerlukan Strategi untuk mengatasi masalah-masalah kognitif-behavior.

    Strategi intervensi yang akan ditawarkahn untuk membantu mengatasi masalah-masalah tersebut adalah empat strategi pertama dari Falloon (sebagaimana dideskripsikan pada bagian III), sedangkan penggunaan dua strategi intervensi lainnya tergantung pada situasi.

    Pendidikan tentang Gangguan beserta Pengelolaannya

    Pada sesi ini, konselor memberi pendidikan kepada keluarga kasus dengan tujuan agar mereka dapat mentoleransi kesenjangan antara harapan dan kenyataan, dan memahami hal-hal yang terkait dengan ketunanetraan.

    Sebagaimana dideskripsikan pada bagian II, ayah dan ibu sang bayi menaruh harapan yang tinggi pada anak pertamanya, namun setelah mereka mendapati bahwa bayinya itu menyandang ketunanetraan, seluruh harapannya itu punah. Konselor dapat menggunakan pendekatan religius agar kasus dapat menerima kenyataan ini sebagai takdir Tuhan. Akan tetapi yang lebih penting adalah pendidikan tentang bagaimana kasus dapat mengelola kenyataan ketunanetraan anaknya itu agar tetap menjadi hikmah, baik bagi anak itu sendiri maupun bagi lingkungannya. Untuk ini, kasus perlu memperoleh pemahaman yang tepat tentang sebab-sebab ketunanetraan, layanan public yang tersedia bagi orang tunanetra, dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat direalisasikan dengan ketunanetraan. Agar lebih efektif, konselor sebaiknya mempertemukan kasus dengan keluarga lain yang mempunyai anak tunanetra dan telah berhasil mengatasi masalah psikososialnya, dan dengan orang-orang tunanetra yang berprestasi.

    Pelatihan Keterampilan Komunikasi

    Tujuan utama sesi ini adalah agar klien mampu merumuskan keinginan/tujuannya dengan tepat dan mampu mengkomunikasikan keinginan tersebut kepada orang lain dengan jelas dan efektif, dan dapat mendengarkan ekspresi orang lain dengan empati. Setelah memiliki informasi dan persepsi yang tepat tentang ketunanetraan, klien berlatih untuk merumuskan apa yang mereka inginkan cicapai oleh anak yang tunanetra itu sesuai dengan tahap perkembanganya. Sama pentingnya, klien harus berlatih berkomunikasi dengan bayi tunanetra secara nonvisual. Mereka perlu memahami bahwa mereka dapat berkomunikasi dengan bayi tunanetra melalui sentuhan atau suara. Misalnya, bayi yang tunanetra tidak akan membalas senyuman tanpa dia disentuh.

    Pelatihan Pemecahan Masalah

    Masalah-masalah yang mungkin dihadapi keluarga dalam kaitannya dengan anaknya yang tunanetra muncul akibat ketidaktahuan keluarga tentang cara memperlakukan anak itu sebagaimana mestinya. Berikut ini adalah perlakuan yang seharusnya diberikan kepada anak tunanetra. Advis ini disusun oleh Rafalowski (1993).

    1) Yang terpenting untuk diingat tentang anak anda yang tunanetra adalah bahwa pertama-tama dia adalah anak. Dia mempunyai keinginan dan kebutuhan yang sama sebagaimana anak pada umumnya.
    2) Anak anda mengalami masalah penglihatan tetapi ini tidak berarti bahwa dia juga mengalami keterbelakangan mental. Pada awalnya anak anda mungkin melakukan kegiatan tertentu seperti duduk atau berjalan lebih lambat daripada anak awas. Ini karena kehilangan penglihatannya mengakibatkan dia berkesulitan belajar kegiatan-kegiatan ini dengan cara yang biasa. Anak tunanetra perlu ekstra waktu, bantuan, dan latihan. Dengan bantuan tambahan ini, anak anda dapat belajar melakukan sebagian besar kegiatan yang sama dengan yang dilakukan oleh anak awas.
    3) Anak anda mungkin masih dapat melihat sesuatu. Sebagian besar orang tunanetra tidak buta total tetapi masih dapat melihat sedikit. Dia mungkin dapat melihat benda-benda tertentu bila sangat dekat ke wajahnya, bila cahaya tepat, atau bila benda itu berwarna cerah.
    4) Anak anda akan menggunakan indera-inderanya yang lain untuk belajar tentang dunia sekitarnya.
    - Dengan perabaan dia dapat belajar mengenali benda-benda yang ada di dalam rumah.
    - Melalui pendengaran dia dapat belajar mengenali orang dari suaranya atau benda-benda dari bunyinya.
    - Melalui penciuman dia dapat belajar mengenali berbagai macam makanan dan tempat, seperti took roti, took obat, perpustakaan, dsb.
    - Melalui pengecap dia dapat belajar mengenali bermacam-macam makanan.
    5) Anak anda mungkin menggunakan mulut dan lidahnya untuk “merasakan” benda-benda untuk belajar tentang ukurannya, bentuknya, teksturnya atau suhunya. Ini tidak apa-apa selama benda itu bersih dan cukup besar sehingga tidak akan tertelan. Kalau dia sudah punya gigi, dia seharusnya berhenti menggunakan mulut dan lidah untuk bereksplorasi, dan akan menggunakan tangan dan perabaannya.
    6) Berbicaralah kepada anak anda. Anda perlu menceritakan tentang barang-barang yang tidak dapat dilihatnya. Jelaskan kepadanya apa yang sedang terjadi di sekelilingnya. Jelaskan apa yang sedang anda kerjakan, ke mana anda sedang pergi, dan apa yang sedang dia raba, dengar, cium, atau cicip.
    7) Beri arahan yang jelas kepada anak anda dan jangan menunjuk. Anda harus spesifik! Misalnya, anda jangan mengatakan "Buah itu ada di sebelah sana", melainkan sebaiknya anda berkata, "Buah ada di atas meja dekat jendela di belakangmu."
    8) Bawalah anak jika anda bepergian, dan ceritakan kepadanya kejadian atau keadaan di tempat-tempat yang anda kunjungi.
    9) Bimbinglah tangan anak anda untuk meraba berbagai macam benda. Bimbinglah dia untuk meraba permukaan atau tekstur benda-benda, mengamati bentuk dan besarnya, dan mengeksplorasi bagian-bagiannya dan fungsinya. Lakukan hal ini dengan meletakkan tangan anda di atas tangannya sementara dia meraba benda-benda itu.
    10) Bantu anak anda mengetahui di mana barang-barang disimpan dan mengembalikan barang-barang itu ke tempatnya semula sesudah dia menggunakannya.
    11) Bila anda menunjukkan cara melakukan sesuatu yang baru kepada anak anda, berdirilah, duduk atau berlutut di belakangnya, dan letakkan tangan anda di atas tangannya untuk membimbingnya melakukan pekerjaan itu. Dengan cara ini akan lebih mudah baginya menirukan gerakan-gerakan anda karena dia dapat merasakan gerakan tubuh anda.
    12) Bantulah anak anda mengembangkan postur yang baik. Anak tunanetra tidak dapat melihat postur orang lain yang baik untuk menirunya.
    13) Bantu anak anda mengembangkan kebiasaan menghadapkan wajahnya kepada orang yang sedang berbicara kepadanya. Anak tunanetra mungkin tidak terdorong untuk melakukan hal ini dan tidak menyadari pentingnya hal tersebut.
    14) Biarkan anak anda mengalami sebanyak mungkin. Anak anda belajar banyak dari apa yang anda ceritakan, tetapi dia akan belajar lebih banyak lagi jika dia dapat berpartisipasi dalam kegiatan yang sedang berlangsung atau meraba apa yang anda gambarkan.
    15) Jangan mengasihani atau memanjakan anak anda. Belas kasihan dapat mengembangkan rasa tidak percaya diri, dan memanjakannya dapat membentuknya menjadi orang yang egois dan berketergantungan. Perlakukanlah dia sebagaimana anda memperlakukan anak-anak lain.
    16) Biarkan anak anda berpartisipasi penuh dalam kegiatan keluarga. Biarkan anak anda membantu dalam kegiatan rumah tangga sehari-hari sebagaimana anak yang awas. Karena dia tidak dapat meniru secara visual, anda perlu mengajarinya secara tactual. Dengan demikian anak anda akan benar-benar merasa sebagai bagian dari keluarga dan tumbuh menjadi individu yang bertanggung jawab, percaya diri, dan mandiri.
    17) Sebagaimana halnya semua anak lain, anak anda juga perlu teman bermain. Jangan membatasi teman bergaulnya.
    18) Anak anda harus aktif agar dapat belajar dengan baik. Anda tidak boleh overprotektif.

    Strategi Kognitif-behavior

    Bila keluarga dapat menerapkan teknik-teknik pemecahan masalah yang terkait dengan ketunanetraan pada anak seperti yang digambarkan di atas, tampaknya keluarga tidak akan mendapatkan masalah yang signifikan yang bersumber langsung dari diri anak. Akan tetapi, masalah mungkin akan muncul dari sikap masyarakat terhadap ketunanetraan, dan ini dapat menimbulkan kecemasan pada anggota keluarga. Misalnya, sang ibu merasa tidak termotivasi untuk membawa anak itu berjalan-jalan di luar rumah; dia selalu pulang dengan stress setiap kali melakukannya. Perasaan tidak senang itu disebabkan oleh karena dia sering dihadapkan dengan orang yang selalu memandangi anaknya itu dengan penuh selidik. Prosedur operant reinforcement dapat digunakan untuk membantu sang ibu. Operant conditioning menekankan bahwa perilaku beroperasi pada lingkungan untuk membangkitkan konsekuensi (Nelson-Jones, 1995). Berdasarkan teori ini, Pandangan penuh selidik itu mungkin disebabkan oleh perilaku sang ibu yang mempunyai kecenderungan untuk menyembunyikan keadaan anaknya yang sesungguhnya, yang pada gilirannya diakibatkan oleh sikap sang ibu sendiri yang belum sepenuhnya menerima kenyataan anak itu. Berdasarkan logika ini, andaikata sang ibu dapat sepenuhnya menerima ketunanetraan anaknya, dan bersedia lebih mengekspos anaknya itu ke masyarakat, maka pandangan penuh selidik itu kemungkinan tidak akan terjadi.

    V. Kesimpulan

    Ketunanetraan yang dibawa sejak lahir lebih merupakan masalah keluarga daripada masalah individu anak itu sendiri. Terapi keluarga behavioral memberikan struktur untuk membantu seluruh anggota keluarga itu guna meningkatkan kualitas upaya mereka untuk saling membantu dalam mengatasi stress yang diakibatkan oleh ketunanetraan pada anak itu. Hal ini dicapai terutama melalui peningkatan efisiensi fungsi pemecahan masalah keluarga tersebut melalui peningkatan keterampilan komunikasi interpersonal yang dikombinasikan dengan diskusi berkala yang lebih terstruktur tentang cara-cara pemecahan masalah. Stress tersebut disebabkan oleh kenyataan yang bertentangan dengan harapan; cara mengkomunikasikan perasaan di kalangan para anggota keluarga; dan ketidaktahuan mereka tentang hal-hal yang terkait dengan ketunanetraan seperti penyebab ketunanetraan, layanan khusus yang tersedia bagi orang tunanetra, teknik-teknik khusus mendidik dan melatih anak tunanetra, dan cara menghadapi sikap masyarakat terhadap ketunanetraan. Makalah ini telah menawarkan sejumlah rekomendasi tentang cara keluarga mengatasi permasalahan tersebut. Intervensi keluarga dengan pendekatan kognitif-behavioral ini diharapkan dapat meminimalkan masa-masa stress berat yang mengancam kapasitas keluarga untuk mengatasi persoalan yang mereka hadapi itu.

    Daftar Pustaka

    Falloon, I. R. (2003). Behavioral Family Therapy – dalam Sholevar, G. P. with schwoeri, L. D. (2003). Family and Couples Therapy. Arlington: American Psychiatric Publishing, Inc.
    Kingsley, M. (1999). “The Effects of a Visual Loss” dalam Mason, H. & McCall, S. (Eds.). (1999). Visual Impairment: Access to Education for Children and Young People. London: David Fulton Publishers.
    Nelson-Jones, R. (1995). Counseling and personality Theory and Practice. Australia: Allen and Unwin Pty Ltd.
    Rafalowski, T. H. (1993). Early Intervention - A Guide for Families of Visually Impaired Children. The Conrad N. Hilton Foundation U.S.A.
    Sholevar, G. P. (2003). Family Theory and Therapy – dalam Sholevar, G. P. with schwoeri, L. D. (2003). Family and Couples Therapy. Arlington: American Psychiatric Publishing, Inc.

    Labels: , , ,

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke DAFTAR ISI