DOCTYPE html PUBLIC "-//W3C//DTD XHTML 1.0 Strict//EN" "http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-strict.dtd"> Didi Tarsidi: Counseling, Blindness and Inclusive Education: Perkembangan Kompetensi Sosial pada Anak
  • HOME


  • Guestbook -- Buku Tamu



    Anda adalah pengunjung ke

    Silakan isi Buku Tamu Saya. Terima kasih banyak.
  • Lihat Buku Tamu


  • Comment

    Jika anda ingin meninggalkan pesan atau komentar,
    atau ingin mengajukan pertanyaan yang memerlukan respon saya,
    silakan klik
  • Komentar dan Pertanyaan Anda




  • Contents

    Untuk menampilkan daftar lengkap isi blog ini, silakan klik
  • Contents -- Daftar Isi




  • Izin

    Anda boleh mengutip artikel-artikel di blog ini asalkan anda mencantumkan nama penulisnya dan alamat blog ini sebagai sumber referensi.


    11 November 2007

    Perkembangan Kompetensi Sosial pada Anak

    Oleh Didi Tarsidi
    Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

    Perolehan kompetensi sosial pada masa kanak-kanak itu demikian pentingnya, sehingga jika anak tidak mencapai kompetensi sosial minimum hingga sekitar usia enam tahun, besar kemungkinan mereka akan menghadapi masalah pada masa dewasanya dalam hal-hal tertentu. Hasil berbagai penelitian yang dilakukan dalam rentang waktu tahun 1990-2000 (Parker & Asher, 1987; Hartup & Moore, 1990; Rogoff, 1990; Ladd & Profilet, 1996; McClellan & Kinsey, 1999; Kinsey, 2000 - dalam McClellan & Katz, 2001) menunjukkan bahwa adaptasi sosial dan emosional anak jangka panjang, perkembangan akademik dan kognitifnya, dan kehidupannya sebagai seorang warga negara diperkuat oleh seringnya dia memiliki kesempatan untuk memperkuat kompetensi sosialnya selama masa kanak-kanaknya. Temuan-temuan ini menunjukkan betapa pentingnya perkembangan kompetensi sosial pada masa pertumbuhan anak itu.

    Pellegrini dan Glickman (1991:1) mendefinisikan kompetensi sosial pada anak sebagai "the degree to which children adapt to their school and home environments". Definisi ini menyiratkan bahwa kemampuan anak untuk beradaptasi dengan lingkungan rumah dan sekolahnya merupakan indikator utama kompetensi sosialnya. Untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan tersebut, anak harus memiliki seperangkat perilaku verbal dan nonverbal, sebagaimana dikemukakan oleh Rinn dan Markle (Budd, 1985), yang dipergunakannya untuk mempengaruhi respon individu-individu lain di dalam lingkungannya (seperti teman sebayanya, saudaranya, orang tuanya, gurunya) dalam konteks interpersonal. Perangkat perilaku tersebut berfungsi sebagai satu mekanisme untuk mempengaruhi lingkungan sosialnya dengan memperoleh, menghilangkan, atau menghindari hasil yang diinginkan atau tak diinginkannya dari lingkungan sosialnya itu tanpa merugikan orang lain.

    Lamb & Baumrind (Budd, 1985) mengemukakan bahwa karakteristik anak yang memiliki kompetensi sosial itu mencakup berkemampuan untuk mempersepsi orang lain,asertif, ramah kepada teman sebaya, dan santun kepada orang dewasa.

    Secara lebih luas, Benard (1995) mengemukakan bahwa kompetensi sosial itu mencakup kualitas-kualitas pribadi seperti bersifat responsif, terutama kemampuan untuk membangkitkan respon positif dari orang lain; fleksibilitas, termasuk kemampuan untuk bergaul dengan orang orang dari bermacam macam latar belakang budaya; kemampuan untuk berempati; keterampilan berkomunikasi; dan memiliki rasa humor.

    Benard (1997) juga mengemukakan bahwa kompetensi sosial merupakan satu dari empat "resilience skills". Ketiga resilience skills lainnya menurut Benard adalah kemampuan untuk memecahkan masalah (metacognition), kemampuan untuk mengembangkan rasa identitas (autonomy), dan kemampuan untuk berencana dan berharap (sense of purpose and future). "Resilience", menurut definisi Linquanti (Finley, 1994), adalah Konstruk yang dipergunakan untuk menggambarkan kualitas pribadi anak yang, meskipun dihadapkan pada stress dan kemalangan yang signifikan di dalam kehidupannya, tidak mengalami kegagalan sekolah, tidak terjerumus pada penyalahgunaan zat-zat terlarang, tidak mengalami masalah kesehatan mental, dan tidak melakukan kenakalan remaja yang diprediksikan baginya.

    Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi sosial pada anak adalah kemampuannya untuk beradaptasi dengan lingkungannya, yang ditunjukkan dengan kemampuannya untuk mempersepsi orang lain secara tepat, asertif, responsif, berempati, memiliki rasa humor, ramah kepada teman sebaya dan santun kepada orang dewasa.

    Perkembangan kompetensi sosial dimulai pada saat kelahiran dan maju dengan pesat pada usia prasekolah (McClellan & Katz, 2001). Terobosan-terobosan baru dalam metodologi untuk mengases kemampuan perseptual pada bayi menunjukan bahwa bayi yang baru lahir pun sudah sangat perseptif, aktif dan responsif pada saat interaksi fisik dan sosial (Oden, 1987). Dia akan meniru orang, menjulurkan lidahnya, mengedip-ngedipkan bulu matanya, membuka dan menutup mulutnya dalam merespon gerakan yang serupa dari orang dewasa atau anak yang lebih besar. Melalui tangisan dan suara tanda tak senang lainnya, bayi itu mengisyaratkan kebutuhan fisiknya akan makanan, kehangatan, keamanan, sentuhan, dan kenyamanan. Kebutuhan fisik bayi akan terpenuhi dengan sebaik-baiknya bila diberikan seiring dengan kontak sosial dan interaksi. Bayi yang kekurangan interaksi manusia (human interaction) cenderung akan gagal dalam perkembangannya. Bayi tersebut tidak akan dapat menambah berat badannya secara memadai dan akan menjadi tak acuh, lesu, menarik diri, dan/atau mengalami depresi, dan dalam kasus-kasus tertentu tidak akan dapat bertahan hidup (Clarke-Stewart & Koch, dalam Oden, 1987).

    Makin lama bayi akan semakin terlibat dalam interaksi sosial melalui proses saling mencocokkan, di mana baik bayi maupun orang dewasa berupaya untuk saling mencocokkan diri atau saling meniru dengan menyamakan tatapan mata, penggunaan lidah, bunyi, dan senyuman. Bruner (Oden, 1987) berpendapat bahwa proses interaksi sosial ini, yang mengalami perkembangan yang terus-menerus, juga merupakan sistem "fine tuning" bagi perkembangan bahasa dan kognitif anak.

    Sangat penting bagi bayi untuk senantiasa berhubungan erat dengan sekurang-kurangnya satu orang dewasa. Pada umumnya satu orang dewasa itu adalah ibunya, sedangkan yang lainnya mungkin ayahnya, kakaknya, atau teman-teman keluarga. Senyum dan tawa bayi merupakan respon terhadap bermacam-macam stimulasi sosial dan obyek-obyek yang diberikan oleh orang-orang tertentu (Goldbert, 1982, dalam Oden, 1987). Kedekatan (attachment) yang semakin tumbuh, yang ditandai oleh rasa saling mengasihi yang kuat, dengan sekurang-kurangnya satu orang dewasa tertentu, adalah sangat penting untuk kesejahteraan anak serta perkembangan sosial dan emosinya (Oden, 1987). Kedekatan tersebut, yang tampak pada usia enam hingga sembilan bulan, menjadi lebih jelas bila bayi menunjukkan rasa tidak aman pada saat ibunya (atau figur kedekatan lainnya) meninggalkannya. Bayi dan kanak-kanak yang merasa aman karena kedekatan itu cenderung ramah dan tidak "lengket" pada ibunya, melainkan cenderung mengeksplorasi lingkungan fisik dan sosial di sekelilingnya dari "pangkalan yang aman" ini, menunjukkan ketertarikannya terhadap orang lain dan berbagi eksplorasinya itu dengan ibunya dengan cara menunjuk pada obyek-obyek yang diminatinya atau membawanya kepada ibunya.

    Sosialisasi anak tidak hanya difasilitasi oleh orang tuanya, tetapi juga oleh keseluruhan konteks keluarga yang dapat mencakup saudara-saudara dan teman-teman yang mendukung orang tua dan anak itu, yang selanjutnya memperkuat nilai-nilai budaya yang ditanamkan pada diri anak.

    Sejumlah penelitian yang dilakukan oleh Baumrind (Oden, 1987; Moore, 1992; Darling, 1999) menunjukkan bahwa pada masa perkembangan anak, orang tua menggunakan bermacam-macam metode kontrol dan gaya kepemimpinan dalam manajemen keluarga (yang selanjutnya disebut “gaya asuh”), yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori: (1) authoritarian (dengan tingkat kontrol yang tinggi); (2) authoritative (dengan otoritas atas dasar pengetahuan dan memberi pengarahan); (3) permissive (dengan tingkat kontrol ataupun pengarahan yang rendah); atau kombinasi dari gaya-gaya asuh tersebut. Kelompok budaya tertentu cenderung lebih menyukai gaya asuh tertentu, yang masing-masing mendorong dan mengontrol berkembangnya pola perilaku yang berbeda-beda pada anak dan berimplikasi pada perkembangan kompetensi sosialnya. Ibu yang lebih verbal dalam pengaruhnya terhadap tindakan anak ditemukan menggunakan pengarahan instruktif yang lembut yang menghasilkan anak yang memiliki kompetensi sosial yang lebih tinggi di rumah, di kalangan teman sebayanya, maupun di dalam lingkungan sekolahnya.

    Ketika anak sudah mulai berjalan, dia masuk ke dalam konteks teman sebaya, yang memberinya kesempatan untuk belajar berinteraksi dan mengembangkan pemahaman tentang orang lain, meskipun dia tetap mengikatkan dirinya pada orang dewasa (pada umumnya ibunya) untuk memperoleh rasa aman. Orang dewasa merupakan “basis yang aman” bagi kanak-kanak untuk mengawali eksplorasi lingkungannya dan mengembangkan kompetensi sosialnya bersama teman-teman sebayanya (Griffin, 1988). Banyak anak mulai tertarik untuk bergaul dengan teman sebayanya sejak usia 18 bulan (Jewett, 1992).
    Interaksi dengan teman sebaya merupakan satu sumber utama perkembangan sosial maupun kognitif, khususnya perkembangan “role-taking” dan empati (Piaget, 1932 - dalam Oden, 1987). Dalam konteks rumah, lingkungan tetangga dan sekolah, anak belajar membedakan bermacam-macam hubungan teman sebaya (peer relationships) – sahabat (best friends), teman bergaul (social friends), teman dalam kegiatan tertentu (activity partners), kenalan, dan orang asing (strangers) (Oden, 1987). Dengan membangun dan memelihara berbagai macam hubungan teman sebaya dan pengalaman sosial, terutama melalui konflik teman sebaya (peer conflict), anak memperoleh pengetahuan mengenai dirinya versus orang lain dan belajar berbagai keterampilan interaksi sosial.

    Oden (1987) menemukan bahwa anak prasekolah kurang mampu membedakan antara sahabat dan sekedar teman dibanding anak usia sekolah, tetapi mereka mempunyai alasan yang spesifik mengapa tidak suka berinteraksi dengan teman tertentu. Tema utama dalam persahabatan - yaitu afiliasi dan kesamaan minat - sudah dipahami oleh anak sejak awal masa kanak-kanaknya. Di kalangan anak-anak prasekolah dan tahun-tahun pertama usia sekolah, ekspektasi untuk persahabatan itu berpusat pada kesamaan minat dan hubungan timbal-balik yang konkret. Sesudah itu, pandangan anak terhadap sahabatnya berpusat pada saling pemahaman, kesetiaan, dan kepercayaan (Hartup, 1992). Dikemukakan oleh Oden (1987) bahwa dari usia enam hingga 14 tahun, anak mengalihkan pandangannya mengenai hubungan pertemanannya dari berbagi kegiatan fisik menjadi berbagi materi, bersikap ramah, atau suka menolong, dan, akhirnya, mempersepsi persahabatan yang memungkinkan individualitas terekspresikan atau memperoleh dukungan.

    Sekolah merupakan lingkungan di mana anak tidak hanya memperoleh pelajaran akademik, tetapi merupakan tempat mereka memperoleh pengalaman interaksi sosial dan emosional dengan orang dewasa dan teman sebayanya, yang memungkinkannya memupuk harga diri dan mengembangkan kompetensi sosialnya. Pengalaman ini sangat penting untuk meningkatkan prospek keberhasilannya di kemudian hari dalam membina hubungan sosial, karir, dan pencapaian cita-cita pribadinya (Paavola, 1995). Oleh karena itu, vital bagi sekolah untuk mendukung kebutuhan perkembangan anak secara luas.

    Masalah-masalah sosial, seperti pertikaian dalam keluarga, perceraian dan kemiskinan, juga mempengaruhi perkembangan kompetensi sosial anak. Masalah-masalah keluarga mengurangi waktu untuk berinteraksi dengan anak, dan kondisi kemiskinan dapat mengurangi kesempatan bagi anak untuk berkembang secara positif. Akan tetapi, Oden (1987) mengemukakan bahwa penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengkaji kaitan antara perkembangan kompetensi sosial anak dengan faktor-faktor sosial tersebut.

    Dapat disimpulkan bahwa perkembangan kompetensi sosial pada anak, yang sudah dimulai sejak saat-saat awal masa kehidupannya, sangat dipengaruhi oleh interaksinya dengan orang-orang terdekatnya di dalam lingkungannya, baik lingkungan rumahnya, lingkungan tetangganya, lingkungan sekolahnya, maupun lingkungan sosialnya yang lebih luas.

    Daftar Referensi

    Benard, B. (1995). Fostering Resilience in Children. ERIC Digest. Urbana IL: ERIC Clearinghouse on Elementary and Early Childhood Education. (Online). Tersedia: http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed386327.html
    Benard, B. (1997). Turning It Around for All Youth: From Risk to Resilience. ERIC/CUE Digest, Number 126. New York NY: ERIC Clearinghouse on Urban Education. (Online). Tersedia: http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed412309.html
    Budd, K. S. (1985). “Parents as Mediators in the Social Skills Training of Children”, dalam L'Abate, Luciano & Milan, Michael A. (Eds.) (1985). Handbook of Social Skills Training and Research. New York: John Wiley & Sons.
    Finley, M. (1994). Cultivating Resilience: An Overview for Rural Educators and Parents. ERIC Digest. Charleston WV: ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small Schools. (Online). Tersedia: http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed372904.html.
    Griffin, A. & Fein, G. (1988). Infant Day Care: The Critical Issues. ERIC Digest. Urbana IL: ERIC Clearinghouse on Elementary and Early Childhood Education. (Online). Tersedia: http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed301362.html.
    Hartup, W. W. (1992). Having Friends, Making Friends, and Keeping Friends. ERIC Digest. Urbana IL: ERIC Clearinghouse on Elementary and Early Childhood Education. (Online). Tersedia: http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed345854.html.
    McClellan, D. E. & Katz, L. G. (2001). Assessing Young Children's Social Competence. ERIC Digest. (Online). Tersedia: http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed450953.html.
    Moore, S. G. (1992). The Role of Parents in the Development of Peer Group Competence. ERIC Digest. (Online). Tersedia: http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed346992.html.
    Oden, S. (1987). The Development of Social Competence in Children. ERIC Digest. (Online). Tersedia: http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed281610.html.
    Paavola, J. C. et al. (1995). Health Services in the Schools: Building Interdisciplinary Partnerships. Digest. Washington DC: American Psychological Association. (Online). Tersedia: http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed390019.html.
    Pellegrini, A. D. & Glickman, Carl D. (1991). Measuring Kindergartners' Social Competence. ERIC Digest. (Online). Tersedia: http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed327314.html.

    Labels:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke DAFTAR ISI