DOCTYPE html PUBLIC "-//W3C//DTD XHTML 1.0 Strict//EN" "http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-strict.dtd"> Didi Tarsidi: Counseling, Blindness and Inclusive Education: Peranan Hubungan Teman Sebaya dalam Perkembangan Kompetensi Sosial Anak
  • HOME


  • Guestbook -- Buku Tamu



    Anda adalah pengunjung ke

    Silakan isi Buku Tamu Saya. Terima kasih banyak.
  • Lihat Buku Tamu


  • Comment

    Jika anda ingin meninggalkan pesan atau komentar,
    atau ingin mengajukan pertanyaan yang memerlukan respon saya,
    silakan klik
  • Komentar dan Pertanyaan Anda




  • Contents

    Untuk menampilkan daftar lengkap isi blog ini, silakan klik
  • Contents -- Daftar Isi




  • Izin

    Anda boleh mengutip artikel-artikel di blog ini asalkan anda mencantumkan nama penulisnya dan alamat blog ini sebagai sumber referensi.


    26 December 2007

    Peranan Hubungan Teman Sebaya dalam Perkembangan Kompetensi Sosial Anak

    Oleh Didi Tarsidi
    Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

    Berbagai hasil penelitian telah menunjukkan betapa besarnya dampak jenis pertemanan antarsebaya di kalangan anak-anak itu bagi kehidupan masa dewasanya di kemudian hari. Isolasi sosial dan kehidupan masa kanak-kanak tanpa teman sering dikaitkan dengan berbagai permasalahan dalam masa dewasa, dan, kebalikannya, keberhasilan hubungan pertemanan antarsebaya pada masa kanak-kanak sering dikaitkan dengan masa dewasa yang lebih berhasil. Pada artikel ini akan dikemukakan sejumlah hasil penelitian yang mengungkap konsekuensi dari buruknya hubungan teman sebaya dan hasil berbagai penelitian yang mengungkap seberapa besar kontribusi hubungan teman sebaya bagi perkembangan kompetensi sosial anak.

    Hasil Penelitian tentang Konsekuensi dari Buruknya Hubungan Teman Sebaya

    Berbagai studi korelasional telah difokuskan pada hubungan antara pola perilaku dini anak atau status dengan teman sebayanya dengan penyesuaian hidupnya di kemudian hari. Studi-studi tersebut menemukan bahwa isolasi atau penolakan oleh teman sebaya pada masa dini kehidupan anak menempatkan anak pada resiko untuk menghadapi masalah-masalah sosial dalam kehidupannya di kemudian hari.

    Kesulitan dalam hubungan dengan teman sebaya merupakan salah satu dari beberapa jenis permasalahan penyesuaian sosial yang dapat mengganggu kemajuan anak dalam sekolah. Penelitian oleh Gronlund, Hymel dan Asher (Ladd & Asher, 1985) mengindikasikan bahwa antara 6 hingga 11% anak di kelas tiga hingga kelas enam tidak mempunyai teman di kelasnya. Anak-anak ini merasa kesepian. Ladd & Asher mengemukakan bahwa perasan kesepian merupakan satu masalah signifikan yang dapat berakibat negatif bagi anak kecil, baik segera maupun jangka panjang. Penelitian oleh Bullock (Bullock, 1998) menunjukkan bahwa konsep anak kecil tentang kesepian memiliki makna baginya yang serupa dengan yang dipahami oleh anak remaja dan orang dewasa. Bullock mengamati bahwa anak yang merasa kesepian sering tidak memiliki hubungan sosial yang baik dengan teman sebayanya dan oleh karenanya lebih sering menunjukkan ekspresi kesepian daripada teman sebayanya yang mempunyai sahabat. Mereka sering merasa dikucilkan – satu perasaan yang dapat merusak perasaan harga dirinya. Di samping itu, mereka dapat mengalami perasaan sedih, tidak enak badan, bosan, dan terasing. Lebih jauh, Bullock menemukan bahwa pengalaman masa kecil yang berkontribusi terhadap perasaan kesepian dapat memprediksi perasaan kesepian pada masa dewasa. Akibatnya, anak yang kesepian dapat kehilangan banyak kesempatan untuk berinteraksi dengan teman-teman sebayanya dan untuk belajar berbagai keterampilan yang penting untuk kehidupannya kelak, terutama keterampilan sosial.

    Penelitian Koch (Ladd & Asher, 1985) terhadap anak-anak prasekolah menemukan bahwa anak yang disukai oleh teman-teman sekelasnya lebih baik kemampuannya untuk mentoleransi rutinitas dan tugas-tugas sekolah daripada anak yang tidak populer di kalangan teman-temannya.

    Berdasarkan pengukuran perilaku anak prasekolah terhadap teman sebayanya, Van Alstyne dan Hattwick (Ladd & Asher, 1985) menemukan bahwa keseulitan bergaul dengan teman sebaya pada masa dini memprediksi kesulitan penyesuaian sosialnya di sekolah dasar.

    Evidensi lebih jauh mengenai kaitan antara hubungan sosial anak dengan teman-teman sebayanya dan prestasi mereka di sekolah ditemukan dalam penelitian oleh Buswell dan Kohn (Ladd & Asher, 1985). Buswell mengikuti anak-anak taman kanak-kanak dan murid-murid kelas lima yang paling disukai dan yang paling tidak disukai oleh teman-teman sebayanya, dan menemukan bahwa anak-anak yang populer pada kedua tingkatan usia tersebut adalah paling tinggi pula kemungkinannya untuk berprestasi tinggi dalam pelajarannya. Temuan serupa dilaporkan oleh Kohn dalam studi longitudinal terhadap anak-anak yang maju berkelanjutan dari program penitipan anak (day-care programs) hingga ke kelas-kelas awal sekolah dasar di New York City. Secara spesifik, teacher ratings dilakukan terhadap 1232 anak untuk mengukur tingkat rasa malu anak dan tingkat kepasovan serta keterpencilannya dari teman-teman sebayanya ketika mereka masih duduk di tingkat prasekolah. Ditemukan bahwa hasilnya dapat memprediksi rendahnya prestasi anak-anak itu di kelas satu.

    Studi longitudinal terhadap perilaku interaksi sosial sejumlah anak prasekolah (Pellegrini & Glickman, 1991) menemukan bahwa perilaku agresif ataupun pasif pada anak prasekolah memprediksi kepribadian antisosial di kelas satu sekolah dasar.

    Anak yang tidak mampu membina pertemanan yang memuaskan juga akan merasa terpencil dan tidak bahagia (Asher et al., 1984 - dalam Bullock, 1998). Bagi anak-anak ini, sekolah akan merupakan tempat yang tidak menyenangkan, dan akibatnya mereka dapat sering membolos atau putus sekolah sama sekali (Kupersmidt, 1983 – dalam Burton, 1986). Atau, dalam upaya mereka untuk memperoleh rasa menjadi anggota kelompok (sense of group belonging), anak-anak ini rentan terhadap pengaruh kenakalan sebayanya atau penyalahgunaan obat-obat terlarang(Isaacs, 1985 – dalam Burton, 1986).

    Dalam studi terhadap siswa kelas sembilan (= kelas tiga SMP), Ullmann (Ladd & Asher, 1985) menemukan bahwa tingkat penyesuaian sosial anak, yang diperoleh melalui pengukuran sosiometri dari teman sebaya dan guru, dapat dengan baik membedakan siswa yang kemudian akan putus sekolah (tingkat penyesuaian sosialnya rendah) dan mereka yang kemudian lulus SMU (high school) dengan sangat baik (tingkat penyesuaian sosialnya tinggi).

    Oden (1986) menemukan bahwa Penyesuaian sosial yang lebih baik di SMU dan pada masa dewasa ditunjukkan oleh mereka yang pada usia sembilan atau sepuluh tahunnya dinilai dapat diterima dengan cukup baik oleh teman-teman sebayanya.

    Sejumlah peneliti juga telah melaporkan kaitan antara masalah hubungan teman sebaya pada masa dini dengan masalah kesehatan mental yang terjadi pada masa kehidupan selanjutnya. Dalam sebuah studi retrospektif, Kohn dan Clausen (Ladd & Asher, 1985) menemukan bahwa sampel orang dewasa yang mengalami gangguan kesehatan mental dibanding kelompok kontrol yang normal, cenderung menggambarkan dirinya sebagai terpencil atau tidak mempunyai teman pada usia 13 atau 14 tahun. Studi yang dilaksanakan terhadap sejumlah besar sampel dengan menggunakan batrai alat ukur prestasi, sikap dan kepribadian yang pertama-tama diadministrasikan ketika sampel duduk di kelas tiga SD, Cowen, Pederson, Babigian, Izzo, dan Trost (Ladd & Asher, 1985) menemukan bahwa penolakan oleh teman sekelasnya merupakan prediktor terbaik bagi subyek penelitian itu untuk berkecenderungan membutuhkan bantuan psikiatrik sebelas tahun kemudian.
    Roff (Ladd & Asher, 1985) meneliti penerimaan dan penolakan oleh teman sebaya terhadap sejumlah anak laki-laki dalam kaitannya dengan penyesuaian sosialnya ketika mereka sudah masuk dinas militer. Ditemukan bahwa mereka yang pada masa kecilnya ditolak dalam pergaulan dengan teman-teman sebayanya, sebagaimana diindikasikan di dalam laporan yang diperoleh dari klinik bimbingan anak (child-guidance clinics), menunjukkan kecenderungan yang lebih tinggi dibanding dengan mereka yang pada masa kecilnya diterima oleh teman sebayanya, untuk menunjukkan masalah perilaku yang parah atau melakukan hal-hal yang indisipliner.

    Janes dan Hesselbrock (Ladd & Asher, 1985) menggunakan teknik wawancara individual untuk mengases tingkat penyesuaian sosial sejumlah orang dewasa yang pernah menerima perlakuan di klinik bimbingan anak antara 9-15 tahun sebelumnya, dan menemukan bahwa anak yang di dalam catatan klinik tersebut digambarkan sebagai menarik diri atau antisosial terhadap teman-teman sebayanya pada masa kecilnya ternyata memiliki tingkat penyesuaian sosial terendah ketika sudah dewasa. Perbedaan jenis kelamin di dalam data tersebut menunjukkan bahwa maladaptasi di kemudian hari terkait dengan pola perilaku antisosial pada masa kecilnya bagi laki-laki, dan penarikan diri sosial (social withdrawal) bagi perempuan.

    Hasil-hasil penelitian di atas menunjukkan dengan jelas bahwa hubungan antarteman sebaya pada masa kecil itu sangat besar kontribusinya terhadap keefektifan fungsi individu pada masa-masa kehidupan selanjutnya. Oleh karena itu, Hartup (1992) menyimpulkan bahwa kualitas hubungan sosial anak dengan anak-anak lain merupakan prediktor terbaik bagi kemampuan adaptasinya pada masa dewasanya. Anak yang tidak dapat menempatkan dirinya dengan baik di dalam budaya teman sebaya (peer culture), sehingga tidak dapat memelihara hubungan baik dengan anak-anak lain, sangat beresiko untuk menghadapi banyak masalah pada masa perkembangan selanjutnya serta masa dewasanya, yang mencakup masalah prestasi belajar yang rendah, putus sekolah dan masalah-masalah sekolah lainnya, memiliki kesehatan mental yang buruk serta riwayat pekerjaan yang tidak menyenangkan.

    Hasil Penelitian tentang Kontribusi Hubungan Teman Sebaya terhadap Kompetensi Sosial Anak

    Hubungan dengan teman sebaya tampak mempunyai berbagai macam fungsi, yang banyak di antaranya dapat memfasilitasi proses belajar dan perkembangan anak. Melalui hubungan teman sebaya, anak memperoleh kesempatan untuk belajar keterampilan sosial yang penting untuk kehidupannya, terutama keterampilan yang dibutuhkan untuk memulai dan memelihara hubungan sosial dan untuk memecahkan konflik sosial, yang mencakup keterampilan berkomunikasi, berkompromi, dan berdiplomasi (Asher et al., 1982 - dalam Burton, 1986). Di samping mengajari anak cara bertahan hidup di kalangan sesamanya, hubungan teman sebaya memberikan kepada anak konteks untuk dapat membandingkan dirinya dengan orang lain serta memberi kesempatan untuk belajar berkelompok (Rubin, 1980 - dalam Budd, 1985).

    Combs dan Slaby (Budd, 1985) menemukan bahwa hubungan teman sebaya yang baik secara konsisten terkait langsung dengan dimensi keramahan, partisipasi, pengayoman (nurturance), kemurahan hati, dan responsif dalam interaksi teman sebaya.

    Di samping itu, anak yang banyak melibatkan dirinya dengan teman sebayanya juga dapat memperoleh kesempatan untuk membangun rasa percaya diri sosial (social self-confidence (Burton, 1986). Anak-anak ini dapat memupuk kepercayaan terhadap kemampuannya sendiri untuk mencapai tujuan interpersonalnya, sehingga tidak akan mudah merasa kecewa dengan pasang/surutnya interaksi sosial. Hal-hal tersebut berimplikasi terhadap kemampuan penyesuaian sosial dan profesionalnya di kemudian hari (Burton, 1986).

    Interaksi sosial memberikan kepada anak kesempatan untuk belajar dari reaksi teman sebayanya. Berbagai studi tentang penguatan (reinforcement) dari teman sebaya menunjukkan bahwa anak lebih cenderung untuk mengerem penggunaan strategi agresif terhadap teman sebayanya yang memberikan perlawanan terhadap agresi tersebut (Jewett, 1992). Karena hubungan anak dengan teman sebayanya itu bersifat egaliter, maka interaksi antara teman sebaya memperkenalkan kepada anak perilaku saling memberi dan menerima, yang sangat penting untuk memupuk sosialisasi dan menekan agresi(Budd, 1985). Lebih jauh, sejumlah kajian literatur (Ladd & Asher, 1985; Hartup, 1992), menunjukkan bahwa perolehan dan pemeliharaan berbagai bentuk perilaku sosial, disposisi kepribadian, dan sikap yang diperoleh pada masa kanak-kanak (misalnya pola bahasa, isyarat altruistik, popularitas di kalangan teman sebaya, keyakinan moral) sebagian tergantung pada reaksi yang diperoleh anak dari teman-teman sebayanya.

    Berbagai studi juga menunjukkan bahwa anak belajar dengan memperhatikan dan meniru perilaku teman-teman sebayanya. Perilaku prososial maupun agresif anak diperoleh dengan memperhatikan teman-teman sebayanya melakukan respon semacam itu, begitu juga dengan perilaku spesifik laki-laki atau perempuan, standar untuk penguatan diri (self-reinforcement) dan perilaku yang menunjukkan sifat pemberani (Bandura,dalam Nelson-Jones, 1995; Ladd & Asher, 1985).

    Hartup (1992) mengidentifikasi empat fungsi hubungan teman sebaya, yang mencakup:
    1) Hubungan teman sebaya sebagai sumber emosi (emotional resources), baik untuk memperoleh rasa senang maupun untuk beradaptasi terhadap stress;
    2) Hubungan teman sebaya sebagai sumber kognitif (cognitive resources) untuk pemecahan masalah dan perolehan pengetahuan;
    3) Hubungan teman sebaya sebagai konteks di mana keterampilan sosial dasar (misalnya keterampilan komunikasi sosial, keterampilan kerjasama dan keterampilan masuk kelompok) diperoleh atau ditingkatkan; dan
    4) Hubungan teman sebaya sebagai landasan untuk terjalinnya bentuk-bentuk hubungan lainnya (misalnya hubungan dengan saudara kandung) yang lebih harmonis. Hubungan teman sebaya yang berfungsi secara harmonis di kalangan anak-anak prasekolah telah terbukti dapat memperhalus hubungan antara anak-anak itu dengan adiknya.

    Hartup mengemukakan bahwa sebagai sumber emosi, pertemanan bagi anak memberi rasa aman untuk memasuki wilayah baru, bertemu dengan orang baru atau hal-hal baru, dan mengatasi persoalan- persoalan baru. Di samping itu, dengan teman sebaya, anak saling memberikan dukungan dalam mengatasi stress dan menciptakan suasana yang menyenangkan. Pada gilirannya, keadaan ini dapat memberikan “basis yang aman” untuk melakukan social learning lebih lanjut dan membuat temuan-temuan baru. Studi yang dilakukan oleh Freud dan Dann (Ladd & Asher, 1985) terhadap enam orang anak yatim piatu korban Perang Dunia II menunjukkan bahwa dalam ketidakhadiran orang dewasa sebagai pengasuh, anak mengembangkan pola hubungan yang menyerupai hubungan oran tua-anak. Hasil yang serupa ditunjukkan oleh penelitian Schwarz dan Ispa (Ladd & Asher, 1985) yang menunjukkan bahwa bila anak dihadapkan pada situasi baru atau situasi yang mungkin membahayakan, sahabat sebayanya dapat berfungsi sebagai penghibur atau penurun ketegangan, satu fungsi yang biasanya ditunjukkan oleh orang tuanya.
    Sebagai sumber kognitif, hubungan teman sebaya memungkinkan anak untuk saling mengajari dalam banyak situasi, dan pada umumnya kegiatan ini efektif. Hartup (1992) mengidentifikasi empat jenis pengajaran antarteman sebaya, yaitu peer tutoring, cooperative learning, peer collaboration dan peer modeling. Peer tutoring adalah transmisi informasi secara didaktik dari satu anak ke anak lain, biasanya dari “ahli” kepada “pemula”. Cooperative learning adalah cara belajar yang menuntut anak untuk saling berkontribusi dalam pemecahan masalah dan berbagi imbalannya. Peer collaboration terjadi bila semua anggota kelompok belajar itu adalah pemula yang bekerjasama untuk menyelesaikan suatu tugas yang tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri. Peer modeling adalah transmisi informasi melalui peniruan antarteman sebaya.

    Daftar Referensi

    Budd, K. S. (1985). “Parents as Mediators in the Social Skills Training of Children”, dalam L'Abate, Luciano & Milan, Michael A. (Eds.) (1985). Handbook of Social Skills Training and Research. New York: John Wiley & Sons.
    Bullock, J. R. (1998). Loneliness in Young Children. ERIC Digest.
    Burton, C. B. (1986). "Children's Peer Relationships". ERIC Digest. Urbana IL: ERIC Clearinghouse on Elementary and Early Childhood Education.
    Hartup, W. W. (1992). Having Friends, Making Friends, and Keeping Friends. ERIC Digest. Urbana IL: ERIC Clearinghouse on Elementary and Early Childhood Education.
    Ladd, G. W. & Asher, S. R. (1985). “Social Skill Training and Children's Peer Relations”, dalam L'Abate, Luciano & Milan, Michael A. (Eds.) (1985). Handbook of Social Skills Training and Research. New York: John Wiley & Sons.
    Nelson-Jones, R. (1995). COUNSELLING AND PERSONALITY: THEORY AND PRACTICE. Australia: Allen And Unwin Pty Ltd.
    Oden, S. (1987). The Development of Social Competence in Children. ERIC Digest.
    Pellegrini, A. D. & Glickman, Carl D. (1991). Measuring Kindergartners' Social Competence. ERIC Digest.

    Labels: ,

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke DAFTAR ISI