Peranan Kegiatan Bermain dalam Perkembangan Kompetensi Sosial Anak
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
Kegiatan bermain merupakan salah satu bentuk interaksi utama antarteman sebaya di kalangan anak-anak. Penelitian yang dilakukan oleh Pellegrini (Pellegrini & Glickman, 1991) menunjukkan bahwa anak yang pasif (yaitu mereka yang diarahkan oleh orang dewasa dan noninteraktif) kurang kompeten dibanding anak yang berorientasi pada teman sebaya dan aktif melibatkan diri dalam kegiatan bermain.
Kegiatan bermain ini dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis utama, yaitu (1) kegiatan bermain fantasi (symbolik/pretend/imaginary play), yang dalam bahasa Sunda disebut anjang-anjangan, dan (2) gim (game), yaitu permainan yang terstruktur dan mempunyai seperangkat aturan baku dan bersifat kompetitif. Baik kegiatan bermain fantasi maupun gim memperkuat perkembangan kompetensi sosial pada anak (McClellan & Katz, 2001).
Kegiatan bermain fantasi dapat memunculkan berbagai bentuk perilaku yang terkait dengan pemeranan. Penelitian tentang interaksi sosial hubungan afiliatif di kalangan anak-anak menunjukkan bahwa teman sebaya sering terlibat dalam bentuk-bentuk permainan fantasi yang kompleks dan sering kali menampilkan pola-pola perilaku timbal-balik yang berorientasi afektif (Newcomb, Brady, & Hartup, 1979 – dalam Ladd & Asher, 1985). Di dalam permainan tersebut anak memperoleh kesempatan untuk berbagi peran-peran interaktif, misalnya peran guru-murid, pedagang-pembeli, dokter-pasien, dsb. Dalam permainan ini anak dituntut untuk mampu beradaptasi terhadap peran yang sedang dimainkannya dan setting yang telah disepakati dengan teman bermainnya, responsif terhadap akting temannya, terampil berkomunikasi secara efektif, mampu menerima kritik bila respon yang diberikannya tidak sesuai dengan ekspektasi temannya, dan mampu berperilaku atau berujar yang dapat menimbulkan respon positif.
Gim berkelompok biasanya merupakan peristiwa di mana anak menunjukkan kompetensi tingkat tinggi (Waters & Sroufe, 1983 – dalam Pellegrini & Glickman, 1991). Waters dan Sroufe mengamati bahwa dalam permainan semacam ini anak dituntut untuk menunjukkan perilaku yang sesuai dengan seperangkat peraturan tertentu, dan anak berusaha melakukan permainan tersebut sebaik mungkin karena mereka ingin mempertahankan interaksinya dengan teman-teman sebayanya, dan dengan demikian anak-anak tersebut berusaha menunjukkan kompetensinya. Karakteristik interaksi sosial dari permainan ini membuka jalan bagi terungkapnya sejumlah dimensi seperti dimensi linguistik, sosial, dan kognitif yang dibutuhkan untuk pencapaian prestasinya kelak. Oleh karena itu, kinerja anak di dalam permainan ini dapat memprediksi prestasinya di kemudian hari. Misalnya, kemampuan untuk menggunakan argumen yang logis dalam permainan menuntut penggunaan bentuk bahasa yang merupakan karakteristik dari tes dan pelajaran bahasa di sekolah. Di samping itu, Waters dan Sroufe mengamati bahwa di dalam gim berkelompok, anak harus menunjukkan keterampilan sosial dan kognitif yang baik agar dapat disukai oleh teman-temannya. Dengan kata lain, mereka harus memiliki dan mempergunakan keterampilan kognitif yang dibutuhkan untuk menganalisis interaksi sosial agar dapat menampilkan perilaku yang sesuai dengan ekspektasi kelompoknya. Anak yang memiliki keterampilan tersebut akan disukai anak-anak lain. Dengan demikian, apa yang dilakukan anak di dalam gim tersebut juga dapat memprediksi popularitasnya di kemudian hari.
Daftar Referensi
Ladd, G.W. & Asher, S.R. (1985). “Social Skill Training and Children's Peer Relations”, dalam L'Abate, Luciano & Milan, Michael A. (Eds.) (1985). Handbook of Social Skills Training and Research. New York: John Wiley & Sons.
McClellan, D.E. & Katz, L.G. (2001). Assessing Young Children's Social Competence. ERIC Digest.
Pellegrini, A.D. & Glickman, C.D. (1991). Measuring Kindergartners' Social Competence. ERIC Digest.
Labels: Kegiatan Bermain, Kompetensi Sosial
<< Home