DOCTYPE html PUBLIC "-//W3C//DTD XHTML 1.0 Strict//EN" "http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-strict.dtd"> Didi Tarsidi: Counseling, Blindness and Inclusive Education: Strategi Coping untuk Beradaptasi dengan Ketunanetraan
  • HOME


  • Guestbook -- Buku Tamu



    Anda adalah pengunjung ke

    Silakan isi Buku Tamu Saya. Terima kasih banyak.
  • Lihat Buku Tamu


  • Comment

    Jika anda ingin meninggalkan pesan atau komentar,
    atau ingin mengajukan pertanyaan yang memerlukan respon saya,
    silakan klik
  • Komentar dan Pertanyaan Anda




  • Contents

    Untuk menampilkan daftar lengkap isi blog ini, silakan klik
  • Contents -- Daftar Isi




  • Izin

    Anda boleh mengutip artikel-artikel di blog ini asalkan anda mencantumkan nama penulisnya dan alamat blog ini sebagai sumber referensi.


    29 November 2008

    Strategi Coping untuk Beradaptasi dengan Ketunanetraan

    Oleh Didi Tarsidi
    Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

    Seorang individu tunanetra hanya akan memperoleh kembali keberfungsiannya sebagai anggota kelompok sosial apabila dia dapat menerima ketunanetraannya dan mampu beradaptasi secara baik dengan kondisinya itu. Terdapat beberapa strategi coping yang dapat dipergunakan oleh seorang individu tunanetra untuk beradaptasi dengan kondisi ketunanetraannya itu. Pada bagian ini akan dibahas apa yang dimaksud dengan strategi coping itu dan jenis-jenis strategi tersebut.

    Definisi dan Klasifikasi
    MacArthur & MacArthur (1999) mendefinisikan strategi coping sebagai upaya-upaya khusus, baik behavioral maupun psikologis, yang digunakan orang untuk menguasai, mentolleransi, mengurangi, atau meminimalkan dampak kejadian yang menimbulkan stress. Stress itu timbul sebagai akibat dari adanya tuntutan internal dan/atau eksternal yang melebihi sumber-sumber yang dimiliki individu. Oleh karenanya, Cohen & Lazarus (1979 – dalam Calvo-Novell, 2002) mendefinisikan coping sebagai serangkaian upaya kognitif dan behavioral yang dikembangkan individu guna mengatasi tuntutan eksternal dan/atau internal yang dinilai sebagai berlebihan atau terlalu besar dalam kaitannya dengan sumber-sumber yang dimilikinya. Oleh sebab itu, Dodds (1993) mengemukakan bahwa pada esensinya, strategi coping adalah strategi yang dipergunakan individu untuk melakukan penyesuaian antara sumber-sumber yang dimilikinya dengan tuntutan yang dibebankan lingkungan kepadanya. Secara spesifik, sumber-sumber yang memfasilitasi coping itu mencakup sumber-sumber personal (yaitu karakteristik pribadi yang relatif stabil seperti self-esteem atau keterampilan sosial) dan sumber-sumber lingkungan seperti dukungan sosial dan keluarga atau sumber finansial (Harrington & Mcdermott, 1993).
    Terdapat dua jenis umum strategi coping, yaitu problem-solving coping dan emotion-focused coping (Folkman & Lazarus, 1980). Strategi problem-solving adalah upaya untuk melakukan suatu aktivitas untuk menghilangkan keadaan yang menimbulkan stress. Strategi ini biasanya dipergunakan untuk menghadapi masalah-masalah yang cenderung dapat dikendalikan. Misalnya, ketika penyebab stress seorang individu tunanetra itu adalah kesulitan orientasi dan mobilitas di sebuah lingkungan baru, untuk mengatasinya jangka panjang, dia dapat meminta orang lain untuk mengorientasikannya di lingkungan itu, dan untuk keperluan mendesak, dia dapat meminta orang untuk mendampinginya ke tempat yang ingin ditujunya. Di pihak lain, strategi emotion-focused coping adalah upaya untuk mengontrol konsekuensi emosional dari peristiwa yang menimbulkan stress atau berpotensi menimbulkan stress. Strategi ini biasanya dipergunakan untuk menghadapi stressor yang dipersepsi sebagai kurang dapat dikendalikan. Misalnya, ketika seorang pejalan kaki tunanetra dihadapkan pada satu situasi lingkungan baru yang kompleks di mana bantuan orang awas pun tidak dapat diperolehnya, dampak situasi tersebut pada keadaan emosinya tergantung pada kemampuannya untuk mengendalikan emosinya. Penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya orang menggunakan kedua jenis strategi coping tersebut untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang menimbulkan stress (Folkman & Lazarus, 1980). Lebih menonjolnya penggunaan satu jenis strategi dibanding jenis lainnya sebagian ditentukan oleh gaya personal (misalnya ada orang yang lebih aktif daripada yang lainnya) dan juga oleh jenis peristiwa yang menimbulkan stress itu. Berbicara tentang strategi coping yang lebih adaptif, Dodds (1993) mengemukakan bahwa problem-solving coping jelas merupakan yang akan berhasil dalam jangka panjang; emotion-focused coping dapat digunakan hanya apabila masalah yang dihadapi tidak dapat diatasi dengan memuaskan.
    Coping juga dapat diklasifikasikan sebagai active coping strategies dan avoidant coping strategies (MacArthur & MacArthur, 1999). Active coping strategies adalah upaya behavioral atau psikologis yang dirancang untuk mengubah hakikat stressor itu sendiri atau mengubah cara berpikir tentang penyebab stress itu, sedangkan avoidant coping strategies adalah upaya untuk menghindari berhubungan langsung dengan peristiwa penyebab stress dengan melakukan aktivitas seperti penggunaan alkohol atau secara psikologis menjauhkan diri dari sumber stress.
    Berdasarkan teori tentang coping styles dari Lazarus (1966), Dodds (1993) mengidentifikasi tiga jenis coping, yaitu (1) emotion-focused coping, (2) problem-focused coping, dan (3) avoidance coping. Emotion-focused coping yang umumnya digunakan adalah teknik relaksasi seperti latihan pernafasan; mendengarkan musik; meditasi dan self-talk. Problem-focused coping ditandai dengan kegiatan individu dalam melakukan tugas-tugas seperti mencari informasi tentang ketunanetraan, belajar keterampilan untuk kemandirian, dan semacamnya. Avoidance coping ditandai dengan perbuatan melamun atau berkhayal, menyangkal bahwa sedang menghadapi masalah, tidak mau mengerjakan apa pun, atau melarikan diri dari situasi dengan minum alkohol atau narkoba.
    Berbicara tentang strategi coping yang lebih adaptif, Dodds (1993) mengemukakan bahwa problem-solving coping jelas merupakan yang akan berhasil dalam jangka panjang; sedangkan emotion-focused coping dapat digunakan hanya apabila masalah yang dihadapi tidak dapat diatasi secara memuaskan.
    Dengan menggunakan pendekatan “Grounded Theory”, Horowitz (2004) meneliti strategi coping yang paling banyak dipergunakan di kalangan individu tunanetra dewasa. Dia menemukan bahwa terdapat tiga jenis strategi utama, yaitu: (a) psychological coping (yang mencakup kognitif dan emotif); (b) behavioral coping, yaitu tindakan-tindakan yang overt dan dapat diobservasi; dan (c) social coping, yaitu melibatkan individu lain untuk beradaptasi dengan kondisi baru - kondisi ketunanetraan.
    Psychological coping strategy difokuskan pada upaya-upaya untuk menerima realita ketunanetraan, menemukan kembali rasa harga diri, menumbuhkan kegairahan untuk belajar keterampilan baru, menumbuhkan kemampuan emosional untuk menghadapi kesulitan-kesulitan yang diakibatkan oleh ketunanetraan. Ini merupakan proses yang panjang dan membutuhkan bantuan dan dukungan orang lain.
    Behavioral coping strategy adalah penggunaan keterampilan kompensatoris atau teknik alternatif untuk mengatasi tuntutan lingkungan dalam melakukan kegiatan kehidupan sehari-hari tanpa penglihatan atau dengan penglihatan yang terbatas. Teknik alternatif adalah cara khusus (baik dengan ataupun tanpa alat bantu khusus) yang memanfaatkan indera-indera nonvisual atau sisa indera penglihatan untuk melakukan suatu kegiatan yang normalnya dilakukan dengan indera penglihatan (Jernigan, 1994). Teknik-teknik alternatif itu diperlukannya dalam berbagai bidang kegiatan seperti dalam membaca dan menulis, bepergian, menggunakan komputer, menata rumah, menata diri, dll. Kadang-kadang teknologi diperlukan untuk membantu menciptakan teknik-teknik alternatif tersebut. Indera pendengaran dan perabaan merupakan saluran penerima informasi yang paling efisien sesudah indera penglihatan. Oleh karena itu, teknik alternative itu pada umumnya memanfaatkan indera pendengaran dan/atau perabaan.
    Social coping strategy adalah upaya-upaya untuk mengatasi kesulitan akibat ketunanetraan dengan melibatkan orang lain. Bagi orang tunanetra dewasa tertentu, ini merupakan hal yang tidak mudah (Horowitz, 2004). Banyak orang tunanetra dewasa yang lebih tua, yang pada umumnya telah berjuang untuk menjadi orang dewasa yang mandiri dan bangga dengan kemandiriannya itu, kini mereka harus berhadapan dengan realita baru bahwa dalam hal-hal tertentu mereka perlu bergantung pada bantuan orang lain. Ketika bantuan orang lain diperlukan, Horowitz (2002) menemukan bahwa perempuan cenderung lebih menyukai dukungan dari nonkeluarga, sedangkan laki-laki cenderung lebih bergantung pada keluarga dekat seperti istri atau anak. Horowitz juga menemukan bahwa dukungan dari jaringan sosial informal sangat penting dalam membantu orang tunanetra dewasa untuk beradaptasi dengan ketunanetraannya.
    Individu tunanetra pada umumnya menggunakan kombinasi dari strategi-strategi di atas (Horowitz, 2004), dan keberhasilan coping dalam satu ranah cenderung berpengaruh positif terhadap keberhasilan dalam ranah-ranah lainnya.
    Di samping itu, Brannan et al. (2005) menyebutkan spirituality dan religiousness sebagai satu “coping resource” yang mempunyai efek tangkal terhadap pengalaman hidup negatif. Ini berarti bahwa kita dapat menambahkan spiritualitas dan keagamaan sebagai satu kategori lain dari strategi coping. Berbagai literatur menunjukkan bahwa spiritualitas dan keagamaan pada umumnya berpengaruh besar terhadap kesehatan fisik dan mental (Brannan, 2005; Duffy et al., 2006; McCarthy, 1999). Nosek dan Hughes (2001 – dalam Parker et al., 2004) menemukan bahwa spiritualitas merupakan sebuah alat penting yang dipergunakan oleh perempuan penyandang ketunaan dalam menepis perlakuan negative akibat societal stereotypes dan untuk mengatasi hambatan untuk mencapai keberhasilan hidup. Keagamaan (religiousness) mengacu pada hubungan seseorang dengan agama tertentu atau komunitas keimanan tertentu; sedangkan spiritualitas mengacu pada bermacam-macam konsep seperti hubungan individu dengan suatu kekuatan yang mahatinggi, suatu jenis energi atau tenaga pengendali/penuntun, atau suatu sistem kepercayaan kepada satu Tuhan (Duffy, 2006). Individu yang sangat spiritual atau religius mengalami lebih sedikit masalah kesehatan fisik, lebih cepat sembuh dari penyakit, dan mengalami lebih sedikit stress ketika sakit keras dibanding mereka yang tidak spiritual atau religius. Individu yang merasa mendapat dukungan dari Tuhan akan memperoleh berbagai atribut kesehatan mental yang positif seperti lebih terhindar dari depresi, tingkat stress psikologis yang lebih rendah, tidak sering kesepian, dan tingkat self-esteem yang lebih tinggi. Penelitian mengindikasikan bahwa spiritualitas seseorang dapat dianalogikan dengan human relationship. Dalam hubungan tersebut, orang membentuk ikatan dengan suatu kekuatan mahatinggi, yang dapat membantu orang itu merasa mendapat dukungan dan dicintai. Demikian pula, individu dengan tingkat keagamaan yang tinggi melaporkan tingkat depresi yang lebih rendah, tingkat afeksi positif yang lebih tinggi, tingkat ketegangan emosi yang lebih rendah, dan tingkat kepuasan hidup yang lebih tinggi (duffy, 2006). Penelitian Brennan et al. (2005) menunjukkan bahwa individu dengan tingkat spiritualitas atau keagamaan yang lebih tinggi mengalami lebih sedikit dampak negatif dari ketunaan penglihatan dan peristiwa-peristiwa lain yang menimbulkan stress, dan mendapatkan hasil rehabilitasi yang lebih positif dalam hal adaptasi terhadap kehilangan penglihatan dan dalam perkembangan psikososialnya.

    Coping dalam Keluarga
    Meskipun pada dasarnya upaya untuk beradaptasi dengan ketunanetraan dan ketunaan pada umumnya itu terutama merupakan tanggung jawab pribadi individu yang bersangkutan, tetapi upayanya itu akan jauh lebih efektif apabila dibarengi dengan upaya serupa dari orang-orang lain yang paling signifikan, khususnya keluarganya. Berdasarkan dampaknya terhadap kehidupan keluarga, Dodds (1993) mengidentifikasi dua orientasi strategi coping dalam keluarga, yaitu functional coping dan disfunctional coping. Functional coping cenderung menurunkan tingkat stress yang dialami, sedangkan dysfunctional coping cenderung meningkatkannya. Functional coping membantu memelihara keutuhan sistem keluarga dengan menjaga kepuasan seluruh anggota keluarga; sedangkan dysfunctional coping cenderung merusak keutuhan sistem keluarga karena para anggotanya mendapatkan sedikit saja kepuasan dari situasi yang dialami dan membuat para anggotanya menjadi tidak bahagia. McCubbin dan Figley (1983 – dalam Dodds, 1993) mengidentifikasi sebelas karakteristik yang membedakan antara keluarga yang mempraktekkan functional coping dan keluarga yang mempraktekkan dysfunctional coping untuk mengatasi stress, dan analisis ini sangat bermanfaat dalam memprediksi hasil akhirnya dan menentukan seberapa banyak bantuan yang mereka butuhkan. Kesebelas karakteristik itu adalah sebagai berikut.
    a. Secara jelas mengakui bahwa ada permasalahan yang harus diatasi. Ini berarti bahwa masalah itu tidak dihindari, dan semua anggota keluarga mengakui bahwa mereka bertanggung jawab untuk mengatasi masalah itu.
    b. “Family-centred locus of problem”. Ini berarti mengalihkan fokus permasalahan dari satu anggota keluarga menjadi tantangan bagi seluruh keluarga.
    c. “Problem-solving coping”. Ini berarti bahwa keluarga yang efektif segera memobilisasi sumber-sumber yang tersedia guna mengatasi situasi krisis.
    d. Tingginya tingkat toleransi, yaitu bahwa anggota keluarga yang mengalami krisis itu tidak hanya mendapatkan dukungan material tetapi seluruh angota keluarga juga menunjukkan keramahan, kesabaran, pengertian dan kerjasama.
    e. Secara langsung dan jelas menunjukkan komitmen dan afeksi. Orang-orang yang memiliki komitmen mampu mengkomunikasikan afeksi meskipun situasi yang dihadapi sangat sulit.
    f. Komunikasi yang terbuka dan efektif. Para anggota dari sebuah keluarga yang efektif mampu berkomunikasi secara efektif dalam berbagai macam topik, dan interaksi yang dihasilkannya berkualitas tinggi.
    g. Tingkat kohesi yang tinggi. Dalam keluarga dengan karakteristik ini, setiap anggotanya merasa senang dengan kehadiran anggota lainnya dan merasa kehilangan dengan ketidakhadirannya.
    h. Fleksibilitas peran keluarga. Setiap anggota keluarga mampu memainkan bermacam-macam peran, sehingga apabila ada satu anggota keluarga yang tidak dapat melaksanakan perannya, yang lainnya dapat menggantikanya.
    i. Efisien dalam menggunakan sumber-sumber yang tersedia.
    j. Tidak pernah terjadi kekerasan dalam keluarga.
    k. Tidak ada anggota keluarga yang suka menggunakan narkotik dan zat-zat terlarang lainnya.
    Keluarga dengan dysfunctional coping, gambarannya sering kali kebalikan dari gambaran di atas. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:
    a. Menolak atau memiliki persepsi yang salah tentang stressor.
    b. Memusatkan permasalahan pada satu anggota keluarga.
    c. Menyalahkan seorang anggota keluarga untuk stress yang terjadi.
    d. Menunjukkan toleransi yang rendah.
    e. Tidak atau kurang menunjukkan komitmen.
    f. Komunikasi yang buruk.
    g. Menunjukkan kohesi yang buruk.
    h. Peran masing-masing anggota keluarga kaku.
    i. Menunjukkan inefisiensi dalam penggunaan sumber-sumber yang tersedia.
    j. Menampilkan perilaku kekerasan.
    k. Menyalahgunakan zat-zat terlarang.
    Meskipun keluarga dengan dysfunctional coping akan menunjukkan beberapa dari karakteristik di atas, tetapi ini tidak berarti bahwa mereka akan menunjukkan semua karakteristik itu sekaligus. Demikian pula halnya dengan keluarga dengan functional coping, mereka tidak akan fungsional dalam semua aspek pada saat yang sama (Dodds, 1993).

    Labels: , ,

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke DAFTAR ISI