DOCTYPE html PUBLIC "-//W3C//DTD XHTML 1.0 Strict//EN" "http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-strict.dtd"> Didi Tarsidi: Counseling, Blindness and Inclusive Education: Pendidikan Inklusif: Perencanaan
  • HOME


  • Guestbook -- Buku Tamu



    Anda adalah pengunjung ke

    Silakan isi Buku Tamu Saya. Terima kasih banyak.
  • Lihat Buku Tamu


  • Comment

    Jika anda ingin meninggalkan pesan atau komentar,
    atau ingin mengajukan pertanyaan yang memerlukan respon saya,
    silakan klik
  • Komentar dan Pertanyaan Anda




  • Contents

    Untuk menampilkan daftar lengkap isi blog ini, silakan klik
  • Contents -- Daftar Isi




  • Izin

    Anda boleh mengutip artikel-artikel di blog ini asalkan anda mencantumkan nama penulisnya dan alamat blog ini sebagai sumber referensi.


    15 June 2008

    Pendidikan Inklusif: Perencanaan

    Bagian dari buku
    Pendidikan Inklusif Ketika Hanya Ada Sedikit Sumber

    Terjemahan dari
    Inclusive Education where there are Few Resources

    Oleh Sue Stubbs

    Alih Bahasa oleh Susi Septaviana R.

    Edisi bahasa Indonesia diedit oleh Didi Tarsidi

    Disponsori oleh IDP Norway

    Bab 4: Bagaimana Kita Dapat Merencanakan Pendidikan Inklusif?



    4.1. Faktor-faktor Penentu Utama Keberhasilan dan Keberlangsungan Pendidikan Inklusif
    Dalam merencanakan pendidikan inklusif, tidak cukup dengan memahami konsepnya saja. Sebuah rencana juga harus realistis dan tepat. Dalam bab ini akan disajikan panduan untuk memastikan bahwa pendidikan inklusif dapat dipraktekkan dalam berbagai budaya dan konteks. Pengalaman pendidikan inklusif yang sukses menunjukkan bahwa ada 3 faktor penentu utama yang perlu diperhatikan agar implementasi pendidikan inklusif bertahan lama:
    a) Adanya kerangka yang kuat – rangka: Pendidikan inklusif perlu didukung oleh kerangka nilai-nilai, keyakinan, prinsip-prinsip, dan indikator keberhasilan. Ini akan berkembang seiring dengan implementasinya dan tidak harus ‘disempurnakan’ sebelumnya. Tetapi jika pihak-pihak yang terlibat mempunyai konflik nilai-nilai dll., dan jika konflik tersebut tidak diselesaikan dan disadari, maka pendidikan inklusif akan mudah ambruk.
    b) Implementasi berdasarkan budaya dan konteks lokal - ‘dagingnya’: Pendidikan inklusif bukan merupakan suatu cetak biru. Satu kesalahan utama adalah asumsi bahwa solusi yang diekspor dari suatu budaya/konteks dapat mengatasi permasalahan dalam budaya/konteks lain yang sama sekali berbeda. Lagi-lagi, berbagai pengalaman menunjukkan bahwa solusi harus dikembangkan secara lokal dengan memanfaatkan sumber-sumber daya lokal; jika tidak, solusi tersebut tidak akan bertahan lama.
    c) Partisipasi yang berkesinambungan dan refleksi diri yang kritis – “darah kehidupannya”: Pendidikan inklusif tidak akan berhasil jika hanya merupakan struktur yang mati. pendidikan inklusif merupakan proses yang dinamis, dan agar pendidikan inklusif terus hidup, diperlukan adanya monitoring partisipatori yang berkesinambungan, yang melibatkan SEMUA stakeholder dalam refleksi diri yang kritis. Satu prinsip inti dari pendidikan inklusif adalah harus tangap terhadap keberagaman secara fleksibel, yang senantiasa berubah dan tidak dapat diprediksi. Jadi, pendidikan inklusif harus tetap hidup dan mengalir.
    Secara bersama-sama, ketiga faktor penentu utama tersebut (rangka, daging dan darah) memberntuk organisme hidup yang kuat, yang dapat beradaptasi dan tumbuh dalam budaya dan konteks lokal.

    4.2. Mengembangkan Kerangka yang Kuat
    Pengembangan kerangka yang kuat merupakan komponen utama pendidikan inklusif, yang akan berfungsi sebagai ‘tulang’ program. Kerangka ini harus terdiri dari:
    • Nilai-nilai dan keyakinan yang kuat
    • Prinsip-prinsip dasar
    • Indikator keberhasilan.
    Kadang-kadang, praktek mulai dilaksanakan, dan kebijakan ditetapkan kemudian. Di saat lain, kebijakan ditetapkan lebih dulu dan kemudian implementasinya menyusul. Bagaimanapun urutannya, pada suatu poin tertentu, khususnya bila ada masalah atau tantangan, program pendidikan inklusif akan mulai mengungkapkan sikap, nilai, keyakinan dan tujuan orang yang sesungguhnya. Kerangka yang kuat dapat dibentuk oleh individu-individu kunci yang berfungsi sebagai ‘pengawal’ prinsip-prinsip yang dianut tersebut, tetapi akan menjadi lebih stabil apabila terdapat konsensus dan rasa kepemilikan yang kuat dalam kaitannya dengan komponen-komponen kerangka ini. Sebuah kerangka yang kuat dapat dikembangkan dengan bantuan instrumen internasional utama yang dibahas dalam Bab 1. Kerangka tersebut akan didasarkan pada pendekatan hak asasi manusia dan model sosial.
    Nilai-nilai Inti (sesuatu yang kita pandang penting atau berharga) dan keyakinan (sesuatu yang kita terima sebagai kebenaran): Nilai-nilai dan keyakinan orang sangatlah mendalam dan tidak mudah untuk diubah. Salah satu hambatan utama implementasi inklusi sering kali adalah ‘sikap negatif’, dan sikap adalah kombinasi antara nilai-nilai dan keyakinan.

    “Hambatan sikap terhadap inklusi sedemikian besar sehingga tingkat ketersediaan sumber daya tidak relevan.”
    (Susie Miles, ‘Overcoming Resource Barriers’, 2000).
    Jadi apa yang dapat dilakukan untuk mengatasinya? Sering kali sikap negatif akan berubah secara efektif setelah orang MELIHAT contoh yang positif atau menyaksikan praktek inklusi. Tetapi kita juga dapat membantu orang menelaah nilai-nilai dan keyakinan yang dipegangnya dan mempertanyakan apakah memang nilai-nilai dan keyakinan itu yang ingin dijunjungnya. Agar program pendidikan inklusif dapat berkesinambungan, pada satu titik tertentu nilai-nilai dan keyakinan itu harus dinyatakan dengan jelas. Nilai-nilai yang melandasi Pendidikan Inklusif dapat ditemukan dalam semua budaya, filosofi dan agama, dan tercermin dalam artikel-artikel fundamental instrumen internasional tentang hak asasi manusia sebagaimana telah dibahas pada bab 1.
    Ini meliputi:
    • Saling menghargai
    • Toleransi
    • Menjadi bagian suatu masyarakatDiberikan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan dan bakat
    • Saling membantu
    • Belajar dari satu sama lain
    • Membantu orang untuk menolong dirinya sendiri dan masyarakatnya.
    Dalam budaya dan konteks yang berbeda, nilai-nilai tertentu lebih diprioritaskan daripada yang lainnya. Misalnya, menjadi bagian dari masyarakat dapat sangat diprioritaskan daripada mengembangkan keterampilan individu di banyak masyarakat Selatan, sedangkan di Utara justru sebaliknya. Di semua masyarakat, orang-orang tertentu akan berpegang lebih teguh dan bertindak atas dasar nilai-nilai ini dibandingkan dengan orang lainnya.
    Sayangnya, diskriminasi dan penindasan juga terdapat di dalam sebagian besar budaya dan konteks. Sering kali kebodohan, ketakutan, kurangnya dukungan dan pendidikan yang menyebabkan orang tidak meyakini nilai-nilai ini atau bertindak atas dasarnya. Kadang-kadang merupakan perilaku yang sudah menjadi tradisi seperti pelecehan terhadap perempuan. Juga dalam situasi kemiskinan dan ketidakamanan yang ekstrim, nilai-nilai yang sangat tinggi digantikan dengan strategi bertahan hidup yang mendasar, dan 'siapa yang paling kuat itulah yang berkuasa’. Untuk meniadakan penyebab kebodohan dan ketakutan, orang harus dibantu memperoleh pendidikan, keamanan, dukungan dan kebebasan dari penindasan agar mereka dapat memegang teguh nilai-nilai 'yang lebih tinggi' ini dan mempraktekkannya. Jadi, inklusi akhirnya harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Pernyataan dari berbagai Dokumentasi Internasional (khususnya Pernyataan Salamanca) dan berbagai definisi tentang pendidikan inklusif (bab 3) dapat digunakan untuk merangsang diskusi.

    Apa saja nilai-nilai dan keyakinan kita tentang... -- Nilai/Keyakinan itu terkandung dalam pendidikan inklusif. Apakah anda setuju?
    Pendidikan? -- Kita yakin setiap orang memiliki hak atas pendidikan.
    Belajar? -- Kita yakin semua anak dapat belajar
    Dukungan dalam belajar? -- Kita yakin setiap orang membutuhkan dukungan untuk belajar.
    Kesulitan dalam belajar? -- Kita yakin bahwa setiap orang dapat mengalami kesulitan belajar pada bidang tertentu atau pada waktu tertentu.
    Tanggung jawab untuk pembelajaran anak? -- Sekolah, guru, keluarga dan masyarakat memiliki tanggung jawab utama untuk memfasilitasi belajar – bukan hanya anak.
    Perbedaan? -- Kita menghargai perbedaan. Itu normal adanya dan memperkaya masyarakat.
    Diskriminasi? -- Sikap dan prilaku diskriminasi harus ditantang, untuk mempersiapkan anak masuk ke dalam masyarakat inklusif. Kami menghargai masyarakat yang toleran yang merangkul keberagaman.
    Dukungan bagi guru? -- Guru tidak boleh terisolasi, mereka membutuhkan dukungan yang terus menerus.
    Kapankah pendidikan itu berawal dan berakhir? -- Pendidikan dimulai sejak lahir, di rumah. Pendidikan anak usia dini sangatlah penting dan belajar tidak berhenti ketika sudah dewasa – pendidikan dapat menjadi proses sepanjang hidup.
    Tambahkan topik anda sendiri...

    Prinsip-prinsip Dasar (norma dasar berperilaku)
    Prinsip-prinsip yang berakar pada nilai dan keyakinan tetapi semuanya menentukan tindakan – apa yang harus dilakukan agar inklusi terlaksana. Berikut ini adalah beberapa contoh topik diskusi, tetapi dalam konteksnya masing-masing, topik diskusi tersebut perlu dikembangkan secara kolaboratif.
    • Semua anak berhak untuk bersekolah di lingkungan masyarakatnya – ini tidak tergantung pada karakteristik anak ataupun kesukaan guru.
    • Mengubah sistem agar sesuai dengan anak, bukan sebaliknya.
    • Dukungan yang tepat harus diberikan agar anak mendapat akses untuk belajar (misalnya Braile, rekaman audio, bahasa isyarat).
    • Lingkungan pendidikan harus aksesibel secara fisik dan ramah secara positif kepada kelompok yang berbeda-beda.
    • Mengganggu, mengata-ngatai dan mendiskriminasikan anak penyandang ketunaan tidak akan ditoleransi (anak penyandang ketunaan tidak seharusnya dipersalahkan bila tidak dapat menyesuaikan diri).
    • Pendekatan keseluruhan sekolah perlu dipergunakan untuk menangani semua aspek inklusi.
    • Pemecahan masalah harus dilihat sebagai tanggung jawab bersama antara sekolah, keluarga, anak dan masyarakat, dan harus mencerminkan suatu model sosial. (Jadi, sekolah yang menghadapi kesulitan mengajar, bukan anak yang mengalami kesulitan belajar).

    Indikator keberhasilan (bagaimana kita tahu bahwa nilai, keyakinan dan prinsip yang kita anut itu benar-benar dipraktekkan). Indikator atau ukuran keberhasilan ini perlu dikembangkan secara partisipatif di dalam budaya dan konteks lokal. Indeks untuk Inklusi menunjukkan beberapa macam indikator yang dikembangkan dalam satu konteks tertentu pada level sekolah (lihat lampiran 8). Pendekatan untuk mengembangkan indikator ini dapat berupa:
    • Membentuk tim koordinasi partisipatori
    • Menyiapkan materi untuk menstimulasi diskusi yang didasarkan pada pernyataan-pernyataan tentang inklusi dari berbagai Dokumen Internasional, studi kasus, dan definisi Pendidikan Inklusif
    • Menggunakan pendekatan partisipatori (lihat di bawah ini) untuk membuat daftar nilai-nilai, keyakinan dan prinsip-prinsip inti yang berkaitan dengan Pendidikan Inklusif
    • Mendapatkan opini dari kelompok-kelompok yang paling termarjinalisasi dan tersisihkan: perempuan, anak-anak, penyandang ketunaan, orang lanjut usia
    • Masukkan ini ke dalam kategori sederhana, misalnya isu kebijakan, kurikulum, pelatihan, bangunan sekolah, dll. Ini dapat diubah dan disesuaikan lagi kemudian.
    • Di dalam tiap kategori tersebut, deskripsikan perilaku, keterampilan, pengetahuan dan perubahan konkret yang akan menunjukkan bahwa nilai-nilai, keyakinan atau prinsip-prinsip itu benar-benar dipraktekkan.

    4.3. Implementasi di dalam budaya dan konteks lokal: dagingnya
    “Jantung dari Aktifitas PUS terletak pada level negara.“
    (Kerangka Aksi Dakar, alinea 16)

    Menempelkan daging pada tulang telanjang dari Kerangka Pendidikan Inklusif harus mempertimbangkan hal-hal berikut:
    a) Situasi praktis
    b) Sumber-sumber daya yang tersedia (orang, keuangan, materi)
    c) Faktor-faktor budaya.

    a) Situasi praktis. Jelaslah isu-isu di sini akan berbeda menurut tiap budaya dan konteks. Pertanyaan-pertanyaan berikut merupakan contoh yang dapat membantu menciptakan gambaran praktis yang sesungguhnya:
    • Pada level apa anda mengimplementasikannya? Nasional? Kota? Sekolah? Masyarakat?
    • Bagaimana situasi saat ini dalam kaitannya dengan pendidikan bagi penyandang ketunaan dan kelompok-kelompok marginal lainya di negara anda pada level nasional, kota dan lokal?
    • Bagaimana perundang-undangan dan kebijakan saat ini pada level nasional/kota/lokal dalam kaitannya dengan inklusi?
    • Apa hambatan yang ada saat ini terhadap inklusi dalam konteks anda?

    Lampiran 9 memberikan ringkasan tentang isu-isu pokok yang perlu dipertimbangkan dalam implementasi pendidikan inklusif. Ini berupa pengalaman dari Asia dan Afrika dan didasarkan pada lokakarya partisipatory tentang pendidikan inklusif yang diselenggarakan oleh Save the Children di Laos pada tahun 1995. Kerangkanya diadaptasikan dari Kerangka Salamanca.
    b) Sumber-sumber yang tersedia. Dalam diskusi tentang inklusi, topik tentang sumber-sumber sangat emotif. Banyak orang berargumen bahwa mereka ‘tidak dapat melaksanakan pendidikan inklusif karena kita tidak memiliki sumber daya yang cukup’. Tetapi contoh-contoh dari Selatan menunjukkan bahwa keterbatasan sumber BUKAN hambatan terhadap inklusi. Enabling Education Network mengadakan sebuah simposium berjudul ‘Mengatasi Hambatan Sumber’12 beberapa kutipan dari pertemuan ini:

    “Anda mempunyai pemikiran yang kaku tentang inklusi, yang menyebabkan anda berpikir kaku juga tentang sumber... jika anda mempunyai pemikiran yang fleksibel tentang inklusi, anda akan memiliki sikap yang lebih fleksibel terhadap sumber!” Pertanyaan-pertanyaan berikut ini akan dapat membantu:
    • Apa saja hambatan sumber terhadap inklusi? Contohnya meliputi:
    Sumber daya manusia – sikapnya, kurang pengetahuan, ketakutan, prasangka, terlalu terspesialisasi, kompetisi, kurang pengalaman menghadapi perbedaan, pemikiran yang stereotipe.
    Uang dan Materi – kurangnya peralatan, gaji yang rendah, sumber-sumber tidak terdistribusikan secara merata, bangunan tidakaksesibel.
    Pengetahuan dan Informasi – kurangnya keterampilan baca/tulis, kebijakan yang buruk atau tidak ada kebijakan sama sekali, kurangnya berbagi masalah dan pemecahannya secara kolektif.
    • Sumber-sumber apa saja yang telah kita miliki dalam diri kita dan di masyarakat?
    Di negara-negara kaya di Utara terdapat kecenderungan untuk memiliki sesuatu dan membutuhkan sesuatu yang lebih banyak agar dapat melakukan perubahan.
    “Kami tidak punya, jadi kami tidak dapat melakukan ..."
    Fokusnya lebih pada “ingin memiliki”, bukan pada “keadaan saat ini”. Pada seminar EENET, peserta dari Selatan menantangnya dengan mengatakan:
    “Inilah kami, maka kami melakukan...!”
    Jika kita merupakan SDM dan masyarakat yang berakal, maka kita akan dapat mengatasi banyak hambatan sumber itu.
    c) Faktor Budaya dan Konteks: sangatlah penting untuk secara sadar mempertimbangkan faktor-faktor budaya dalam merencanakan pendidikan inklusif.
    Contoh faktor-faktor yang dapat memfasilitasi inklusi:
    • Sebuah fokus yang kuat pada solidaritas masyarakat dan tanggung jawab sosial.
    Di Lesotho, para orang tua merasa bahwa bila seorang guru menghabiskan lebih banyak waktu dengan seorang anak yang membutuhkan bantuan dalam belajarnya, itu berarti bahwa guru tersebut membantu mengembangkan rasa tanggung jawab masyarakat dalam diri anak mereka sendiri. Ini bertentangan dengan reaksi orang tua di ‘Utara’ yang meraasa bahwa anak mereka tidak mendapatkan perhatian yang adil.
    (Contoh dari Stubbs, 1995, penelitian di Lesotho)
    • Sejarah tentang penggunaan sumber-sumber lokal secara penuh – sering kali karena akibat kemiskinan – dapat memfasilitasi inklusi karena orang akan terbiasa menemukan solusi kreatif terhadap kebutuhannya dan tidak menghamburkan sumber-sumber yang ada.
    Faktor-faktor yang dapat menjadi penghambat inklusi:
    • Terlalu banyak penekanan pada pencapaian akademik dan ujian dan kurang memberi penekanan pada perkembangan anak secara menyeluruh. Ini biasa terjadi di dalam budaya-budaya tertentu dan juga di kalangan masyarakat kelas menengah di daerah perkotaan, dan dapat menjadi penghambat utama bagi lingkungan yang inklusif secara penuh.
    • Sistem pendidikan khusus segregasi yang telah ada sebelumnya. Ini sering menjadi hambatan terbesar karena guru-guru reguler tidak memandangnya sebagai ‘pekerjaan mereka’ untuk mengajar ‘anak-anak itu’. Secara potensial sistem tersebut dapat menjadi sumber yang sangat bermanfaat, tetapi sulit mengubah persepsi.
    Poin-poin Kunci:
    • Dalam proses perencanaan, faktor-faktor utama (yang terkait dengan budaya dan konteks lokal), baik yang mendukung maupun yang menghambat inklusi, harus diidentifikasi.
    • Faktor-faktor yang mendukung harus dibangun dan diperkuat.
     Faktor-faktor penghambat mungkin harus ditantang, tetapi juga dapat dikurangi dalam jangka waktu lama dengan memperkuat faktor-faktor yang lebih positif. Misalnya, kepercayaan takhyul yang negatif tentang ketunaan dapat ditantang secara lebih efektif dengan memperlihatkan hasil positif dari inklusi, daripada menantangnya secara langsung.
    4.4. Partisipasi yang berkesinambungan dan refleksi diri yang kritis dari semua kelompok utama: nafas-darah
    Isu tentang partisipasi dan demokrasi merupakan isu sentral inklusi. Untuk dapat merespon dan mengatasi perbedaan-perbedaan yang kita jumpai saat ini di masyarakat, fleksibilitas dan kolaborasi bukanlah suatu kemewahan – melainkan suatu garis kehidupan. Untuk memastikan bahwa Pendidikan Inklusif tetap hidup dan tumbuh, diperlukan pertimbangan tentang hal-hal berikut:
    a) Siapa? Kelompok mana yang harus dilibatkan?
    b) Bagaimana? Pendekatan, sistem dan aktifitas macam apa yang dapat mendorong partisipasi?
    c) Kapan dan dalam hal apa? Kapan orang harus berpartisipasi dalam pendidikan inklusif, dan dalam aspek apa?
    "Memastikan keterlibatan dan partisipasi masyarakat sipil dalam formulasi, implementasi dan pemantauan strategi untuk pengembangan pendidikan.”
    “Mengembangkan sistem manajemen pendidikan yang responsif, partisipatori dan dapat dipertanggungjawabkan."
    “Rencana ini harus ... dikembangkan melalui proses yang lebih transparan dan demokratis dengan melibatkan para stakeholder, terutama perwakilan anggota masyarakat, pemimpin masyarakat, orang tua, siswa, organisasi non-pemerintah dan masyarakat sipil.”
    (Pernyataan Dakar tentang rencana aksi nasional, paragraph 3, 4, 9)
    “Organisasi penyandang ketunaan dan organisasi orang tua seyogyanya dilibatkan pada semua level.”
    (Peraturan Standar, Peraturan 6, Paragraf 3)
    a) Siapa yang Seharusnya Dilibatkan? Evaluasi pendidikan inklusif sering menunjukkan bahwa masalah muncul karena pihak-pihak tertentu ‘tidak dikonsultasi’, ‘tidak merasa dilibatkan’, ‘tidak mengerti’, atau tidak tahu apa-apa tentang program tersebut. Hal-hal pokok untuk dipertimbangkan adalah:
    • Mengidentifikasi SEMUA pihak dan melibatkannya sejak awal, semua kelompok yang memiliki minat pribadi terhadap pendidikan inklusif. Misalnya, (bukan daftar yang lengkap):
    - Anak-anak itu sendiri, yang tidak cacat, penyandang ketunaan, anak perempuan, anak laki-laki, dll.
    "Ketika saya sudah lulus kuliah ternyata teori yang saya pelajari tidak dapat dipraktekkan. Saya tidak dapat bekerja dengan baik dan anak-anak pun tidak dapat belajar dengan baik ... Jadi saya coba metode lain... Saya berkesimpulan bahwa kelas perlu demokratis sehingga semua orang dapat belajar bersama-sama... Saya dorong anak-anak untuk mengekspresikan pandangannya... Mereka memiliki banyak ide yang sangat bagus; saya kagum...! mereka memberikan saran dan menawarkan solusi terhadap masalah.”23
    • Orang tua dan anggota masyarakat
    • Pemimpin masyarakat
    • Guru dan staf sekolah (penjaga, petugas kebersihan, juru masak, pegawai administrasi)
    • Organisasi non-pemerintah, organisasi penyandang ketunaan, organisasi internasional
    • Pejabat pemerintah
    • Profesional di bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial dan sektor tenaga kerja
    • Mencari kelompok yang paling terkepinggirkan, tersisihkan atau dikucilkan dalam budaya dan konteks setempat (misalnya orang tunarungu, orang lanjut usia, anak penyandang ketunaan dengan kesulitan belajar yang berat)
    • Pastikan keterlibatan para administrator dan mereka yang mengatur keuangan.
    b) Bagaimana Partisipasi Dapat Dicapai? Ada banyak bahan sumber tentang Metodologi Partisipatori. Kadang-kadang disebut pendekatan belajar partisipatori, dan sebelumnya ada juga yang disebut penilaian pedesaan partisipatori. Bahan-bahan sumber untuk guru-guru di beberapa negara juga memfokuskan pada partisipasi, Pendekatan dan metodologi ‘Praktisi yang Reflektif’ untuk memfasilitasi hal ini. Sumber-sumber ini dapat memberikan banyak ide. Akan tetapi, pada akhirnya partisipasi itu terkait secara integral dengan inti nilai-nilai, prinsip-prinsip serta konteks dan budaya lokal, sehingga akan lebih baik apabila metode itu dikembangkan secara kreatif, kolaboratif dan dalam situasi lokal.
    Beberapa pelajaran penting yang dapat ditarik dari pengalaman dengan pendekatan partisipatori meliputi:
    • Agar partisipasi itu sungguh-sungguh dan bukan sesuatu yang semu, perlu ada komitmen yang kuat dan praktis terhadap nilai-nilai yang mendasarinya. Ini memerlukan adanya kesadaran diri dan sadar akan perilaku sendiri.
    • Kemauan untuk mendengarkan, kritis kepada diri sendiri, dan ‘mau mengakui kesalahan’.
    • Adanya hubungan kekuasaan perlu diakui dan diperhatikan.
    • Orang tua sering merasa kurang memiliki kewenangan daripada guru – oleh karena itu upaya khusus perlu dilakukan untuk mengundang mereka ke sekolah atau mengunjungi mereka di rumahnya untuk mendengarkan keprihatinannya.
    "Teknik-teknik untuk mewawancarai orang tua juga bermanfaat. Sebelumnya, ketika kami meminta informasi, mereka tidak mengatakan yang sebenarnya; saya menyukai metode pemberian isyarat petunjuk dan bercerita. Sebelumnya kami tidak tahu bagaimana mengajukan pertanyaan..."
    (Guru yang berpartisipasi dalam penelitian tindakan partisipatori di Lesotho)
    • Pengetahuan dan persepsi lokal harus dihargai dan dimanfaatkan. Misalnya, pengetahuan ibu tentang perilaku anaknya sendiri, kelebihannya, kekurangannya.
    • Keterampilan dan pengetahuan dalam metodologi partisipatori perlu dikembangkan –orang-orang tertentu secara alami dapat melakukannya dengan baik, tetapi kebanyakan dari kita perlu belajar dan berlatih untuk dapat menguasainya. Misanya, kemampuan untuk mendengarkan dengan baik itu sangat sulit bagi kebanyakan orang, terutama jika orang yang harus didengarkan itu berkesulitan untuk mengekspresikan dirinya dengan baik, atau harus mengekspresikannya melalui penerjemah.
    • Menggunakan sebanyak mungkin jenis pendekatan pembelajaran. Misalnya, melalui mendengarkan, menggambar, bercerita, diagram, gambar, bermain peran, modeling, wayang, drama, dll.
    c) Kapan dan Dalam Hal Apa? Partisipasi perlu dipergunakan pada semua tahapan proses Pendidikan Inklusif, misalnya dalam:
    • Mengembangkan sistem, proses dan indikator tentang partisipasi itu sendiri.
    • Mengumpulkan data awal, studi kelayakan
    • Mengembangkan kebijakan
    • Menyepakati nilai-nilai, keyakinan, dan prinsip-prinsip
    • Mengidentifikasi hambatan inklusi
    • Mengembangkan indikator keberhasilan
    • Implementasi pada semua level
    • Mengembangkan sistem monitoring dan evaluasi

    Gambar 5: Ringkasan Faktor Penentu Utama Keberhasilan Program Pendidikan Inklusif yang Kuat, Tepat dan Fleksibel. (Gambar dapat dilihat pada buku aslinya yang dapat di-download melalui link di atas).


    Lanjut ke Bab 5: Kesempatan dan Tantangan dalam Pendidikan Inklusif: Beberapa Studi Kasus

    Kembali ke Bab 3: Konsep-konsep Utama: Apakah Sesungguhnya Pendidikan Inklusif Itu?

    Labels:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke DAFTAR ISI